Bab 5: Kelepasan

1597 Kata
Kakiku yang tadi terkilir rasanya tak tertahankan. "Sakit banget astaga," lirihku," kenapa gini?" "Makanya jangan suka bantah Mami, Rose!" Bodo amat dengan kalimat itu. Mana ada anak lagi kesakitan malah Mami menyindir begitu. Sungguh sangat tak berperikemanusiaan yang beradab. Bukannya disayang-sayang, ini malah sebaliknya. "Ceramah aja terus, Mam, jangan ada jeda!" Mami kayaknya makin kesal karena kupingku tiba-tiba terasa kena sentil kencang. Aku mengaduh seraya melirik wanita itu. "Apa lirik-lirik Mami?" dengkusnya di depanku. "Ya Tuhan, salah apa hambamu yang cantik ini sehingga diberi Mami kayak gini?" "Berani bilang begitu?" tanyanya tak terima. Kali ini rambutku yang kena jambak Mami. "Ya Tuhan, tolong turunkan malaikat padaku!" Aku meringis menahan sakit di mana tangan Mami mendarat. Rasanya aku ini memang benar-benar anak tiri. Ya, kalau bukan, mungkin anak pungut. Mana ada ibu kandung yang setega Si Mami? "Malaikat buruk rupa, mau?" seru Si Mami. "Mami lepas donk, sakit!" kataku yang disertai rengekan. Mencoba berakting layaknya Cinderella yang tengah ibu dan kedua kakak tirinya siksa. Melas. Mami akhirnya melepaskan tangan di rambutku. Aku menyipit menatap Mami yang di hadapanku. "Minum obat dulu biar ilang sakitnya, Rose!" Aku terbengong melihat butiran obat itu. Mami memang macam orang dengan dua kepribadian. Yang satu galak dan menjengkelkan hati, sedangkan di sisi lainnya dia sungguh perhatian. Amat membingungkan. Namun, tatapan Mami yang tajam itu langsung membuat tangan ini refleks terulur. Benar saja, sesaat setelah sebutir obat itu berpindah ke tanganku, senyum di wajah Mami tercipta. Seperti ekspresi lega yang teramat sangat. Aku sampai tertegun. Buru-buru kutelan obat itu. Mami di depanku menyaksikannya. Kemudian mengulurkan segelas air putih untuk kuminum setelah menelan pil pahit. Setelah gelas itu kekosongan, aku pun mengembalikannya. Mami dengan riang mengambil gelas itu. "Kalau begini, rasanya Rose bagaikan putri." "Sejak kapan kamu berganti kelamin, Rose?" "Ganti kelamin segala ditanyain, aneh banget!" "Ya lagian, selama ini juga kamu putri kan?" "Mami memang ibu yang paling tidak peka!" Aku merajuk dan mengentakkan kaki keras-keras. "Idih!" Mami malah berlalu seraya meledek, sebal. Setelah Mami berlalu, rasa ngilu kaki ini mulai lagi terasa. Apa mungkin ini akibat tadi kuentakan keras-keras? Di sini aku merasa sedih. "Sakit." Aku meringis seraya mengelus bagian itu. Demi apa pun rasanya sakit dan ingin sembuh. "Makanya jangan kebanyakan kayak bocah!" "Mamiii!" Aku membanting diri ke kasur karena sebal. "Tidur biar cepet sembuh!" titah Sang Mami. "Yaaa." "Mami intip belum tidur juga, siapin kuping!" Aku menggerutu mendengar kalimat Mami. "Bawel." Terdengar pintu kamarku ditutup. Ya berhubung rasa nyeri di kakiku kian menyiksa dan menganiaya, maka aku memutuskan untuk keluar kamar. Ya tadinya ingin mengambil batu es yang nantinya akan kupakai mengompres kaki. Namun, baru saja aku mau turun dari tangga menuju lantai bawah, sayup di telingaku menyusup suara dari arah kamar Mami. *** Leong datang dengan seikat mawar di tangan. "Ka-kamu udah enakan?" tanya Leong perhatian. "Lumayan." "Ha-hari ini jadi enggak ke ka-kampus donk?" "Enggak." "A-aku temenin di rumah a-aja," kata Leong. "Kamu pulang aja, aku mau istirahat total." "Ju-justru itu, a-aku di si-sini bu-buat bantuin." Aku memutar mata lelah mendengar Si Culun berusaha meyakinkanku. Di sisi lain, sebenarnya kalau memang Si Culun benar-benar mau membantuku tentu akan kuterima dengan teramat senang dan bahagia. Setidaknya pria itu bisa kusuruh-suruh. Kapan lagi Si Culun akan menjadi pelayanku? "Leong makan dulu, yuk!" ajak Mami mengagetkan. "U-udah makan ta-tadi, Tante," jawab Leong. "Sengaja pasti biar enggak makan di sini?" Aku melihat wajah pria itu agak aneh karena ada semu merah di kedua pipi mulusnya. "Enggak gi-gitu juga, Tante," jawabnya lagi. Lama-lama aku lelah melihat drama ini. "Makanya Rose enggak boleh ketus ke Leong." Aku melotot tak percaya mendengar kalimat penuh intimidasi dari mulut Mami. Kenapa jadi larinya aku yang salah di sini? "Kenapa jadi Rose yang disalahin, sih, Mam?" Mami melirik tajam ke arahku. Tidak paham aku dengan arah pikiran ajaib Mami yang amat menakjubkan. Masa semua masalah jadi aku yang salah? "Bu-bukan karena Rose juga, kok, Tan, se-serius." *** Aku terbangun ketika terpeleset dan jatuh. Biasa. "Astaga cuma mimpi," lirihku sambil bangkit. Leong terlihat mendekatiku. Langkah pria itu seperti tergesa. Mungkin saja khawatir. "Ka-kamu mi-mimpi buruk?" tanya Si Culun. Aku mengangguk berulang-ulang. Di dalam sana, jantung masih terus tak bisa berdetak dengan normal. Hampir copot rasanya. Aku melongo, ketika pria itu duduk di sampingku. Tangan pria itu meraih gelas dari atas nakas. Segelas air putih itu segera tandas ke lambung. "Makasih." "Sama-sama." "Tolong gedein AC!" perintahku tanpa berpikir. Aku hanya ingin melihat keseriusan Si Culun dengan kalimat yang sudah diucapkannya. "O-oke." "Remotnya ada di atas TV," kataku tak acuh. "Oke." Lagi-lagi aku mendengar Leong tidak gagap. Kalau begitu, apa ada yang ditutupi Si Culun? "Leong sebenarnya bisa bicara lancar, kan?" "A-apa?" "Jangan kebanyakan drama!" sindirku kesal. *** "Kalau gini terus saya takut ketahuan, Tante." "Kamu tenang aja, Leong," ujar Mami tenang. Mereka pasti tak sadar aku sudah ada di belakang mereka. Berdiri tertegun. Makin mencurigai kedua manusia itu. "Apa yang kalian sembunyikan terus dariku?" "Rose?" Kedua manusia itu menoleh dan amat terkejut. "Kaget juga kalian ternyata berusaha menutupi—" "Rose jangan salah paham dulu," kata Mami. Wanita itu memotong ucapanku yang memojokkan. Ada ekspresi aneh yang jarang kulihat di wajah tuanya. Ada kilasan aneh di mata jernihnya yang biasanya melirik tajam ke arahku. Ada juga gumaman entah. Leong menatapku dengan tenang dan maju. "Se-sebenarnya a-aku menyimpan ini, Rose." Leong mengeluarkan kotak beledu itu dan membukanya. Kota warna putih yang amat klasik. Aku melihat cincin. Tidak ada yang lain selain cincin. Aku curiga itu hanya akal-akalan mereka. Jebakan. Namun, melihat senyum Leong yang begitu manis membuat hati ini sedikit meleleh. Pancaran sinar mentari sore mampu membuat cincin itu berkilau dengan indahnya. "Padahal tadinya mau dikasih ketika pesta—" "Sekarang juga enggak apa-apa, Tante, sungguh." Lagi-lagi kalimat itu sangat lancar. Ini pasti mereka atau minimal Leong tak jujur akan suatu hal kepadaku. Baik Si Culun atau Mami, keduanya memang ceroboh. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tak peduli apa pun risikonya, aku harus tahu. "Dalam rangka apa kamu kasih cincin ini, Leong?" "Dalam rangka meraih cinta Rose," jawab Leong. Bibirnya yang merah dan tipis itu ditarik dengan indahnya ke belakang. Senyuman itu amat indah. Akan tetapi, aku tak mau terjebak di dalam perangkap itu. "Sayangnya aku menolak," kataku seraya berlalu. *** "Kalau Pak Galih enggak berkunjung, tolong jangan ada yang bilang bahwa ada anak magang di sini!" pesanku ke para pegawai. "Siap." Mereka menjawab serempak. Walau ada kebingungan di wajah beberapa dari mereka. Pasti bertanya-tanya apa sebabnya aku menutupi hal ini. Aku hanya belum ingin Papa tahu ada Rose. Aku juga masih ingin memastikan apa tujuannya bekerja di sini. Bukankah dia harusnya mengerjakan skripsi? Ya harusnya tak ada yang lebih penting selain itu, kan? Namun, mengapa dia justru bertahan di tempat ini? Padahal aku sudah mengerjainya dan kasar. "Bantu anak itu sampai dia bisa kerja, ya!" "Apa boleh dia saya 'didik' supaya ada hasilnya?" "Didik sewajarnya saja!" tegasku yang paham. "Baik." Kalau Koki sudah bilang 'didik', maka aku takut Rose bakal benar-benar jadi kuli. Aku melihat sendiri betapa kejamnya 'didikan' koki di sini. Namun, tentu itu semua dilakukan untuk mendapatkan kualitas pegawai yang mumpuni. Ada bagusnya. Namun, kalau dengan keadaan Rose yang kayak sekarang ini harus dapat 'didikan' koki, maka sudah pasti bakal berakhir kurang baik. "Ngomong-ngomong ini menu baru di sini belum jadi diuji coba ke saya, ya, kapan?" Koki senior itu terlihat berpandangan dengan beberapa asistennya. Seperti masih ada kendala yang dihadapi dan belum yakin dengan hasilnya. Kalau memang begitu, aku akan memahami itu sebagai suatu pertimbangan. "Sebenarnya kemarin masih ada yang kurang—" "Jadi mau kapan uji coba?" potongku cepat. Sekali lagi mereka tampak berembuk, serius. Beberapa saat kemudian mereka beri jawaban. "Nanti malam, selepas jam tutup, Pak Leon." "Enggak ada waktu lain?" tanyaku tak setuju. Aku ada rencana mau mengikuti Rose nanti. "Pak Leon ada acara, ya?" tanya sang koki. Akhirnya aku memutuskan untuk tak jadi melakukan uji coba lidah dalam waktu dekat. Biar saja agak ditunda di minggu-minggu ke depan. Toh, menu lain masih terus dicari penikmatnya. Setelah jam kerja selesai, aku segera keluar. "Kalau lihat Rose keluar, tolong kasih kabar." Aku berpesan ke orang-orang lama di dapur. "Baik." "Kalau sempat, tolong bikin martabak keju!" "Ditaruh kotak seperti biasanya atau enggak?" "Masih ada, kan, kotaknya?" tanyaku memastikan. Semoga martabak manis ini nantinya bisa mewakili kehadiranku. Melalui si martabak keju gondrong ini kukirim doa bagi kesembuhan Tante Sekar. Si wanita hebat yang begitu sabar dalam mendampingi anak gadisnya. Setelah beberapa saat aku menunggu di mobil, tiba-tiba ponselku berkedip, pesan. "Pak Leon, Rose baru saja keluar dari dapur." Isi pesan ini kutanggapi dengan amat lega. Pelan-pelan kuikuti langkah gontai si gadis. "Kasihan gadis manja itu," gumamku pedih. Biasanya dia hanya berteriak dan apa pun yang dibu Aku baru tahu kalau dia memang tak bekerja demi dirinya sendiri. Dia juga pasti sebenarnya tidak ingin kerja di situasi sesulit ini tanpa adanya bekal. Apalagi ketemunya dengan dapur. Dia sendiri tak pernah kenal dapur. Kasihan juga melihatnya kelelahan di sini. Melihat langkah gontainya itu menuju ruang rawat di mana sang ibu dirawat membuat hati ini sedikit tergugah. Ada beban jelas di pundak gadis manja itu. Ada kekhawatiran yang pasti selalu dia rasakan karena harus bekerja. Pasti dia khawatir dengan sang ibu pas kerja. "Kalau begini, rasanya aku harus agak baik." Dengan sikapku yang seolah-olah tak ada baiknya ke dia, pasti rasa kesal di hati gadis itu melonjak. Namun, pasti dia bertahan agar tak meledak. Pasti. "Selamat malam, Pak, mau ke bagian apa?" "Ti-tidak ke mana-mana, Pak, tadi ada teman...." Aku mencoba menjelaskan tentang Si Rose. Aku juga langsung pergi karena tidak enak. Sesampainya di mobil, aku tak lantas pergi. Aku merenung dulu, memikirkan apa yang sebenarnya sedang kuperbuat di sini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN