Setelah insiden di tempat bubur tadi, aku tak ingin lagi mendengarnya bicara.
Bagaimana tidak, dia membuat aku mual di saat perut benar-benar minta diisi.
"Rose, ka-kamu ma-marah sa-sama aku?"
"Nggak."
Malas.
"Te-terus ke-kenapa ka-kamu di-diem be-begitu?"
"Aku males denger kamu ngomong, Leong!"
"Ke-kenapa?"
"Pake nanya. Sumpah, ya, dekat orang kayak kamu, hidupku rasanya sial banget." Aku menggeleng tak mengerti. Kok ada orang seperti dia?
Aku tak tahu apakah kalimat itu membuatnya tersinggung atau sejenisnya.
Leong terlihat diam. Matanya lurus. Sesekali tangan kirinya membetulkan letak kacamata yang bertengger di hidung mancung itu.
"Aku nggak paham apa yang bikin kamu sekesel ini sama aku," gumamnya.
"Mohon maaf, Pak, pas pembagian otak nggak datang, ya?" tanyaku sinis. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan semua sikap anehnya. Benar-benar bikin kesal. Laki-laki begini yang disukai Mami?
Kalau dipikir-pikir, untuk apa Mami begitu ingin aku punya pacar? Padahal, aku sedang sibuk bimbingan demi menyandang gelar sarjana. Apa menurutnya mencarikan aku pacar itu lebih penting ketimbang membiarkanku fokus ke skripsi?
"Rose, aku tau aku nggak pinter. Tapi, aku tau kamu bicara kasar ke aku barusan." Dia lancar sekali bicara.
Aku melihat wajahnya mengeras. Dia marah? Ah, aku jadi sedikit tidak enak.
Aku memainkan jemari. Rasanya jalanan panjang sekali di depan sana. Sementara, aura di sekitarku sangat tak kondusif.
"Leong, sebenarnya kamu siapa, sih?"
"A-aku cu-cuma co-cowok bodoh, Rose."
Deg!
Apa dia benar-benar tersinggung?
Aku masih terus memperhatikannya.
Dia begitu tenang dalam berkendara.
"Maaf, kalau aku ngomong kasar tadi, Leong."
"Lu-lupain!"
Sedatar itu dia menjawab. Matanya juga tetap terarah ke jalanan. Seperti tidak ingin menoleh barang sedetik ke arahku. Apa sedalam itu aku melukai hatinya?
Mobil masuk ke gerbang universitas.
"Aku stop di sini aja, Leong. Makasih, ya." Aku menyuruhnya berhenti, tapi rupanya dia tidak menurut. Mobil terus melaju.
"Silakan."
"Makasih, harusnya nggak usah sampai sini. Aku bisa jalan sendiri, kok." Aku melepas seat belt. Lalu turun setelah bilang untuk tidak usah menjemputku.
Dia mengangguk, tetapi tak segera pergi.
"Aku nggak akan jemput karena mau tunggu."
"Hah?"
Entah ini anugerah atau kutukan, yang jelas, aku dibuat geleng-geleng heran.
"Ya, Rose, aku akan tunggu kamu di sini."
Dia kembali berbicara lancar dan karismatik.
Demi apa aku sampai tak berkedip mendengarnya?
Sebulan sudah aku menikmati hari-hari penuh anu yang kadang anu sekali.
Leong makin berusaha mengambil hatiku.
"Leong, kalau kamu terus-terusan ngintilin aku gini, gimana caranya kita melangkah ke jenjang yang lebih serius?" Sumpah aku tanya ini karena saking eneknya tiap hari dibuntutin si Leong. Aku jadi layaknya tahanan.
"A-aku nggak nyang-nyangka ka-kamu mi-mikirin ma-masa depan ki-kita."
Aku memutar mata lelah. Demi Tuhan bukan ity maksudku. Benar-benar hanya karena terlalu bosan.
Bayangkan, ya, Pemirsa, aku setiap hari harus bertemu dengannya. Mendengar segala anunya yang anu. Menjadi tahanan yang selalu ada di dalam pengawasannya. Bagaimana bisa aku merasa tidak bosan?
"Aduh, please, deh, Leongardo Di Cipirito!"
"Ka-kamu manis banget ka-kalau kesel."
"Nggak lucu! Aku benar-benar capek. Bosan."
"Kita berhenti kalau gitu, Rose yang cantik."
What?
"Kamu kenapa ngomong bisa lancar begitu?"
"Ah, eng-enggak, kok. Si-siapa bi-bilang?" Dia seolah-olah menutupi sesuatu.
Aku jadi penasaran, siapa sebenarnya dia?
"Leong, kamu pernah punya pacar nggak?"
Dia terlihat masih berusaha menutupi sesuatu.
Baiklah, mungkin dia tak ingin menjawab.
Mobil mulai memasuki halaman sebuah restoran mewah. Bukan, datang ke tempat itu bukanlah kehendak Leong, melainkan aku yang memohon. Aku hanya ingin menguji seberapa sabarnya dia menghadapiku.
"Rose, ka-kalau nan-nanti uangku nggak cu-cukup, mungkin a-aku ba-bakal mem-membayar si-sisanya pa-pake ja-jasa."
"Hah?"
Demi apa dia ngomong begitu?
"I-iya."
"Leong, mending kita pulang aja sekarang!"
Kami akhirnya makan somay di jalanan.
Aku kesal bukan main akibat dari si tukang anu ini, rencanaku gagal. Aku gagal membuatnya kehabisan semua yang dia punya. Uang, kesabaran, dan harga diri. Ternyata dia lebih pandai bikin Si Anak Mami satu-satunya ini hilang semuanya. Terutama harapan.
Sambil makan somay, dia sesekali jadi asistenku.
"Mau minta apa lagi, Rose?" tanya Si Leong.
"Minum."
Aku menjawab dengan cuek. Tak lagi ingin memberi dia harapan palsu. Ya, biar saja. Biar dia sadar kalau aku itu enggak mau dekat-dekat dia.
"Ini."
Tahukah kalian kalau cowok sipit itu ternyata sudah mempersiapkan apa pun?
Cowok itu tersenyum manis, walau di mataku itu sama sekali enggak. Sebal. Semua rencanaku mentah begitu saja.
Somay yang kumakan jadi terasa tak enak
***
"Kenapa pada diem-dieman?" tanya Si Mami.
"Sariawan."
"I-itu tadi Rose ngajak makan di res-restoran."
"Terus?"
"Duitnya kagak ada, Mam!" jawabku kesal.
Kesal sekali aku dibuatnya hari ini ih pokoknya.
"Anak Mami jangan marah-marah, ih jelek!"
Bodo amat jelek. Toh jadi cantik juga enggak ada enaknya. Dijodohin sama Leong.
"Cantik juga ujung-ujungnya disuruh kawin sama cowok culun macam dia, hiiih!"
"Rose!"
Bodo amat! Beneran bodo amat! Aku kesal!
"U-udah biarin aja, Tan!" ujar Leong si culun.
Aku mendengar dia mencoba untuk meredakan amarah Mami yang naik. Aku benar-benar sudah bodo amat ini langsung kabur ke kamar. Mengunci dengan gemas daun pintu itu. Meski, aku sebenarnya merasa bersalah, sih.
Cuma ya biarin aja, siapa suruh Leong bikin aku kesal? Kesal dalam mode di atas normal. Hampir meledak dan ini benar-benar pengalaman pertamaku.
"Aku enggak biasa gagal kalau jailin Si Culun!"
Meski tadi sempat merasa bersalah di hati dan jiwa, nyatanya sekarang tak ada lagi. Hanya keping-keping lain di otak isinya masih sama. Jailin Leong.
"Rose!"
"Rose tidur, Mam!" jawabku lirih dan malas.
Nyatanya suara lengkingan dari luar menyiksaku.
Mau tak mau, anak cantik ini luluh. Ih rasanya pengen sekali melempar ini kunci ke wajah Mami. Cuma rasanya, kok kurang mantap.
"Sekali lagi Mami panggil kagak juga keluar—"
"Iyaaa!"
Pintu segera terbuka dan ternyata si culun Leong ada bersama Mami. Ini asli gawat! Aku enggak mau Si Culun bertindak aneh-aneh.
"Kamu mesti minta maaf ke Leong ih Rose!"
Mami apaan coba? Masa harus minta maaf ke Si Culun? Oh, duniaku terasa runtuh.
Mau bagaimana lagi, perintah Mami itu semacam titah. Jadi aku mau tak mau mengulurkan tangan. Mencoba merendahkan ego.
"Maaf!"
"Aku enggak marah sama kamu, Rose, sumpah!"
Apa aku enggak salah dengar? Dia itu lancar banget ngomongnya. Ah, tapi mungkin dia emang lagi serius saja.
Kenapa juga aku mesti mikirin cara Si Culun?
Setelah itu, aku berniat menutup lagi pintu.
"Eeeh!"
Tangan Mami ternyata lebih kilat dari Flash.
Kupingku sudah jadi target operasi. Ih rasanya sungguh seperti anak pungut. Kupingku bahkan mungkin sudah tak kuat menahan panas dan perih.
"Maaam!"
"Siapa suruh nutup pintu?" tanya Jeng Sekar.
Jeng Sekar Ayu yang ayunya enggak ada apa-apanya dibandingkan dengan Rose.
"Kalau enggak tutup pintu nanti ada maling!"
"Emang Mami sengaja bawain maling kamu!"
Mami bawa maling? Tuhan, habis ini apa lagi cobaan yang harus kunikmati melalui tangan lentik Mami? Leong Si Culun saja aku belum sanggup untuk mengempaskannya.
Semoga setelah ini Tuhan memberiku keistimewaan.
"Rose enggak punya harta, mana ada maling yang berminat masuk ke sini, Mam?"
"Kamu sendiri tadi yang bilang," kata Mami.
Benar juga. Ah, ternyata gara-gara ini kuping kena jewer terus-terusan bisa bikin amnesia. Wah ini wajib diteliti!
"Oke... oke... Mami mau Rose ngapain lagi?"
"Temenin Leong ngobrol!" perintah Si Mami.
Rasanya somay di perutku ingin lari keluar.
"Harus banget Rose lakuin?" tanyaku negosiasi.
***
Hari ini Mami sudah lebih baik. Kata Si Dokter yang memeriksanya tadi, Mami sudah diperbolehkan pulang. Kondisi Si Mami berangsur bugar.
"Akhirnya Mami bisa pulang," seru sang mami.
Ceria.
Akhirnya memang kami sedang dalam perjalanan menuju rumah. Untungnya tadi Vivi membantuku untuk mengurus administrasi sehingga tak mengganggu waktu kerjaku. Setidaknya aku datang, Mami sudah siap pulang.
Aku memeluk wanita itu dengan amat gembira.
"Mami siap pulang?" tanyaku ke Mami, semangat.
"Mami udah kangen rumah," jawabnya bergetar.
Tentu saja aku pun kangen rebahan di rumah.
Namun, kusadari ini bukan saatnya ke kasur.
"Kalau gitu, mari kita pulang!" teriakku tertahan.
Tentu saja aku tak berani teriak dengan kencang.
Kami memang masih di kamar rawat di mana pasien lain banyak yang istirahat siang.
"Biar aku aja yang dorong Tante Sekar, Rose!"
Mami memang sengaja kusuruh naik di kursi roda untuk ke lobi rumah sakit. Di sisi lain sebenarnya Mami menolaknya karena merasa sudah sehat. Memang di situ benar, tetapi tetap tak ada salahnya menggunakan kursi roda agar tenaga Si Mami sedikit lebih awet. Setidaknya tak mudah pingsan lagi.
"Sebenarnya Tante mau jalan," katanya, merayu.
"Jangan maksain, Tan!" ujar Vivi sabar sekali.
Mami akhirnya mengalah dengan kami berdua.
Suara gesekan roda dengan keramik di lorong rumah sakit mulai terdengar. Di sisi kanan kiri kami ditumbuhi pohon dan tanaman hias lainnya sehingga ada angin yang segar karenanya. Sungguh mampu membuat otak kembali normal.
Mobil yang menjemput kami sudah ada di lobi rumah sakit. Sang sopir terlihat keluar untuk membukakan pintu agar Mami bisa lekas naik mobil. Bersyukur karena mendapat sopir taksi yang tidak cuek kepada pelanggan.
"Terima kasih, Pak," ucap Mami kepada Sopir.
Si sopir tersenyum, tak lupa menjawab Mami.
"Sama-sama."
"Nanti kita mampir ke toko buah dulu, Pak!"
"Baik."
Aku berniat membeli buah-buah yang merah.
"Enggak usah hambur-hamburin uang, Rose!"
Mami kemungkinan takut aku bakalan kehabisan uang jika membeli buah. Ya benar juga, tetapi tetap saja bukan tak boleh aku belanja buah, kan? Buah ini kuniatkan untuk membuat Mami lebih sehat dan bugar.
Masalah uang, nanti pasti ada jalannya lagi.
Beberapa menit melaju, akhirnya toko buah tampak di sisi kanan. Kami sesaat berhenti demi beberapa kilo buah. Dua jenis beri-berian kuambil tanpa pikirin harga karena memang uangnya sudah kusiapkan terlebih dulu.
Setelah membayar, aku langsung balik menuju mobil di mana Mami bersama Vivi.
Sopir pun kusuruh jalan supaya waktu kami tak terbuang banyak. Mengingat aku harus kembali ke restoran tak lebih dari setengah jam lagi. Untuk itu semua harus cepat supaya tak kena marah bos.
Mobil berjalan dengan cepat dan kami pun sampai di rumah. Rumah kami nan asri dan terawat. Akan tetapi, beberapa hari Mami dirawat di rumah sakit bikin tanaman bunga di halaman layu. Amat menyedihkan memang.
"Sampai juga di rumah," seruku dengan takjub.
"Kamu sempetin istirahat dulu," kata Si Mami.
"Rose mesti balik ke tempat kerja cepet, Mam."
"Kamu pasti kecapekan," desah wanita itu.
"Mami jangan khawatir, Rose masihlah muda!"
"Makan yang teratur, ya!" pesan Mami serius.
"Mami juga harus makan teratur walau enggak ada Rose di rumah," pesanku ke Mami.
Vivi membantuku merapikan beberapa titik di rumah ini yang sedikit membuat kurang nyaman karena kotor. Aku dan Mami langsung menuju kamar supaya wanita kesayanganku ini bisa rebahan. Aku khawatir kalau Mami beraktivitas berat malah kecapekan lagi. Sementara uang untuk operasi belum kelihatan di mana.
Jadi aku menjaga banget supaya Mami sehat.
***
"Kamu dari mana saja jam segini baru datang?"
"Saya dari rumah sakit, Pak," jawabku pelan.
"Kamu sakit apa?" tanya Pak Bos tanpa ekspresi.
Aku sebenarnya malas menjawab andai dia bukan bos. Nada pertanyaannya itu sama sekali enggak ada empati. Dingin.
"Saya sehat-sehat saja, Pak," jawabku ke bos.
"Terus ngapain ke sana?" tanya Pak Bos lagi.
"Jemput ibu saya pulang," jawabku tak semangat.
Aku melirik pria yang memakai setelan itu.
"Ibumu dokter atau perawat?" tanyanya lagi.
"Ibu saya baru selesai dirawat," jelasku geregetan.
Mata pria itu terlihat naik. Meski pakai kacamata hitam, tetapi otot di samping mata itu terlihat naik. Mungkin mikirin keadaanku atau Mami.
"Sakit apa memangnya Mami?" tanya Si Bos.
"Mami?"
Aku kaget karena dia menyebut 'Mami' tiba-tiba.
Namun, wajah itu tertangkap kayak ada kegugupan.
"Maaf kebiasaan di rumah," kilahnya ke aku.
"Oh."
"Maksud saya, ibumu sakit apa?" tanya Bos.
Aku jelaskan sedikit bahwa Mami agak kecapekan.
"Nanti saya titip vitamin buat ibumu di rumah."
"Vitamin apaan, Pak?" tanyaku bingung mendengarnya.
Entah kenapa aku merasa bos ini agak aneh.
"Vitamin biar ibumu sehat," katanya tak bereskpresi.
Sedikit terharu aku mendengarnya. Tak kusangka bos yang nyebelin itu peduli sama Mami. Repot-repot mau kasih dia vitamin segala.
Semoga ini pertanda baik. Meski uang yang kubutuhkan untuk pengobatan Si Mami tidak sedikit, tetapi kalau bosnya begini aku jadi semangat. Optimis.
Pak Bos terlihat pergi setelah bilang itu tadi.
Lumayan lega hatiku. Kukira akan ada hukuman karena terlambat balik kerja sekitar 5 menit. Ternyata hanya ditanya dari mana.
"Semoga enggak ada lagi hal aneh dari Bos!"
"Kamu bilang apa barusan?" tanya Bos tiba-tiba.
Ternyata pria itu sudah kembali berdiri mematung.
Jarak kami hanya beberapa puluh senti, mampus!
"Pak Bos ada di situ ternyata," lirihku di tempat.
Dia kembali mendekatiku dengan mata masih tertutup kacamata hitamnya. Ya, tetapi aku menebak dia sedang lurus ke arahku tatapannya. Bikin deg-degan.
Sumpah ini macam adegan slow motion film.
"Mana hafalan menu kamu?" tanya Pak Bos.
Mampuuus!
Bagaimana ini? Sedangkan aku sibuk di rumah sakit dan lupa untuk menghafal menu yang sudah disepakati. Habislah.
Rasanya ingin kutampar ini wajah dan berharap tak mengulangi kesalahan ke depannya.
Aku belum berani membuka mulut dan sedang berusaha menata kata-kata. Ya ssiapa tahu Pak Bos berbaik hati untuk mengampuni kelalaianku ini. Semoga.
"Mohon maaf, Pak, saya belum hafalin menunya."
Hening.
Tak sanggup rasanya aku mendengar Si Bos.
Semoga ada sebuah keajaiban. Semoga malaikat baik hati melindungiku. Mata ini terpejam saking takutnya dengan Si Bos dan ucapan apa yang akan diucap.
Rasanya langit mendadak ingin runtuh, kiamat.
"Jadi?"
Habis sudah riwayatku. Rasanya Tuhan cepat sekali mencabut rasa optimis ini dari hatiku. Rasanya Tuhan mengujiku.
Boleh enggak, sih, ada gempa biar aku lari?