Ch-6 Jaga Aku

1532 Kata
Leebin telah tiba di rumah. Pria itu menuntun motornya ke samping rumah. "Sudah pulang? Apa kabar anak-anak di panti?" Tanya ibunya setiba pria muda tersebut di rumah. Leebin duduk di sofa ruang tengah, seraya melepaskan sepatunya. "Baik ma. Tiara mana? Belum pulang tu bocah?" Tanyanya, dia menerima segelas jus buah dari tangan ibunya. "Di kamar, sama teman-temannya." Ibunya kemudian berlalu ke dapur membawa gelas kosong. Leebin meletakkan sepatunya di atas rak yang ada di depan rumah, kemudian berlalu masuk ke dalam kamar melalui pintu samping. "Iya hati-hati di jalan ya Rik, Sa.." Tiara melambaikan tangannya di pintu depan, melepas kepergian teman-teman sekolahnya. Gadis itu melihat motor kakaknya sudah terparkir di samping rumah segera berlari kecil untuk mencari keberadaan kakaknya tersebut. "Kak Leebin, kak?" Panggilan gadis itu tidak didengar olehnya. Leebin sedang membersihkan tubuhnya di dalam kamar mandi kamarnya. "Tiara, jangan ganggu kakakmu. Dia pasti lelah habis ngajar, baru pulang." Seru ibunya seraya melambaikan tangan pada gadis itu. "Nggak mau, ada yang Tiara mau bicarakan sama kakak." Seru gadis itu sambil menempelkan daun telinganya di pintu kamar Leebin. Tidak ada sahutan, dia membuka pintunya lalu masuk ke dalam. "Kak?" Panggilnya lagi. Tiara mendengar suara air dari dalam kamar mandi. Dia menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. "Ah nyamannya.. sudah lama kakak nggak kasih ijin aku tidur di sini." Serunya sambil memejamkan matanya. "Duk!" Tangan gadis itu terasa menyentuh sesuatu di bawah bantal Leebin. Dia kemudian menarik buku tersebut, yang sebenarnya adalah sebuah album foto. Tiara membukanya. "Siapa wanita tua ini? Dan ini anak kecil berbaju kumal ini? Kakak.... Sreeeet!" Leebin menarik album foto tersebut dari genggaman tangan Tiara. Sampai lupa kalau dia belum mengenakan kaosnya. Tiara melotot melihat tubuh kakaknya. Dia sudah menginjak usia dewasa, sekarang bukan remaja lagi. Tubuhnya terpaku diam di atas tempat tidur. Masih duduk di sana membeku. Leebin segera meletakkan album tersebut di atas lemari pakaian, agar Tiara tidak bisa menjangkaunya. Lalu buru-buru memakai kaosnya. "Kamu jangan masuk kamar sembarangan lagi. Kamu bukan anak kecil, Tiara." Ujar pria tersebut, masih berdiri memunggungi adiknya. Dia sendiri malu sudah memperlihatkan tubuhnya di depan Tiara karena terburu-buru ingin mengambil benda berharga miliknya satu-satunya itu dari dalam genggaman adiknya. "Maaf kak. Itu kakak ya yang di foto tadi?" Memberanikan diri untuk bertanya. Leebin bingung, dia tidak mau membongkar identitas dirinya yang selama ini dia simpan baik-baik. Ibu angkatnya juga sudah bilang kalau dia tidak boleh berkata kalau dia sebenarnya bukan putra kandungnya. "Aku ngantuk, kamu keluar gih!" Leebin menarik tangan Tiara agar turun dari atas tempat tidurnya. "Kakak beda! Kakak jahat! Kakak nggak sayang sama Tiara lagi! Huuuuuu!" Tiara menangis menjadi. Ibunya kaget, lalu menyerbu masuk ke dalam. "Ada apa ini? Kalian sudah besar masih saja bertengkar." Serunya pada dua orang di dalam kamar tersebut. "Mama, kak Leebin jahat. Tiara tanya nggak dijawab tapi malah ngusir Tiara keluar. Kakak punya adik baru ma.. pakai baju kotor. Tuh fotonya disembunyikan di atas." Gadis itu menunjuk ke atas lemari. Ibu Leebin ingat, album itu satu-satunya yang dibawa anak itu saat datang ke rumah tersebut. Mata ibunya mendadak berkaca-kaca. Sedang Leebin menyembunyikan wajahnya karena air matanya sejak tadi mengalir deras membasahi kedua pipinya tanpa bisa berhenti. Pria itu berdiri memunggungi dua orang tersebut, dia berdiri menghadap ke luar jendela kamarnya. "Tiara, kamu nggak boleh ambil barang-barang milik kakak. Kak Leebin bukan nggak sayang sama Tiara, kak Leebin hanya lelah saja." Serunya sambil tersenyum lembut menyentuh kedua pipi Tiara. Ibunya kemudian melangkah mendekati Leebin. "Sudah, jangan dipikirin kamu itu anak mama. Satu-satunya putra sulung mama. Oke.. mama sayang sama Leebin." Mengusap punggung putranya tersebut lalu mengajak Tiara keluar dari dalam kamar. Leebin meremas teralis jendela kamarnya. Hatinya terasa pilu, pria itu kembali teringat dengan masa lalunya. Waktu itu sudah sangat lama, dia duduk di depan gubuk milik seorang nenek tua yang merawatnya sejak dia masih bayi. Itu adalah fotonya ketika masih tinggal bersama nenek tersebut. Dia sangat merindukannya. Karena itu semalaman pria muda itu menyimpannya di bawah bantal. "Jika saja nenek masih hidup, Leebin pengen rawat nenek." Ujarnya dalam gumaman. Leebin jatuh terduduk di lantai kamarnya. Hatinya terasa sakit sekali. Antara marah dan benci, karena tidak tahu siapa kedua orang tua kandungnya! Siapa yang tega-teganya membuang bayi tersebut di depan rumah gubuk nenek-nenek itu. "Jika saja aku bisa menemukan kalian! Kenapa kalian nggak bunuh saja sekalian kalau memang kehadiranku di dunia ini nggak kalian inginkan! Sekalian saja! Kenapa malah meletakkan di depan rumah orang yang sudah tua renta dan nggak bisa apa-apa! Kalian nggak pernah mikir buat hidup saja dia sudah susah!" Sekali lagi dia ingat bagaimana terakhir kali nenek yang merawatnya mengembuskan napas terakhirnya. Dia seorang diri yang menemaninya di gubuk tersebut. Dengan bantuan tetangga kampung, mayat neneknya dikebumikan. Pintu kamarnya masih terbuka, pak Sandoyo sejak tadi berdiri di ambang pintu kamarnya. Dia mendengar semua yang dikatakan oleh pemuda itu. Pria itu melangkah mendekatinya lalu duduk di sebelahnya. Memeluknya erat sekali. "Nak, kamu putra papa. Siapapun dia yang tidak menginginkan kehadiranmu. Biarkan saja, sampai kapanpun kamu milik papa seorang!" Pak Sandoyo ikut berlinang air mata. "Pa.." Leebin tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. "Cari pacar sana! Jangan galau terus begini! Mau sampai kapan begini?" Mendengar kelakar ayahnya Leebin tersenyum lebar. "Leebin nggak mau pacaran, Leebin mau sukses dulu. Mau buktikan ke Papa dan Mama, kalau Leebin nggak akan mengecewakan kalian." Seru pria itu dengan wajah penuh keyakinan. "Iya, sudah ayo bangun. Jangan duduk di lantai." Pak Sandoyo menarik lengannya agar berdiri. "Papa kapan pulang? Tumben nggak lembur?" Tanya pria itu pada ayahnya. "Ah, itu pekerjaan di kantor sudah selesai." Ujar pria itu sambil tersenyum, padahal istrinya yang menghubungi dirinya agar lekas pulang ke rumah. Istrinya menceritakan semua yang terjadi, jika tidak dicegah bisa saja Leebin membongkar identitas dirinya di depan Tiara! Apalagi anak gadisnya itu sangat dekat dengan Leebin, mereka tidak mau jika Tiara menolak kenyataan kalau Leebin bukanlah saudara kandungnya. Tiara dibesarkan dengan kemewahan dan kasih sayang sejak lahir. Berbeda dengan Leebin yang sejak bayi hingga remaja tumbuh bersama neneknya di kampung. Pak Sandoyo tidak ingin kehilangannya, apalagi membuat Leebin sedih karena teringat masa lalunya yang sangat menyakitkan. "Ayo makan bersama, kamu pasti belum makan kan?" Pak Sandoyo menariknya paksa ke meja makan. Di sana ada Tiara sedang duduk bersama ibunya. Mereka berdua sudah makan sejak tadi. Leebin menelan makanan tanpa menatap wajah Tiara. Bukan karena marah, tapi dia tidak bisa mengatakan apapun jika adiknya tersebut mengejarnya dengan banyak pertanyaan. Menjelang malam Leebin merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia sampai lupa mengatakan kepada kedua orangtuanya kalau acara wisuda akan di adakan di hotel. Dan dia sudah tertidur pulas. "Kraataaakk.." pintu kamarnya terbuka. Seseorang naik ke atas tempat tidurnya. Pria itu membuka matanya merasakan tangan lembut memeluk pinggangnya. "Astaga! Tiara!?" Leebin terhenyak, dia berusaha menepikan kedua tangan adiknya dari pinggangnya. "Kakak, Tiara ngantuk. Aku mau bobok di sini malam ini ya? Kakakku yang ganteng.. huaaahhh!" Menguap lalu terlelap. Ibunya mendengar teriakan Leebin, segera melihat. Saat melihat ibunya berdiri di ambang pintu kamarnya menatap dirinya. Leebin sedikit takut. Mata itu seolah menatap dirinya dengan was-was! Leebin tahu meskipun tak pernah terbersit dalam benaknya pikiran aneh-aneh terhadap Tiara, dia tidak pernah lupa kalau dirinya bukan kakak kandungnya, yang seharusnya dia dan Tiara tidak boleh terlalu dekat. Ibunya melihat putri satu-satunya sedang memeluk pinggang pria dewasa. Meskipun Leebin sudah dianggap sebagai anaknya sendiri, tapi tetap saja seharusnya itu tidak boleh terjadi. Apalagi Tiara juga sudah melepas usia remaja. "Ma..." Panggilnya pada ibunya. Tapi tidak ada jawaban, ibunya melengos dan berlalu dari ambang pintu kamarnya. Sekali lagi air matanya meleleh membasahi kedua pipinya, sementara Tiara masih terlelap pulas di sebelahnya sambil memeluk erat pinggangnya. "Kamu selamanya tetap adikku Tiara!" Diusapnya kepala adiknya tersebut. Leebin tahu ibunya pasti khawatir, mau dilihat berulang kali, atau bagaimana pun dirinya tetap bukan anak kandung. Keesokan harinya.. "Ma, mama percaya kan sama Leebin?" Tanya pria muda itu sambil mengekor ibunya di dapur. "Ma, jawab dong!" Leebin dengan wajah gusar terus mengikutinya. Ibunya diam saja tidak mau menjawab pertanyaan darinya. Sementara ayahnya seperti biasa sedang membaca surat kabar di meja makan. Sedang Tiara malah asik membuat jus buah tidak tahu apa yang diributkan oleh kakaknya itu. "Ma.. mama marah ya? Maafkan Leebin lupa ngunci pintu." Lanjutnya lagi dengan wajah memelas. "Bukan salah kamu, pintu sudah terkunci. Tapi dia mengambil kunci lain di laci ruang tengah. Tiara bilang, sebentar lagi kakak menikah! Dan dia nggak punya kesempatan buat tidur lagi di kamar kamu. Kamu kapan mau cerita sama ibu kalau kamu sudah punya pacar??!" Jelas ibunya seraya menatap wajahnya. "What?? Nikah?? Apaan?!" Leebin terkejut setengah mati. Pikirnya ibunya marah karena Tiara menerobos kamarnya. Ternyata karena ibunya berpikir kalau dia menyembunyikan sesuatu darinya. "Bohong Ma, Leebin nggak pacaran kok!" Tandasnya lalu melangkah menuju meja makan. "Kalian itu ribut terus setiap hari." Seru pak Sandoyo seraya menghirup kopinya. "Pa, acara wisuda Leebin bakal diadakan di hotel." Ujarnya pada ayahnya. "Serius? Bisa party party dong!? Anak muda jaman sekarang." Pak Sandoyo menggelengkan kepalanya berkali-kali. "Apanya yang hotel? Tiara ikut dong?" Seru gadis itu seraya meletakkan beberapa gelas jus di atas meja makan. Leebin pura-pura tidak mendengar, dia meneguk jusnya sambil melihat ke arah ibunya. Ibunya mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum menarik garis dari satu ujung sudut kiri bibirnya ke kanan, isyarat bahwa akan menjaga rahasia kelulusan yang akan diadakan di hotel.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN