Leebin telah sampai di panti, kedatangan pemuda tersebut disambut oleh pak Warso, dia salah satu pengelola panti asuhan tersebut.
Pria paruh baya tersebut memeluk bahunya, membawa pria muda tersebut masuk ke dalam.
"Anak-anak coba lihat siapa yang datang?" Pak Warso tersenyum melihat wajah cerah anak-anak berusia 7-15 tahun tersebut, ketika melihat Leebin masuk ke dalam untuk menyapa mereka.
"Apa kabar kalian?" Tanya Leebin seraya mengeluarkan banyak buku dari dalam tasnya. Buku yang dibawanya sesuai dengan usia mereka masing-masing. Dari pelajaran anak usia tujuh tahun sampai lima belas tahun.
"Baik bang.. Bang kok lama nggak kesini?" Tanya Ardan salah satu dari mereka. Anak berusia tujuh tahun tersebut yang paling aktif bertanya-tanya pada pria tersebut di antara teman-temannya.
"Abang ada banyak tugas di kampus, mau lulusan." Ucapnya pada anak tersebut seraya mengusap rambut ikalnya.
"Bapak ke belakang dulu ya? Kalian mulai saja belajarnya." Pak Warso tersenyum menepuk punggung Leebin lalu berlalu ke belakang. Leebin segera menganggukkan kepalanya. Pria itu mulai mengajar, dia membagikan beberapa buku-buku yang dibawanya kepada anak-anak yang ada di sana. Lalu mulai memberikan pelajaran bergantian.
Pak Warso lupa, dia meninggalkan sapunya di halaman depan panti. Pria itu berniat mengambil sapu, tapi terhenti karena dia melihat mobil mewah berhenti tepat di depan panti.
Pria itu segera menghampiri mobilnya. "Nyari seseorang neng?" Tanya pria itu pada wanita yang tetap berada di dalam mobil. Melisa ingin tahu apa yang dilakukan Leebin di sana, jadi dia memutuskan untuk mengikuti pria tersebut.
Melihat dari penampilan awut-awutan dan ala kadarnya pemuda itu, baginya terlalu mustahil jika pria itu aktif mengajar di sana.
Melisa segera turun dari mobilnya, gadis itu mengangguk hormat. "Saya hanya anu pak.. saya.." dia sedikit kesulitan bicara karena merasa sangat canggung.
"Oh neng temannya mas Leebin?" Tanya pak Warso padanya.
"Iya pak, saya teman satu kampusnya." Ujar Melisa pada pria tersebut.
"Mau masuk dulu neng? Atau duduk dulu." Tawarnya pada gadis itu, Melisa berulangkali melongok mencari pria yang tak kunjung memperlihatkan batang hidungnya.
"Nggak usah pak, saya pulang saja." Melisa memberikan hormat pada pak Warso lalu masuk kembali ke dalam mobil.
Tak lama setelah Melisa berlalu, Leebin keluar dari dalam panti. Pria itu telah selesai mengajar.
"Pak, Leebin mau balik dulu ya. Ini nitip buat jajan anak-anak." Menyerahkan amplop pada pria paruh baya tersebut. Uang tersebut adalah jatah bulanan dari kedua orang tuanya. Terlalu banyak, jadi dia menyisakan untuk diberikan pada anak-anak di sana.
"Kemarin kan sudah nak." Pak Warso ingin menolaknya, tapi Leebin berkeras agar pria itu mau menerima.
"Sudah, ini bapak terima saja. Pak Leebin balik dulu, nanti ibu Leebin nyariin." Ucapnya sambil tersenyum renyah. Lalu bergegas naik ke atas motornya.
Pak Warso tersenyum haru melihat pemuda itu berlalu dari halaman panti tersebut.
Leebin masih di jalan, dia melihat mobil Melisa berhenti di sisi jalan. Pria itu memperlambat laju motornya. Gadis itu sedang mondar-mandir seraya menggigit ujung ibu jarinya, dia berusaha menghubungi seseorang melalui ponselnya.
Melihat motor Leebin dia segera melangkah ke jalan untuk menghentikan laju kendaraan pria muda tersebut.
"Apa?!" Tanya Leebin seraya menaikkan helm miliknya di atas kening, hingga memperlihatkan wajahnya.
"Mobilku mogok. Bantuin aku.. kita temenan kan? Kan?" Ucapnya sambil mengedipkan mata padanya. Melisa memegangi setir motornya agar pria itu berhenti, dan tidak pergi.
"Heleh, pas susah aja bilang aku teman, kalau nggak butuh bilang aku musuh!" Mengomel-ngomel tapi tetap saja membantunya. Pria itu segera turun dari atas motornya.
"Mau ngapain??" Tanya Melisa dengan wajah terkejut.
"Benerin lah, mau ngapain lagi? Emang kamu mau aku antar pulang? Naik motor? Ntar rok kamu terbang melayang-layang di udara! Hahahaha!" Tertawa terpingkal-pingkal seraya menatap rok mini yang dikenakan gadis di depannya tersebut.
Wajah Melisa memerah, mendengar kelakar pria itu. "Mau!"
Kini Leebin mendadak menghentikan suara tawanya. Dia berdiri terpaku, berhadapan dengan musuh bebuyutannya tersebut. Lalu tanpa aba-aba lagi, dia segera naik ke atas motornya kembali.
"Naik." Ujarnya sambil membetulkan letak helmnya. Mulai menyalakan mesin motornya.
"Jangan kencang-kencang ya, aku takut nggak biasa naik motor. Aku juga sudah hubungi bengkel. Sebentar lagi mereka ke sini.." Melisa naik ke boncengan pria tersebut, lalu membawanya pulang menuju ke rumah gadis itu.
Melisa berpegangan pada kedua pinggangnya, agak aneh ketika beberapa kali d**a gadis itu menyentuh punggungnya. Melisa memeluknya erat sekali. Baru kali ini juga dia membonceng wanita, selain adiknya Tiara.
Rumah besar milik Melisa ternyata cuma dihuni gadis itu seorang diri, bersama beberapa pelayan.
Kedatangan mereka berdua tak ada siapapun yang menyambut. "Kok sepi?" Tanyanya pada Melisa.
"Mama, papaku, sedang ke luar negeri. Makasih." Melisa tidak menawarkan Leebin masuk dahulu, atau sekedar memberikan minuman dingin. Dia langsung masuk ke dalam rumah lalu menutup pintu.
Leebin segera berlalu dengan menuntun motornya, niatnya keluar halaman jadi batal karena dia dikejar-kejar anjing penjaga. Padahal mesin motornya masih belum dia nyalakan.
"Guk! Guk! Guk!" Mereka menyalak mendapati orang asing berada di halaman rumah tersebut.
"Sabar bro! Sabar.. sabar ya!" Leebin berjingkat-jingkat dengan langkah pelan sekali. Tanpa a, b, c, pria itu membuka pintu depan rumah besar tersebut. Lalu mengintip jika saja anjing-anjing itu sudah pergi dia juga akan pergi.
"Ngapain?" Melisa berdiri di belakang punggungnya, dengan segelas lemon dingin. Menyodorkan padanya.
"Anj, anj, anjing." Menunjuk keluar pintu.
"Kamu ngatain aku?" Melisa membelalakkan matanya mendengar pria itu berkata anjing.
"Bukan, bukan, itu di luar!" Menunjuk ke halaman sambil membuka pintu. Hilang! Anjing-anjing tadi tidak ada lagi di sana.
"Mana? Nggak ada?" Melisa ikut melihat keluar rumah.
"Kamu pelihara anjing?" Tanyanya seraya meneguk segelas lemon pemberian Melisa. Pria itu meringis seraya menjulurkan lidahnya, setelah meneguk setengah gelas.
"Kenapa? Nggak kok, nggak pelihara anjing. Kenapa meringis? Enak kan? Segar?" Tanya Melisa dengan wajah polos.
"Kamu sengaja? Mau bikin aku mencret? Mau balas dendam?" Tanya Leebin bertubi-tubi masih meringis dan menyodorkan segelas air lemon itu kembali.
"Nggak kok! Kamu itu nggak pernah ya mikir, kalau aku itu bukan orang jahat!" Dengan bibir cemberut mengambil gelasnya. Leebin hanya mengerjapkan matanya mendengar gadis itu mengomel-ngomel.
"Kagak, cicipi saja, enak, lemon tanpa gula. Aseeeem banget! Dah aku pulang dulu. Lain kali kasih aku kopi hitam saja." Serunya pada Melisa. Lalu keluar dari dalam rumah tersebut.
"Ada s**u, mau!?" Sahut Melisa.
Sontak tatapan matanya mengarah pada d**a gadis tersebut. Melisa segera menutupi dadanya.
"Bukan ini! Dasar cowok sinting! Ada sapi noh! Di tetangga belakang rumah! Meres langsung dari sumbernya!" Keluh Melisa dengan mata melotot karena kesal.
"Heleh! Bilang aja mau balas dendam! Dasar cewek mercon!" Umpat Leebin lalu naik ke atas jok motornya.
"Woi! Ngata-ngatain aku mulu! Awas kamu besok di kampus!"
"Mau ngapain? Mau aku cium lagi?!" Ujarnya sambil nyengir karena melihat wajah Melisa mendadak berubah pucat.
Melisa segera masuk ke dalam rumahnya. Dia penasaran apa benar air lemon itu asam, gadis itu segera mencicipinya dan ternyata benar kalau air lemon yang dia buat asam sekali. Dia lupa tidak memberikan gula pada minuman tersebut.