Arion memutuskan sambungan teleponnya dan berdiri menatap jendela ruangannya. Tatapan matanya menerawang jauh. Dia sibuk dengan pikirannya. Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka dan terpampang sosok menyebalkan yang sangat ingin Arion hindari. Iya benar sosok itu adalah Zidan Raffasya. Yang sialnya temanya sendiri.
Zidan tanpa permisi masuk ke dalam ruangan Arion. Dengan santai Zidan duduk di salah satu sofa yang berada di dalam ruangan Arion. Dia bahkan tidak memperdulikan tatapan tajam dari Arion.
“Cih, keluar sana!” ujar Arion mencoba mengusir Zidan.
Bukannya pergi Zidan malah mengomentari sikap buruk arion.
Arion yang mendengar itu jelas tidak terima. Zidan Datang-datang malah mengomentari sikapnya. Untung Zidan temannya jika bukan sudah Arion usir dia.
“Arion, aku minta kamu jangan jangan bersikap kasar sama dia.” Zidan menatap lurus ke arah Arion.
Arion sontak mendelikan mata tajamnya menatap wajah Zidan.
“Itu bukan urusanmu! udah sana pergi aku sibuk,” ujar Arion dengan dingin mengusir Zidan untuk segera pergi dari ruangannya. “Aku nggak punya waktu meladeni ucapan omong kosongmu.”
Bukannya berhenti Zidan malah semakin mencibirnya.
“Arion, sikap kamu itu udah keterlaluan, Anak orang terluka gara-gara ulah kamu.”
“Sial ... Apa-apaan sih kamu! Tiba-tiba masuk ke ruanganku dan mengomentari aku!” ujar Arion ketus. “Lebih baik kau pergi sana!”
“Kalo kau masih bersikap kayak itu. jangan salahin aku. Kalo nanti aku yang akan mengambilnya.” ujar Zidan mencoba mengingatkan.
Arion yang mendengar hal itu sontak emosi. Dia bangkit berdiri seraya menatap tajam Zidan. sementara tangannya mengambil majalah dan melemparnya ke arah Zidan.
Beruntung Zidan berhasil menghindar, jika tidak mungkin dia akan terkena lemparan majalah dari Arion.
Zidan menghela napasnya dan segera bangkit berdiri seraya menyentuh pundak Arion.
"Dengar Arion, sewaktu-waktu orang itu bisa kembali lagi.” ujar Zidan seraya memasang wajah seriusnya. “Jadi aku harap kamu bisa menggunakan waktumu dengan sebaik mungkin.”
Arion tidak bereaksi apa-apa, dia bersikap seolah tidak mendengar apa yang Zidan katakan. Saat akan melangkah keluar Zidan kembali menghentikan langkahnya.
“Arion, sebagai seorang teman. Aku nggak ingin kamu menyesal untuk yang ke dua kalinya,” ujar Zidan menasehati Arion.
Setelah mengatakan itu Zidan bergegas keluar dari ruangannya. Sementara Arion masih terdiam.
“Sialan!” Gerutu Arion dengan kesal seraya menjambak rambutnya. Arion sontak berdiri seraya melangkahkan kakinya keluar dari ruangannya.
Arion masuk ke dalam kamar mandi untuk sekedar mencuci wajahnya.
Dia menatap bayangannya sendiri dengan tatapan yang sulit diartikan. Arion menghela napas berat seraya
berlalu pergi.
Untuk sesaat dia menghentikan langkahnya dan terdiam menatap meja kerja Alana. Dia menghela napas dalam-dalam seraya terduduk dikursi Alana. Sementara jari tangannya terus mengetuk-ngetuk meja. Arion mengambil ponselnya dengan perlahan-lahan bibirnya membentuk senyuman tipis. Arion terlihat mengetikkan balasan untuk Alana.
Satu menit. Arion masih bersabar menunggu balasan dari Alana. Mungkin Alana masih sibuk. Pikir Arion.
Tapi setelah menunggu kurang lebih. Tiga puluh menit, pesannya tak kunjung dibalas. Arion mulai kehilangan kesabaran.
“Berani sekali dia mengabaikan pesanku ” gerutu Arion kesal. “Apa dia nggak tahu? Di luar sana banyak yang ingin dapet pesan dariku. Tapi dia dengan kurang ajarnya malah mengabaikan pesanku.”
“Ini nggak bisa dibiarin!” sambung Arion tidak terima, dia segera bangkit berdiri seraya melangkahkan kakinya keluar dari kantornya.
Sementara Alana terlihat menghela napas seraya melemparkan ponselnya lalu menjatuhkan dirinya sendiri di atas tempat tidurnya seraya menggerutu kesal. Alana kesal karena pesannya sudah dibaca tetapi tidak dibalas. apa Arion sengaja membuatnya kesal. pikir Alana.
Tubuhnya lelah, letih dan lesu terasa tak karuan. Kakinya sakit terasa sangat nyut-nyutan. Alana bekerja seperti sapi perah. Dari hari senin hingga minggu. Dia dipaksa untuk tetap bekerja. Bahkan dalam sebulan Alana hanya mendapatkan jatah libur dua kali. Bayangkan dua kali? Mana cukup untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Ingin rasanya Alana berhenti kerja. Tapi kalau berhenti kerja. Nanti dia mau makan apa?
Sejujurnya Alana tidak tahan lagi dengan kelakuan menyebalkan Arion. Tapi berhubung zaman sekarang mencari pekerjaan susah. Ya mau tak mau, ya harus dikuat-kuatin saja lah.
Alana sering kali bertanya-tanya kenapa Arion suka sekali memerintahkannya yang aneh-aneh. Padahal masih banyak karyawan lain. Tetapi kenapa hanya Alana yang selalu dibuat pusing oleh ulah menyebalkannya.
Alana memukul-mukul bantalnya seolah-olah itu adalah Arion. Alana menyalurkan semua emosinya yang selama ini terpendam. Dia benar-benar kesal. Alana bergegas bangkit berdiri menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya dan berganti baju. kemudian Alana memainkan ponsel. Dia terlihat tersenyum-senyum sendiri saat melihat foto-foto idolanya.
Tiba-tiba senyumannya memudar ketika Alana mendapatkan pesan dari Arion dengan sangat malas Alana segera membuka isi pesan dari Arion.
Devil j*****m.
[° Kamu sakit apa?]
[° Kaki saya sakit Pak.
Gara-gara Bapak tendang]
[° Jadi kamu menyalakan saya begitu?]
[° Heyy, saya ini bos kamu!]
[° Jadi mana mungkin saya melukai karyawan saya sendiri.]
Alana yang membaca pesan itu sontak membulatkan matanya tak percaya. Bagaimana bisa Arion mengirim pesan seperti itu. Arion bersikap seolah-olah dia tidak merasa bersalah. Padahal sudah sangat jelas kaki Alana terluka karena ulah Arion sendiri. Ingin rasanya Alana menjual Arion ke pasar loak.
“Astaga gue benar-benar nggak ngerti lagi sama jalan pikirannya.” keluh Alana seorang duri. “Sebenarnya dia punya masalah apa sama gue? ah gue benar-benar nggak tahan lagi.”
Alana melemparkan ponselnya seraya menendang-nendang udara guna menyalurkan kekesalannya. Arion benar-benar menguji batas kesabarannya.
“Hufff .... Kesalahan apa yang pernah gue lakuin di masa lalu, bisa-bisanya gue dapet bos yang modelnya kayak Arion.” keluh Alana. Kalian bisa bayangkan sendiri. Betapa tersiksanya Alana.
Di sebuah pesawat pribadi, seorang pria terlihat sedang memegang gelas wine dengan erat seraya menatap jendela pesawat. Dia terus mengingat alasan dia kembali ke negara yang dulu sempat dia tinggalkan.
Pria mengenakan kacamata hitam itu turun dari pesawatnya seraya di ikuti oleh beberapa anak buahnya. Ekspresinya telihat dingin dan tatapan matanya sangat tajam. Pria itu segera menaiki mobilnya seraya menatap keluar jendela.
Tidak lama kemudian mobilnya berhenti di depan rumah mewahnya. Pria itu segera keluar mobilnya dan berjalan masuk kedalam rumahnya.
Beberapa anak buahnya menunduk hormat. Tetapi, pria itu hanya diam dan terus berjalan masuk kedalam ruangannya.
Pria menghentikan langkahnya di depan jendela. Seraya menghela napas dalam-dalam. Di belakangnya berdiri anak buahnya yang tampak menunduk takut.
“Maaf tuan, kami belum menemukan keberadaan nona,” ujar Anak buahnya terdengar takut. Pria itu berbalik dan menatap tajam anak buahnya. Dan ...
Plak
Pria itu menampar wajah salah satu anak buahnya.
“Kalian tidak berguna!” teriak pria itu dengan murka. “Aku tidak mau tahu. bagaimanapun caranya, kalian harus terus mencari keberadaan dia sampai ketemu..”
“Seminggu, Kalian aku belikan waktu seminggu, ” ujar pria itu dingin. “Kalian harus menemukannya dalam waktu satu minggu. kalau kalian tidak menemukannya dalam waktu seminggu. Kalian akan tahu sendiri akibatnya! ” ancam pria itu terdengar tidak main-main.
“Baik Tuan,” ujar Anak buahnya seraya menunduk hormat. Dan berlalu pergi meninggalkan pria itu.
Pria itu berjalan menuju ruangan rahasianya. Dia menatap foto-foto yang terpajang Indah di setiap sudut dindingnya. Pria itu mengambil salah satu foto seraya mengelus-elusnya dengan lembut. “Kamu sekarang ada dimana? Aku merindukanmu.”