Bab 3: Restoran dan Kegagalan

698 Kata
Restoran Sebulan sudah aku menikmati hari-hari penuh anu yang kadang anu sekali. Leong makin berusaha mengambil hatiku. "Leong, kalau kamu terus-terusan ngintilin aku gini, gimana caranya kita melangkah ke jenjang yang lebih serius?" Sumpah aku tanya ini karena saking eneknya tiap hari dibuntutin si Leong. Aku jadi layaknya tahanan. "A-aku nggak nyang-nyangka ka-kamu mi-mikirin ma-masa depan ki-kita." Aku memutar mata lelah. Demi Tuhan bukan ity maksudku. Benar-benar hanya karena terlalu bosan. Bayangkan, ya, Pemirsa, aku setiap hari harus bertemu dengannya. Mendengar segala anunya yang anu. Menjadi tahanan yang selalu ada di dalam pengawasannya. Bagaimana bisa aku merasa tidak bosan? "Aduh, please, deh, Leongardo Di Cipirito!" "Ka-kamu manis banget ka-kalau kesel." "Nggak lucu! Aku benar-benar capek. Bosan." "Kita berhenti kalau gitu, Rose yang cantik." What? "Kamu kenapa ngomong bisa lancar begitu?" "Ah, eng-enggak, kok. Si-siapa bi-bilang?" Dia seolah-olah menutupi sesuatu. Aku jadi penasaran, siapa sebenarnya dia? "Leong, kamu pernah punya pacar nggak?" Dia terlihat masih berusaha menutupi sesuatu. Baiklah, mungkin dia tak ingin menjawab. Mobil mulai memasuki halaman sebuah restoran mewah. Bukan, datang ke tempat itu bukanlah kehendak Leong, melainkan aku yang memohon. Aku hanya ingin menguji seberapa sabarnya dia menghadapiku. "Rose, ka-kalau nan-nanti uangku nggak cu-cukup, mungkin a-aku ba-bakal mem-membayar si-sisanya pa-pake ja-jasa." "Hah?" Demi apa dia ngomong begitu? "I-iya." "Leong, mending kita pulang aja sekarang!" *** Gagal Kami akhirnya makan somay di jalanan. Aku kesal bukan main akibat dari si tukang anu ini, rencanaku gagal. Aku gagal membuatnya kehabisan semua yang dia punya. Uang, kesabaran, dan harga diri. Ternyata dia lebih pandai bikin Si Anak Mami satu-satunya ini hilang semuanya. Terutama harapan. Sambil makan somay, dia sesekali jadi asistenku. "Mau minta apa lagi, Rose?" tanya Si Leong. "Minum." Aku menjawab dengan cuek. Tak lagi ingin memberi dia harapan palsu. Ya, biar saja. Biar dia sadar kalau aku itu enggak mau dekat-dekat dia. "Ini." Tahukah kalian kalau cowok sipit itu ternyata sudah mempersiapkan apa pun? Cowok itu tersenyum manis, walau di mataku itu sama sekali enggak. Sebal. Semua rencanaku mentah begitu saja. Somay yang kumakan jadi terasa tak enak *** "Kenapa pada diem-dieman?" tanya Si Mami. "Sariawan." "I-itu tadi Rose ngajak makan di res-restoran." "Terus?" "Duitnya kagak ada, Mam!" jawabku kesal. Kesal sekali aku dibuatnya hari ini ih pokoknya. "Anak Mami jangan marah-marah, ih jelek!" Bodo amat jelek. Toh jadi cantik juga enggak ada enaknya. Dijodohin sama Leong. "Cantik juga ujung-ujungnya disuruh kawin sama cowok culun macam dia, hiiih!" "Rose!" Bodo amat! Beneran bodo amat! Aku kesal! "U-udah biarin aja, Tan!" ujar Leong si culun. Aku mendengar dia mencoba untuk meredakan amarah Mami yang naik. Aku benar-benar sudah bodo amat ini langsung kabur ke kamar. Mengunci dengan gemas daun pintu itu. Meski, aku sebenarnya merasa bersalah, sih. Cuma ya biarin aja, siapa suruh Leong bikin aku kesal? Kesal dalam mode di atas normal. Hampir meledak dan ini benar-benar pengalaman pertamaku. "Aku enggak biasa gagal kalau jailin Si Culun!" Meski tadi sempat merasa bersalah di hati dan jiwa, nyatanya sekarang tak ada lagi. Hanya keping-keping lain di otak isinya masih sama. Jailin Leong. "Rose!" "Rose tidur, Mam!" jawabku lirih dan malas. Nyatanya suara lengkingan dari luar menyiksaku. Mau tak mau, anak cantik ini luluh. Ih rasanya pengen sekali melempar ini kunci ke wajah Mami. Cuma rasanya, kok kurang mantap. "Sekali lagi Mami panggil kagak juga keluar—" "Iyaaa!" Pintu segera terbuka dan ternyata si culun Leong ada bersama Mami. Ini asli gawat! Aku enggak mau Si Culun bertindak aneh-aneh. "Kamu mesti minta maaf ke Leong ih Rose!" Mami apaan coba? Masa harus minta maaf ke Si Culun? Oh, duniaku terasa runtuh. Mau bagaimana lagi, perintah Mami itu semacam titah. Jadi aku mau tak mau mengulurkan tangan. Mencoba merendahkan ego. "Maaf!" "Aku enggak marah sama kamu, Rose, sumpah!" Apa aku enggak salah dengar? Dia itu lancar banget ngomongnya. Ah, tapi mungkin dia emang lagi serius saja. Kenapa juga aku mesti mikirin cara Si Culun? Setelah itu, aku berniat menutup lagi pintu. "Eeeh!" Tangan Mami ternyata lebih kilat dari Flash. Kupingku sudah jadi target operasi. Ih rasanya sungguh seperti anak pungut. Kupingku bahkan mungkin sudah tak kuat menahan panas dan perih. "Maaam!" "Siapa suruh nutup pintu?" tanya Jeng Sekar. Jeng Sekar Ayu yang ayunya enggak ada apa-apanya dibandingkan dengan Rose. "Kalau enggak tutup pintu nanti ada maling!" "Emang Mami sengaja bawain maling kamu!" Mami bawa maling? Tuhan, habis ini apa lagi cobaan yang harus kunikmati melalui tangan lentik Mami? Leong Si Culun saja aku belum sanggup untuk mengempaskannya. Semoga setelah ini Tuhan memberiku keistimewaan. "Rose enggak punya harta, mana ada maling yang berminat masuk ke sini, Mam?" "Kamu sendiri tadi yang bilang," kata Mami. Benar juga. Ah, ternyata gara-gara ini kuping kena jewer terus-terusan bisa bikin amnesia. Wah ini wajib diteliti! "Oke... oke... Mami mau Rose ngapain lagi?" "Temenin Leong ngobrol!" perintah Si Mami. Rasanya somay di perutku ingin lari keluar. "Harus banget Rose lakuin?" tanyaku negosiasi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN