Bab 7: Mohon Dimaklumi, Ya!

2099 Kata
Aku menemui seorang teman sekian lama tidak kutemui. Sengaja pergi ke sana curi-curi waktu supaya Si Leong kagak ikutan. Tahu sendiri, dia kayak gimana. "Ngomong-ngomong lo sendiri ke sini, Rose?" Aku mengangguk. Jelas-jelas aku tak membawa teman, masih saja tanya. Si temanku yang kagak paham atau aku agak kepinteran? Yang jelas opsi kedua kayaknya tidak, ya! Aku datang ke rumah ini sebenarnya bermaksud untuk berkeluh kesah ke temanku. "Menurut lo gimana?" tanyaku tiada berbasa-basi. Dia menoleh dan meneliti wajahku di sana. "Apanya yang gimana?" tanyanya tak paham. "Tentang Si Culun itu," sahutku cepat sekali. Heart beats fast Colors and promises Tiba-tiba sebuah lagu terdengar yang membuatku merinding. Lagu ini yang begitu kusukai. Begitu romantis. Akan tetapi, kini perasaanku berbeda. Lagu itu sering sekali terdengar setiap bersama Leong di dalam mobilnya. Di setiap kesempatan, hanya saja bagiku saat itu biasa saja. Lalu, kenapa waktu seperti saat ini justru aku mengingat Si Culun? How to be brave How can i love when i’m afraid to fall But watching you stand alone All of my doubt, suddenly goes away somehow One step closer I have died everyday, waiting for you Darling, don't be afraid, i have loved you for a thousand years I'll love you for a thousand more Time stands still Beauty in all she is I will be brave I will not let anything, take away What's standing in front of me Every breath, every hour has come to this Entah sudah berapa lama wajah itu di sana. Wajah kebingungan temanku yang di seberangku. Aku melihatnya melambai-lambaikan tangan. "Lo kenapa aneh banget, Rose?" tanya temanku. "Kalau enggak aneh bukannya bukan Rose?" Aku mencoba mengalihkan perhatian temanku. "Kirain kesambet lo," jawabnya tanpa perasaan. "Enak aja kalau ngomong!" ujarku tak terima. Mumpung suara Christina Perri sudah tak lagi terdengar, buru-buru kurogoh tas. Kukeluarkan kotak beledu pemberian Leong. "Sumpah demi apa lo dilamar?" tanya temanku. Aku hanya tersenyum. Senyum yang entah apa rasanya. Yang jelas hatiku galau. "Bukan dilamar juga," lirihku kesal ke temanku. "Terus?" Lupa memperkenalkan temanku, dia bernama Vivi. Anak yang begitu aneh karena mau jadi teman curhatku. Jadi sebenarnya aku itu tak punya banyak teman. "Dia kasih ini waktu gue pergokin dia ngomongin hal mencurigakan bareng Mami." "What?" Aku menyedot s**u kocok guna ingin menyiapkan diri bercerita lebih jelas lagi. Jadi kujelaskan perlahan kepada Vivi apa yang terjadi. Dari awal sampai ke peristiwa cincin itu. Semua. Termasuk semua kekonyolan makhluk bernama Leong. Kalian tahu apa tanggapan Vivi? Dia melongo mirip kerbau. Dia berusaha mengerjap. "Jangan kesambet!" ucapku kencang sekali. "Ini benar-benar ajaib, sih!" jawab Si Vivi. "Lo kata gue lagi main sulap atau sihir apa?" Vivi malah terkekeh tanpa henti. Sial. Dia pasti mengolok-olokku lewat tawa itu. "Ya memang, dia itu pasti kena jampi-jampi!" "Sialan!" Sepertinya aku salah tempat curhat di sini. "Terusin!" Baru saja aku ingin meninggalkannya karena sebal yang sungguh terlalu itu, Vivi menarik tanganku dengan sangat erat sampai terasa sakit. Aku kembali duduk dan menyesap si minuman. Perlahan dan pasti, aku melanjutkan curhat. "Kalau menurut lo, dia kenapa begitu banget?" Kali ini Vivi yang menyedot es kopi di gelasnya. "Begitu banget yang sebelah mananya memang?" "Vivi dengar gue cerita kagak dari tadi itu?" "Justru karena gue denger maka dari itu gue tanya sebelah mananya yang dimaksud?" Ampun anak ini. Andai mencubit pipi manusia ini sah, sudah kulakukan. Di sini rasanya mending aku pura-pura sabar bin anggun. Kapan lagi melihat Anak Mami kayak begini? Aku mengipasi wajah yang terasa dua kali lebih panas dari suhu ruangan di sini. "Maksud gue kenapa Leong lengket ke gue?" "Lo kasih lem kali," jawabnya asal bin semrawut. "Mulaiii!" Aku tak lagi memikirkan apa pun. Di dekat kupingnya, kucubit kecil saja. Si Vivi pasti kapok dengan pelajaran ini. "Galak banget calon Nyonya Leong Si Culun!" Sekali lagi kuhadiahi kupingnya. Kali ini sebuah sentilan. Aku yakin sakit di sana. "Sekali lagi lo ngaco, gue balik! Kagak ada gunanya amat waktu gue buang. Kezel!" Vivi mengusap-usap telinganya amat kencang. "Gue serius, deh!" ucap Vivi akhirnya, serius. Mulailah kami membicarakan Leong lagi. "Gue takut dia beneran kagak bakalan menjauh." Kayak perjodohanku yang lalu-lalu, di mana cowok-cowok itu kabur dengan sendirinya. "Berarti dia jodoh lo," ucap Vivi serius sekali. "Kagak ada yang lebih parah?" seruku histeris. Coba saja kalian di posisiku, mau jadi jodohnya? "Ini karena lo belum benaran kenalin dia." "Gue ngenalin dia?" tanyaku bernada menyepelekan. "Kata pepatah mengatakan demikian, Rose." Benar juga, ada pepatah yang bilang begitu. "Makanya coba kenali dia dulu," kata Vivi. Rasanya aku tak sanggup melakukan itu. Bayangkan saja semua kekonyolan itu tidak lepas dari hadirnya Leong yang tanpa permisi menyerobot hidupku di beberapa bulan ini. *** "Kenapa kamu jemput aku?" tanyaku kesal. "Inisiatif." Lancar. "Lancar sekali Bapak jawabnya, Anda, ya?" "Pe-perasaan kamu aja," kilahnya tak meyakinkan. Aku mencoba memejamkan mata ini demi menikmati perjalanan yang tak lama. Kudengar suara merdu Christina yang menyanyikan lagu A Thousand Years mengalun. "Matiin!" "Apanya?" Aku menoleh ke wajah Leong yang di sampingku. "Lagunya!" "Tum-tumben." "Bawel!" Tangan Leong yang kiri mematikan si lagu. "U-udah." "Ya udah, jangan berisik, aku ngantuk banget!" "Tum-tumben." Bodo amat dengan apa yang Leong itu katakan. "Bangunin kalau udah sampai, jangan didiemin!" Pernah waktu itu aku kaget setengah mati. "Kalau pules mana tega ba-bangunin, Rose." "Bawel banget, sih, kamu!" kataku ke Leong. "Udah ti-tidur dulu aja!" perintahnya kalem. Rasanya jadi malas. Kagak terbayang kalau sampai acara gendong itu akan terulang lagi. Bayangkan! Aku kagak siap untuk digendong Leong. Membayangkan ini, rasa sebal di hati bertambah. "Kapan rencana berhenti nempel ke aku?" "Ber-berhenti gimana maksud kamu, Rose?" "Begini terus bikin aku sumpek tahu, Leong!" "Ka-kamu nyuruh aku berhenti buat jemput?" "Semua!" Leong tertegun setelah kata itu keluar mulutku. "Alasannya?" Buset! "Sumpek!" Leong membenahi kacamatanya yang melotot. "Oke." Semudah itu? Kenapa tak sedari dulu aku memintanya? Bodohnya diriku di usia yang masih sangat muda. Kenapa baru sekarang? "Oke." Aku mengambil ancang-ancang buat tidur. "Kalau Mami kamu mengizinkan buat begitu." Mataku seketika melotot. Ambyar. Di dalam mobil Leong yang terbilang tak begitu mewah ini, boleh tidak diriku menganiaya pemiliknya? "Kenapa Mami dibawa-bawa terus di sini?" Aku menyadari senyuman di bibir Si Culun. Ada sebuah kekehan yang samar aku dengar. Mungkinkah Leong menertawakanku yang sungguh sangat naif ini? Inginku berkata kasar dan memakinya keras. Namun, bagaimana pun, aku masih di sini demi nama baik Mami. Manalah mungkin aku membuat nama baik Si Mami ternoda. Noda yang pastinya ke depannya akan kusesali. "Tuan Putri Rose, sudah sampai," kata Leong. Leong tiba-tiba sudah membuka pintu untukku. "Cepet banget sampainya," gumamku linglung. Tanpa basa-basi, aku berlari masuk ke rumah. Leong kutinggalkan di belakang. Tak peduli seandainya pun Mami melihat kelakuanku yang meninggalkan pria culun itu. Kekesalanku sedang dalam kondisi yang memprihatinkan. Jadi di sini aku memohon dimaklumi. *** Hari ini Mami sudah lebih baik. Kata Si Dokter yang memeriksanya tadi, Mami sudah diperbolehkan pulang. Kondisi Si Mami berangsur bugar. "Akhirnya Mami bisa pulang," seru sang mami. Ceria. Akhirnya memang kami sedang dalam perjalanan menuju rumah. Untungnya tadi Vivi membantuku untuk mengurus administrasi sehingga tak mengganggu waktu kerjaku. Setidaknya aku datang, Mami sudah siap pulang. Aku memeluk wanita itu dengan amat gembira. "Mami siap pulang?" tanyaku ke Mami, semangat. "Mami udah kangen rumah," jawabnya bergetar. Tentu saja aku pun kangen rebahan di rumah. Namun, kusadari ini bukan saatnya ke kasur. "Kalau gitu, mari kita pulang!" teriakku tertahan. Tentu saja aku tak berani teriak dengan kencang. Kami memang masih di kamar rawat di mana pasien lain banyak yang istirahat siang. "Biar aku aja yang dorong Tante Sekar, Rose!" Mami memang sengaja kusuruh naik di kursi roda untuk ke lobi rumah sakit. Di sisi lain sebenarnya Mami menolaknya karena merasa sudah sehat. Memang di situ benar, tetapi tetap tak ada salahnya menggunakan kursi roda agar tenaga Si Mami sedikit lebih awet. Setidaknya tak mudah pingsan lagi. "Sebenarnya Tante mau jalan," katanya, merayu. "Jangan maksain, Tan!" ujar Vivi sabar sekali. Mami akhirnya mengalah dengan kami berdua. Suara gesekan roda dengan keramik di lorong rumah sakit mulai terdengar. Di sisi kanan kiri kami ditumbuhi pohon dan tanaman hias lainnya sehingga ada angin yang segar karenanya. Sungguh mampu membuat otak kembali normal. Mobil yang menjemput kami sudah ada di lobi rumah sakit. Sang sopir terlihat keluar untuk membukakan pintu agar Mami bisa lekas naik mobil. Bersyukur karena mendapat sopir taksi yang tidak cuek kepada pelanggan. "Terima kasih, Pak," ucap Mami kepada Sopir. Si sopir tersenyum, tak lupa menjawab Mami. "Sama-sama." "Nanti kita mampir ke toko buah dulu, Pak!" "Baik." Aku berniat membeli buah-buah yang merah. "Enggak usah hambur-hamburin uang, Rose!" Mami kemungkinan takut aku bakalan kehabisan uang jika membeli buah. Ya benar juga, tetapi tetap saja bukan tak boleh aku belanja buah, kan? Buah ini kuniatkan untuk membuat Mami lebih sehat dan bugar. Masalah uang, nanti pasti ada jalannya lagi. Beberapa menit melaju, akhirnya toko buah tampak di sisi kanan. Kami sesaat berhenti demi beberapa kilo buah. Dua jenis beri-berian kuambil tanpa pikirin harga karena memang uangnya sudah kusiapkan terlebih dulu. Setelah membayar, aku langsung balik menuju mobil di mana Mami bersama Vivi. Sopir pun kusuruh jalan supaya waktu kami tak terbuang banyak. Mengingat aku harus kembali ke restoran tak lebih dari setengah jam lagi. Untuk itu semua harus cepat supaya tak kena marah bos. Mobil berjalan dengan cepat dan kami pun sampai di rumah. Rumah kami nan asri dan terawat. Akan tetapi, beberapa hari Mami dirawat di rumah sakit bikin tanaman bunga di halaman layu. Amat menyedihkan memang. "Sampai juga di rumah," seruku dengan takjub. "Kamu sempetin istirahat dulu," kata Si Mami. "Rose mesti balik ke tempat kerja cepet, Mam." "Kamu pasti kecapekan," desah wanita itu. "Mami jangan khawatir, Rose masihlah muda!" "Makan yang teratur, ya!" pesan Mami serius. "Mami juga harus makan teratur walau enggak ada Rose di rumah," pesanku ke Mami. Vivi membantuku merapikan beberapa titik di rumah ini yang sedikit membuat kurang nyaman karena kotor. Aku dan Mami langsung menuju kamar supaya wanita kesayanganku ini bisa rebahan. Aku khawatir kalau Mami beraktivitas berat malah kecapekan lagi. Sementara uang untuk operasi belum kelihatan di mana. Jadi aku menjaga banget supaya Mami sehat. *** "Kamu dari mana saja jam segini baru datang?" "Saya dari rumah sakit, Pak," jawabku pelan. "Kamu sakit apa?" tanya Pak Bos tanpa ekspresi. Aku sebenarnya malas menjawab andai dia bukan bos. Nada pertanyaannya itu sama sekali enggak ada empati. Dingin. "Saya sehat-sehat saja, Pak," jawabku ke bos. "Terus ngapain ke sana?" tanya Pak Bos lagi. "Jemput ibu saya pulang," jawabku tak semangat. Aku melirik pria yang memakai setelan itu. "Ibumu dokter atau perawat?" tanyanya lagi. "Ibu saya baru selesai dirawat," jelasku geregetan. Mata pria itu terlihat naik. Meski pakai kacamata hitam, tetapi otot di samping mata itu terlihat naik. Mungkin mikirin keadaanku atau Mami. "Sakit apa memangnya Mami?" tanya Si Bos. "Mami?" Aku kaget karena dia menyebut 'Mami' tiba-tiba. Namun, wajah itu tertangkap kayak ada kegugupan. "Maaf kebiasaan di rumah," kilahnya ke aku. "Oh." "Maksud saya, ibumu sakit apa?" tanya Bos. Aku jelaskan sedikit bahwa Mami agak kecapekan. "Nanti saya titip vitamin buat ibumu di rumah." "Vitamin apaan, Pak?" tanyaku bingung mendengarnya. Entah kenapa aku merasa bos ini agak aneh. "Vitamin biar ibumu sehat," katanya tak bereskpresi. Sedikit terharu aku mendengarnya. Tak kusangka bos yang nyebelin itu peduli sama Mami. Repot-repot mau kasih dia vitamin segala. Semoga ini pertanda baik. Meski uang yang kubutuhkan untuk pengobatan Si Mami tidak sedikit, tetapi kalau bosnya begini aku jadi semangat. Optimis. Pak Bos terlihat pergi setelah bilang itu tadi. Lumayan lega hatiku. Kukira akan ada hukuman karena terlambat balik kerja sekitar 5 menit. Ternyata hanya ditanya dari mana. "Semoga enggak ada lagi hal aneh dari Bos!" "Kamu bilang apa barusan?" tanya Bos tiba-tiba. Ternyata pria itu sudah kembali berdiri mematung. Jarak kami hanya beberapa puluh senti, mampus! "Pak Bos ada di situ ternyata," lirihku di tempat. Dia kembali mendekatiku dengan mata masih tertutup kacamata hitamnya. Ya, tetapi aku menebak dia sedang lurus ke arahku tatapannya. Bikin deg-degan. Sumpah ini macam adegan slow motion film. "Mana hafalan menu kamu?" tanya Pak Bos. Mampuuus! Bagaimana ini? Sedangkan aku sibuk di rumah sakit dan lupa untuk menghafal menu yang sudah disepakati. Habislah. Rasanya ingin kutampar ini wajah dan berharap tak mengulangi kesalahan ke depannya. Aku belum berani membuka mulut dan sedang berusaha menata kata-kata. Ya ssiapa tahu Pak Bos berbaik hati untuk mengampuni kelalaianku ini. Semoga. "Mohon maaf, Pak, saya belum hafalin menunya." Hening. Tak sanggup rasanya aku mendengar Si Bos. Semoga ada sebuah keajaiban. Semoga malaikat baik hati melindungiku. Mata ini terpejam saking takutnya dengan Si Bos dan ucapan apa yang akan diucap. Rasanya langit mendadak ingin runtuh, kiamat. "Jadi?" Habis sudah riwayatku. Rasanya Tuhan cepat sekali mencabut rasa optimis ini dari hatiku. Rasanya Tuhan mengujiku. Boleh enggak, sih, ada gempa biar aku lari?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN