Tidak Enak Badan Hingga Diamputasi

1010 Kata
Malam ini rasanya sangat menderita hidupku. Bagaimana enggak? Aku yang sudah kesal tingkat kecamatan justru duduk berduaan sama Si Culun semalaman. Mengobrol ke sana kemari. "Me-memangnya Rose ke-kenapa gitu mau nemenin a-aku ngo-ngobrol gini semalaman?" Dia mulai lagi mengusik rasa kesal di hatiku. "Kalau aku nolak, bisa-bisa dipecat Si Mami." "Ma-mana mungkin Mami melakukan i-itu!" Aku menyeringai kesal. Dia pasti tak tahu kebiasaan Mami yang sangatlah suka memaksa. Aku juga heran kenapa Mami menjadi manusia yang inginnya didengar. Semua yang kata yang keluar dari mulutnya tak boleh dilanggar. "Udahlah kamu jangan sok peduli ke aku!" "A-aku me-memang be-beneran amat peduli." "Kalau kamu peduli sama aku, kenapa enggak paham apa yang aku mau dan harapkan?" Aku melihat wajahnya yang menjadi berubah. "Memangnya apa yang kamu mau itu, Rose?" "Kamu bisa ngomong selancar itu, ya, ternyata?" Aku berani bertaruh melihat ekspresi aneh. "A-aku yakin ka-kamu pasti sa-salah dengar." Salah dengar dari Hongkong? Kuping wanita cantik ini dirawat rutin dokter THT dengan saksama. Mana mungkin salah dengar? "Jangan sembarangan ngomong gitu, ya!" Aku menyaksikan wajah itu kian tak tertolong. Demi apa pun, melihat wajah pria itu berubah sedemikian mengenaskan, di hatiku merasa iba. Namun, aku harus berani berkata demikian apabila mau lepas dari neraka. Neraka abadi anak kandung yang diperlakukan layaknya robot. *** Pagi ini jeweran di kupingku tak ada lagi. "Bagus sekali Anak Mami hari ini kian pinter." Aku mencebik. Sebal sekali disindir Si Mami dengan tak tahu diri. Memang hari ini aku sengaja bangun pagi-pagi. "Rose capek jadi robot cantik Mami di setiap saat. Dibangunin. Dijewer. Lalu disuruh-suruh." "Disuruh-suruh?" "Memangnya Rose salah?" tanyaku ke Mami. Ternyata Mami selama ini enggak ada merasa. Padahal aku sebagai anak semata sapi yang paling cantik ini sungguh sangat tersiksa. *** Sepanjang perjalanan ke kampus, aku diam. "Rose kenapa diem terus?" tanya Pria Culun. Aku masih enggan menjawab Leong karena memang kekesalan hati masih bertumpuk. "Turun di sini aja, Leong!" ucapku ke Leong. "Rose...." Suara itu pelan sekali menyusup hati kecilku. Tangan pria itu pun terulur ke arahku seraya mata tajamnya menatapku tak terbaca. Sekejap saja tangan itu sudah meraih tanganku. Kami bertatapan sejenak, sebelum Si Culun berusaha membawa tanganku untuk didekatkan ke bibirnya. Aku di sampingnya sampai melengos karena merasa risi. Buru-buru tangan ini tak kubiarkan berada di genggaman sang pria. "Makasih udah nganterin aku, Leong Sayang!" "I-iya." Demi apa mulutku malah asal bunyi begitu. "Nanti enggak usah jemput!" pesanku singkat. Aku mendengar Leong seperti bilang sesuatu. Namun, tentu saja aku mengabaikan Leong. Aku berlari menuju tempat sakral itu demi menyelamatkan nyawa. Tempat janjianku sama Pak Sumardi, si dosen pembimbing skripsi. Sudah beberapa kali judul skripsiku ditolak. Entah ini. "Rose!" "Ya?" Suara itu mengalihkan fokusku untuk berlari. Ternyata Pak Sumardi yang suaranya terdengar. Pria berkemeja putih itu tampak tidak tersenyum. "Hari ini saya sedang kurang sehat ini sebenarnya...." Suara itu terdengar berat. Seperti ada sejak juga di sana. Mungkin beliau ini kelelahan. "Kalau memang Bapak sedang kurang sehat dan perlu istirahat, saya paham, Pak." "Paham tentang apa?" tanya si dosen kebingungan. Demi apa pun, aku kurang paham apa yang dipikirkan pria paruh baya itu di kepalanya. "Paham kalau Bapak perlu istirahat di rumah." Pak Sumardi tersenyum seraya kepala yang rambutnya mulai beruban dan botak di beberapa bagian digelengkan berulang-ulang dengan keras. "Kamu salah, Anak Gadis!" jawabnya kemudian. Kini, giliran aku yang menggelengkan kepala. "Lantas?" Pak Sumardi mendekatiku. Masih ada senyum di wajahnya. Lantas beliau ke sebelahku. Beliau mencondongkan wajahnya ke arahku. "Mau nyari badan yang enak," bisik Si Dosen. "Hah?" Mataku melotot mendengar bisikan Si Dosen. Tak kusangka, di usianya yang kurang lebih 60 tahun itu masih suka humor. Jarang sekali ada dosen yang seperti itu kutemui di jagad kampus ini. Para dosen biasanya serius dan kaku mirip otot yang seharian dipaksa kerja bak kuda. "Biasa aja, donk, ekspresinya, jangan lebay!" "Bapak bisa aja," sahutku mencairkan suasana. Pak Sumardi kembali tersenyum. Kali ini aku merasa senyumnya berisi kata yang aku sendiri tak mampu melihat. Sungguh implisit. Lagi-lagi pria tua itu membisikkan hal aneh. Hal aneh yang membawa otakku jauh melayang. "Musim skripsi memang banyak yang enak-enak." "Maksud Bapak gimana, saya kurang paham?" Pria itu menggeleng. Sepertinya agak heran melihatku yang melongo bagai kerbau pilon. Polos dan masih awam hal-hal yang orang lain kenal. Entah apa yang dipikirkan dosen itu, ia malah kabur. Aneh. Aku menyesali ini. "Rose!" Sekali lagi kepalaku mencari sumber suara. Alangkah kagetnya saat yang kulihat Leong. Pria muda culun itu rasanya pengen kusambit. "Kagak ada orang lain apa di kampus sini?" Aku menggerutu seraya berusaha tak peduli. *** "Makanannya udah dibayar sama Kak Ervan." "Ervan?" Aku menoleh kanan kiri demi melihat Ervan. Namun, tak ada pria lain yang kulihat selain Leong. Lagi-lagi manusia aneh itu muncul. Padahal sudah kuwanti-wanti agar tak menjemputku. "Udah makannya, Rose?" tanya Leong lancar. "Kamu abis makan apa?" tanyaku ke Leong. Leong menggeleng seraya tersenyum aneh. Memang pria culun itu sangat aneh di mataku. "Kenapa bisa ngomong selancar tadi itu?" "Me-memangnya a-ada gitu makanan yang—" "Jangan pura-pura culun, deh!" ujarku kesal. "A-aku be-beneran enggak tahu," kata Leong. "Bukan masalah itu!" ketusku sambil meninggalkannya. "Tu-tunggu aku, Rose!" teriak Leong Si Culun. Belum lagi aku mampu berlari lepas dari pantauan pria sipit itu, tiba-tiba terpeleset. "Aduh!" Pinggang ini rasanya bagai dihantam godam. "Rose!" "Tolongin cepetan, Leong, aduh sakit banget!" "I-iya aku tolongin, Rose!" jawab Sang Pangeran. "Aduh sakit, Leong!" rintihku keras ke Leong. Pria itu sangat lembut memapahku ke tempat yang lebih nyaman. Bukan ke ruang kesehatan atau mana begitu, Si Leong mengajakku menggembel. Aku disuruh duduk di rerumputan hijau di samping kantin. Sungguh, ini bagai cerita romantis di novel. Sayangnya Pangeranku ini culunnya kebangetan. Kalau di novel pasti akan ada adegan mendebarkan. Sedangkan yang terjadi kepadaku tak lain adalah adegan menjengkelkan di hati. "Enakan di sini, kan?" tanyanya tidak bersalah. "Enaaak!" "Kenceng banget jawabnya!" gerutu Si Culun. *** "Anak Mami kenapa pincang?" tanya Mami. "Diamputasi." Aku yang jawab asal itu alhasil kena jitak. Aku dibantu Mami dan Leong duduk pelan-pelan. "Kenapa Rose bisa pincang begini, Leong Sayang?" "I-itu tadi Rose terpeleset saat mencoba kabur." "Rose!" Astaga Leong jujurnya minta ampun. Dia anak siapa sebenarnya? Jangan sampai kuamputasi!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN