Kalau bukan karena Mami, benar aku menyerah.
"Mami bawain martabak buat teman nugas."
"Dari Leong atau Mami beli sendiri ini martabaknya?"
"Dari menantu Mami yang baik banget itu."
Sumpah rasanya pengen muntah. Mual. Leong di mata Mami itu mungkin amat istimewa.
"Menantu culun, Mam?" sindirku sadis sekali.
"Jangan keterlaluan begitu, Rose!" kata Mami.
"Kalau memang nyatanya begitu kayak gimana?"
Mungkin tangan Mami sudah gatal buat menjitakku.
Memang culun, masa enggak boleh aku jujur?
"Kalau memang aslinya begitu juga tak sopan."
"Ya elah cuma becanda, Mam," kataku akhirnya.
"Jangan becanda berlebihan," ujarnya bijak.
Mami kalau mode bijak begitu lumayan keren.
Namun, keseringan Mami modenya ya jahat.
"Mami kalau begitu mirip ibu peri yang bijak."
"Mami memang bijak dari lahir sampai sekarang."
"Mana ada ibu bijak sukanya jewer dan jitak?"
Bukannya tobat, malah jitaka itu mulai lagi.
"Ibu peri bijak juga bisa kesal," jawab Si Mami.
Mami meninggalkan kamarku dengan segera.
Martabak manis bertabur keju itu, kok, menggiurkan?
Jadi meski tahu yang bawain adalah Si Culun alias Leong, aku tak peduli. Keju gondrong tampak begitu menggodaku. Bisa-bisa aku lupa kalau lagi nugas.
"Leong emang paling juara kalau ginian pokoknya."
Aku meraih martabak bertabur keju itu rakus.
"Doyan aja pake banyak omong!" ledek Mami.
Buset Si Mami memang senang banget ngagetin!
Untung keju dalam mulut sudah selesai kutelan.
Bayangkan apabila keju itu nyagkut di kerongkonganku!
"Mami bisa enggak kebiasaan ngagetin diilangin?"
Mami hanya terkikik, kemudian gegas pergi.
"Makanya jangan sok jaim!" teriaknya menjauh.
"Jaim itu wajib buat Rose!" jawabku tak terima.
Kalau enggak jaim tentu keanggunan di sosok Rose ini akan pudar. Kalau sudah begitu apa kabar dunia? Bisa-bisa Rose enggak lagi menjadi wanita anggun di dunia.
Kalau anaknya anggun, tentu Mami kan bahagia.
"Udah cepet abisin martabaknya!" ujar Mami.
Dengan senang hati, Mam! Martabak di hidupku bagaikan nyala lilin di tengah gelapnya malam. Menyinari perut yang lapar denga sinar kenyangnya.
"Kadang kalau mikir bisa makan ginian sering-sering itu bikin nilai Leong jadi lumayan."
Lumayan bisa dimanfaatkan maksudku pastinya.
Seru juga kan kalau nugas gini disambi ngemil.
"Katanya nugas, tapi makan mulu dari tadi!"
Mami lagi-lagi ngagetin. Ya memang ini mulut kalau sudah nyaplok keju lumer gurih begini susah banget berhentinya. Gawat memang.
Berhubung Mami sudah protes lagi, ya akhirnya mulut ini kupaksa pensiun. Ya setidaknya untuk beberapa menit. Tak lain agar Mami berhenti protes.
Benar saja, saat mulut ini berhenti buat mengunyah martabak, Mami pun tidak protes.
Mami memantauku dari pintu. Satu hal yang selalu Mami lakukan hampir tiap hari di kamarku. Memantau anak gadis.
"Udah jangan dilihatin mulu!" usirku ke Mami.
Mami malah masuk ke kamarku. Beliau malah naik ke ranjang. Rebah. Selimut di ujung ranjang ditariknya menutupi badan wanita setengah tua itu.
Kulirik sekilas ke arah Mami. Ternyata wanita itu memejamkan mata. Kerutan di wajahnya membuat napasku sedikit sesak karena teringat umur Mami yang menua.
Sesaat tanganku jadi tak bergerak sama sekali.
Teringat umur Mami yang sedemikian tua.
Teringat bagaimana manjanya aku. Dia yang selalu menjagaku di situasi berat atau ringan. Dalam terik maupun hujan deras dan badai.
Setitik air menetes ke punggung tangan kananku.
Cengeng.
"Bukannya nugas malah mewek," ucap Mami.
Ternyata Mami sedari tadi mengawasi anaknya.
Sebal karena ketahuan mewek, aku tak menjawabnya.
Aku kembali asyik mengetik. Sejenak si martabak tersisih dari pikiran. Semoga lama.
"Mami mau minum s**u cokelat hangat
enggak?"
Mami memang suka sekali minum s**u cokelat.
***
"Semalam s**u cokelat Mami dicampur apaan?"
"Campurin air hangat, lah," jawabku di pintu.
Mami minum s**u cokelat hangat yang kubuatkan dan langsung tertidur. Apa yang kucampurkan ke dalam susun itu semalam selain air hangat? Tidak ada.
"Kenapa Mami tidur pules banget kayak gitu?"
Mana kutahu kenapa Mami bisa pulas tidurnya.
"Cokelat hangat kan memang bisa bikin rileks."
Mami mengangguk-angguk. Dia lantas menyibak selimut yang sedari semalam menjadi teman tidurnya. Selimut yang beratakan itu dilipatnya.
"Gini loh kalau pagi-pagi," ceramahnya dimulai.
"Siap laksanakan, Kanjeng Mami Sekar Ayu!"
"Kalau dikasih tahunya suka ngeledek mulu."
Aku yang sudah siap berangkat menuju kampus itu pun segera turun. Membuat s**u hangat tiga gelas. Siapa tahu pria culun itu datang pagi-pagi.
"Selamat pagi, Rose," sapa seorang pria berkacamata.
"Sesuai prediksi, ini s**u buat gantiin si martabak."
Leong terlihat sangat terkejut. Mungkin dia seperti bermimpi karena Rose pagi ini begitu baik. Ya anggap saja ini ganti dari martabak semalam.
"Ma-makasih."
Seperti biasa, gagapnya terus menjadi ikon.
Ikon itu pilih yang bagus, kek! Jujur ini, sebenarnya jika diperhatikan lebih lagi dan lagi, Leong ini lumayan ganteng di beberapa sisi. Sayangnya 'anu' dan suka gagap.
"Nak Leong sudah datang," sapa wanita terbijakku.
Wanita itu sekilas saja menyapa, sebab dia mana berani mengobrol jika belum mandi.
***
"Kamu kenapa pagi-pagi banget jemput aku?"
Leong masih asyik menyetir. Ekor mata
pria itu saja yang melirik ke arahku. Di bibirnya tersungging sebuah senyuman yang sebenarnya manis.
"Aku enggak mau telat antar kamunya, Rose."
"Apa kamu enggak kerja?" tanyaku agak serius.
"I-ini aku lagi ker-kerja," jawabnya tak menoleh.
Aku benar-benar baru memikirkan ini tentangnya.
"Serius ini aku tanya, memang kerjaan kamu—"
"Aku ma-masih belum ada kerjaan, sih, Rose."
Kalau model-model begini, gimana aku bisa mau untuk menjadi calon istrinya, coba?
"Terus kalau kita menikah, memangnya bisa—"
"Ka-kalau i-itu jangan takut, Papa bakal bantu."
Yang begini ini, ciri-ciri cowok mageran maksimal.
Terus di sebelah mananya Mami terus menyuruhku menerima pria macam ini sebenarnya?
Mami kurasa sudah sedikit frastrasi apa gimana?
"Jadi seumur hidup harus terus minta dibantu?"
"Bu-bukan gitu ju-juga," jawabnya agak gelagapan.
Dia mungkin bukan gelagapan, tapi ya memang gagap saja. Dia memang sang pria culun itu, kan? Kalau enggak agak gagap malah aneh.
"Kalau yang modelan gini terus terang suram."
"Su-suram apanya, Rose?" tanya Leong cepat.
Rasanya tak perlu dijelaskan pun mesti paham.
"Masa depannya lah, apa lagi?" tanyaku retorik.
Obrolan ini lebih membuatku yakin ke apa yang selama ini kurasakan. Leong memang bukan pria yang pantas untuk menjadi pasangan hidup. Rasanya berat sekali.
Mending aku mencari pria lain yang ke depannya tak akan sesuram Leong. Ya setidaknya aku tak akan terlunta-lunta. Itu saja.
"A-aku janji bakal berusaha bahagiain kamu."
Aku hampir tersedak ludah sendiri. Ya masa ludah Leong? Kan enggak lagi ngapa-ngapa kita.
***
Kami akhirnya makan somay di jalanan.
Aku kesal bukan main akibat dari si tukang anu ini, rencanaku gagal. Aku gagal membuatnya kehabisan semua yang dia punya. Uang, kesabaran, dan harga diri. Ternyata dia lebih pandai bikin Si Anak Mami satu-satunya ini hilang semuanya. Terutama harapan.
Sambil makan somay, dia sesekali jadi asistenku.
"Mau minta apa lagi, Rose?" tanya Si Leong.
"Minum."
Aku menjawab dengan cuek. Tak lagi ingin memberi dia harapan palsu. Ya, biar saja. Biar dia sadar kalau aku itu enggak mau dekat-dekat dia.
"Ini."
Tahukah kalian kalau cowok sipit itu ternyata sudah mempersiapkan apa pun?
Cowok itu tersenyum manis, walau di mataku itu sama sekali enggak. Sebal. Semua rencanaku mentah begitu saja.
Somay yang kumakan jadi terasa tak enak
***
"Kenapa pada diem-dieman?" tanya Si Mami.
"Sariawan."
"I-itu tadi Rose ngajak makan di res-restoran."
"Terus?"
"Duitnya kagak ada, Mam!" jawabku kesal.
Kesal sekali aku dibuatnya hari ini ih pokoknya.
"Anak Mami jangan marah-marah, ih jelek!"
Bodo amat jelek. Toh jadi cantik juga enggak ada enaknya. Dijodohin sama Leong.
"Cantik juga ujung-ujungnya disuruh kawin sama cowok culun macam dia, hiiih!"
"Rose!"
Bodo amat! Beneran bodo amat! Aku kesal!
"U-udah biarin aja, Tan!" ujar Leong si culun.
Aku mendengar dia mencoba untuk meredakan amarah Mami yang naik. Aku benar-benar sudah bodo amat ini langsung kabur ke kamar. Mengunci dengan gemas daun pintu itu. Meski, aku sebenarnya merasa bersalah, sih.
Cuma ya biarin aja, siapa suruh Leong bikin aku kesal? Kesal dalam mode di atas normal. Hampir meledak dan ini benar-benar pengalaman pertamaku.
"Aku enggak biasa gagal kalau jailin Si Culun!"
Meski tadi sempat merasa bersalah di hati dan jiwa, nyatanya sekarang tak ada lagi. Hanya keping-keping lain di otak isinya masih sama. Jailin Leong.
"Rose!"
"Rose tidur, Mam!" jawabku lirih dan malas.
Nyatanya suara lengkingan dari luar menyiksaku.
Mau tak mau, anak cantik ini luluh. Ih rasanya pengen sekali melempar ini kunci ke wajah Mami. Cuma rasanya, kok kurang mantap.
"Sekali lagi Mami panggil kagak juga keluar—"
"Iyaaa!"
Pintu segera terbuka dan ternyata si culun Leong ada bersama Mami. Ini asli gawat! Aku enggak mau Si Culun bertindak aneh-aneh.
"Kamu mesti minta maaf ke Leong ih Rose!"
Mami apaan coba? Masa harus minta maaf ke Si Culun? Oh, duniaku terasa runtuh.
Mau bagaimana lagi, perintah Mami itu semacam titah. Jadi aku mau tak mau mengulurkan tangan. Mencoba merendahkan ego.
"Maaf!"
"Aku enggak marah sama kamu, Rose, sumpah!"
Apa aku enggak salah dengar? Dia itu lancar banget ngomongnya. Ah, tapi mungkin dia emang lagi serius saja.
Kenapa juga aku mesti mikirin cara Si Culun?
Setelah itu, aku berniat menutup lagi pintu.
"Eeeh!"
Tangan Mami ternyata lebih kilat dari Flash.
Kupingku sudah jadi target operasi. Ih rasanya sungguh seperti anak pungut. Kupingku bahkan mungkin sudah tak kuat menahan panas dan perih.
"Maaam!"
"Siapa suruh nutup pintu?" tanya Jeng Sekar.
Jeng Sekar Ayu yang ayunya enggak ada apa-apanya dibandingkan dengan Rose.
"Kalau enggak tutup pintu nanti ada maling!"
"Emang Mami sengaja bawain maling kamu!"
Mami bawa maling? Tuhan, habis ini apa lagi cobaan yang harus kunikmati melalui tangan lentik Mami? Leong Si Culun saja aku belum sanggup untuk mengempaskannya.
Semoga setelah ini Tuhan memberiku keistimewaan.
"Rose enggak punya harta, mana ada maling yang berminat masuk ke sini, Mam?"
"Kamu sendiri tadi yang bilang," kata Mami.
Benar juga. Ah, ternyata gara-gara ini kuping kena jewer terus-terusan bisa bikin amnesia. Wah ini wajib diteliti!
"Oke... oke... Mami mau Rose ngapain lagi?"
"Temenin Leong ngobrol!" perintah Si Mami.
Rasanya somay di perutku ingin lari keluar.
"Harus banget Rose lakuin?" tanyaku negosiasi.