Leebin melangkah menyusuri koridor kampus, menuju ke kantor. Dia dipilih oleh dosennya, menjadi salah satu mahasiswa yang berkontribusi dalam kegiatan akhir kelulusan. Pria itu kemudian merundingkan dengan teman-teman yang lain.
Banyak yang mengusulkan acara tersebut diadakan di hotel. Karena sekalian berlibur, mengingat itu adalah akhir-akhir perpisahan. Tanpa rekreasi, acara pelepasan para mahasiswa dan mahasiswi. Penyerahan penghargaan bagi mahasiswa dan mahasiswi yang berprestasi juga diadakan bersamaan di sana.
"Oke deal! Aku akan membawa rekomendasi kalian ke kantor. Meski aku ragu karena kalian memilih acaranya diadakan di hotel." Ujarnya seraya membawa kertas portofolio bersampul biru dalam genggaman tangannya.
Di luar pintu ternyata Melisa sudah bersandar di dinding, sambil menyilang kan kedua tangannya di depan d**a. Melihat Leebin keluar, gadis itu segera memegang bahunya.
"Kamu masih punya urusan sama aku!" Serunya pada Leebin.
"Tash!" Menepis tangannya seperti menepis ketombe. Lalu melanjutkan langkahnya menuju ruangan kantor.
"Kau!" Melisa berteriak sambil berkacak pinggang menatap punggung pria itu semakin menjauh.
Leebin mengangkat satu tangan kanannya keatas kepala, melambaikan ke kanan dan ke kiri, tanpa berbalik menatap wajah Melisa.
"Kenapa neng? Marah? Kesal? Awas stres!" Timpal Rudi, salah satu teman Leebin yang tadi ikut berpartisipasi dalam rapat.
Pria itu menenteng tasnya di bahu kanannya keluar dari dalam kelasnya. Rudi tidak mau bersikap lembut, karena Melisa dan rombongannya selalu sikut-sikutan entah dalam perkataan, atau dalam kegiatan kampus.
Gadis yang terkenal dengan kecantikannya di kampus itu tentunya tidak mau merendahkan diri hanya untuk begundal macam Leebin. Apalagi ucapan Rudi barusan, semakin membuatnya kesal alang kepalang
Melisa semakin cemberut kesal karena ucapan pria barusan. Selanjutnya keluar lagi, banyak laki-laki dari dalam ruangan. Melisa memilih segera pergi dari sana, dia tidak mau mendapatkan sindiran pedas dari para mahasiswa rekan Leebin.
Leebin sampai di kantor, dia menunjukkan hasil rapat dengan rekan-rekan mahasiswa universitas tersebut. Dan dia tidak menyangka, segera mendapatkan tanda tangan! Tanpa diprotes sama sekali.
Dia sendiri tidak mengerti, bengong seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Selalu mendapatkan apa yang dia mau, tanpa perlu mengemis! Dan merayu!
Teman-teman kuliahnya ternyata sedari tadi mengintip dari luar ruangan tersebut. Mereka sudah bersorak gembira melihat dokumen tersebut disetujui tanpa protes.
"Wah hebat! Gue bilang apa! Dia pasti berhasil kan! Wajahnya yang baby face itu selalu membuat dosen kita tak bisa marah, belum lagi prestasinya yang gemilang! Selalu dapat penghargaan di setiap semester!" Seru Gilang pada Rudi.
Temannya yang lain hanya tertawa cengar-cengir mendengar hasil keputusan dari intipan dua rekannya tersebut.
"Nih!" Leebin menyerahkan dokumen tersebut pada Rudi. Pria itu yang akan mengurus sisanya.
"Siap bro!" Sahut Gilang dengan tawa renyah.
Melisa melihat dari kejauhan, betapa bahagianya pria itu saat sedang bergurau dengan para rekannya sekampus. Dia sedang duduk di kafe kampus menikmati segelas jus jeruk. Menatap pria itu dari jendela kaca kafe. Di sebelahnya duduk Mirna, Tika, dan Silvi. Rekan satu gengnya.
"Ya sudah aku balik dulu ya? Ada kerjaan lain." Serunya pada Gilang dan teman-teman yang lain. Mereka menjawabnya dengan ancung-an ibu jari, sisanya melambaikan tangan seraya kiss bye. Leebin tertawa terpingkal-pingkal gara-gara ulah mereka, para sahabatnya di kampus tersebut.
Melisa masih menatapnya lekat-lekat, setiap gerakan pria menyebalkan itu begitu indah di depan matanya. "Aku pasti sudah gila! Ngapain repot-repot mikirin cowok nggak jelas macam dia!" Menggerutu seraya mengaduk jus jeruk miliknya hingga isi gelasnya berhamburan di atas meja.
"Mel! Sakit lu??" Tanya Mirna seraya menyentuh keningnya.
"Pa'an sih! Nggak lah!" Ujar Melisa seraya berdiri dari kursinya meninggalkan para sahabatnya di sana. Dia ingin pulang saja karena tidak ada tontonan lagi di sana.
Saat tiba diparkiran dia melihat Leebin sudah nangkring di atas jok motor. Pria itu masih memeluk helmnya. Dia sedang menerima telepon dari seseorang. Melisa nggak peduli sama sekali, gadis itu ingin masuk ke dalam mobilnya.
"Iya pak, hari ini saya akan melanjutkan kegiatan memberikan les tambahan untuk anak-anak di panti, ini sudah mau berangkat ke sana. Iya pak." Ujar pria itu berbicara pada seseorang di telepon. Melihat sekilas ke arah Melisa di sebelahnya, bibir gadis itu masih cemberut kesal karena tidak bisa masuk ke dalam mobil, gara-gara terhalang motornya.
Leebin memajukan motornya, agar dia bisa lewat. Tapi tetap saja Melisa berkacak pinggang sambil menatap tajam ke arahnya.
Leebin memajukan lagi motornya lebih jauh. Tapi Melisa tetap berada di tempatnya. Masih menatap wajah pria itu dengan tatapan marah. Lalu melangkah mendekat ke arahnya.
Leebin belum selesai menerima telepon. Pria itu masih berbicara dengan wajah serius, Melisa sudah berdiri tegak di sebelahnya. Leebin menoleh ke samping memberikan isyarat dengan jari telunjuknya agar dia tidak membuka suara.
"Iya, pak. Terima kasih." Leebin mengakhiri panggilan telepon.
"Apa?" Tanya pria itu dengan wajah tidak mengerti.
"Kamu lupa, sudah bikin kesal hari ini?" Tanya Melisa dengan wajah gusar.
"Lah?! Aku nggak ngapa-ngapain kok!" Segera memakai helmnya, berniat kabur.
"Tadi pagi, kamu ngapain pelukin begitu! Kamu sengaja kan!? Mau permainkan perasaanku!?"
"Nggak! Swear!" Mengancungkan dua jari tangan kanannya.
"Terus ngapain! Ngerjain mulu! Kita akhiri saja perang ini sekarang!" Seru Melisa seraya menyingsingkan lengan bajunya. Mengambil kuda-kuda.
Leebin tersenyum, lalu turun dari motor tersebut. Melangkah menuju ke arahnya. Pria itu menyibakkan rambutnya ke belakang, dengan begitu santai melangkah mendekat. Melisa terdorong mundur karena ulahnya. Lagi-lagi dadanya terasa berdebar-debar gara-gara pria menyebalkan tersebut.
"Kok mundur, katanya mau perang? Braaak!" Menepuk kab mobil Melisa karena gadis itu malah memutar tubuhnya dan saat ini berdiri memunggunginya menghadap ke arah mobil di depannya. Lutut Melisa sudah terbentur kab mobilnya. Tidak bisa kemana-mana, sementara Leebin berada di belakang punggungnya, meletakkan kedua tangannya di sisi kiri-kanan tubuh Melisa.
Hembusan napasnya terasa menyapu belakang tengkuk Melisa, entah iseng entah dengan sengaja pria itu menyibakkan rambut Melisa ke samping. Hingga napasnya benar-benar terasa hangat di sana. Melisa merasakan sekujur tubuhnya mendadak meremang.
"Jawab dong.. kok diam?" Bisik Leebin dengan suara pelan pada daun telinga gadis tersebut.
"Aku, akhh!" Melisa hampir jatuh ke depan, di atas kab mobilnya jika Leebin tidak segera memegangi pinggang Melisa menggunakan lengan kirinya.
Kini punggung Melisa telah bersandar pada d**a pria tersebut. Pipi kiri Leebin menyentuh pipi kanan Melisa.
Keduanya terdiam tidak berkata-kata. Leebin melepaskan lengannya segera dari pinggangnya. "Aku balik dulu, lain kali hati-hati! Kagak enak jatuh ke pelukan kab mobil. Mending jatuh ke pelukanku!" Ujarnya sambil nyengir mulai memakai helmnya, kemudian berlalu dengan motornya.
Melisa menoleh menatap pria tersebut berlalu dari hadapannya. Dia menatap punggung pria itu pergi meninggalkan area parkiran.
Bibir Melisa bergetar, seraya menyentuh pipi kanannya bekas gesekan pipi Leebin. "Aku mau marah! Aku benci sama kamu! Tapi kenapa dadaku terus berdebar-debar?! Dasar pria berengsek! Nyebelin! Duaakk! Akhhh!" Mengumpat kesal kemudian menendang ban mobilnya.
"Astaga! Jantungku!" Leebin ingat kejadian barusan, pria itu menggelengkan kepalanya berkali-kali sambil terus melajukan motornya, meninggalkan halaman kampus.