Ch-7 Tipis

1299 Kata
"Kak? Apanya yang di hotel?" Tiara mengejarnya dengan pertanyaan. Leebin menoleh ke arah ayahnya. Pak Sandoyo yang masih membaca surat kabar melihat ke arah Leebin dari atas bingkai kacamata miliknya, lalu mengedipkan sebelah matanya. "Nggak ada, hotel apaan. Dasar bocah." Seru Leebin lalu menenteng tasnya, dia mengambil tangan ayahnya berikutnya ibunya untuk berpamitan ke kampus. Banyak hal yang harus dia diskusikan dengan teman-teman rekan kuliahnya mengenai acara pelepasan di kampus. "Kakak nggak libur?" Tiara menarik kursinya, dia mencekal lengan kakaknya. Mengikuti pria itu menuju garasi samping. "Banyak kerjaan di kampus." Sahutnya sambil mengambil sepatu dari rak di beranda rumah tersebut. "Kak." Panggil gadis itu lagi, dia duduk di sebelahnya. "Apalagi?" Sedikit kesal karena diburu pertanyaan sejak kemarin. "Itu foto kakak kan?" Tanyanya lagi pada kakaknya, gadis itu menatap lekat-lekat wajah pria di sebelahnya tersebut. Leebin menatap kedua bola matanya lekat-lekat. Tiara merasa aneh dengan sinar mata yang baru pertama kali dia lihat dari kedua bola mata milik kakaknya tersebut. Yang awalnya selalu berbinar jernih, tiba-tiba berubah tajam menghujam! Dua sejoli tersebut masih duduk di anak tangga beranda rumah, saling terdiam bertukar pandang. "Kalau iya kenapa? Kamu malu punya kakak jelek, dengan baju kumal?" Serunya tanpa seutas senyuman. "Tiara maunya ngajakin cowok itu pacaran, tapi batal karena kakak bilang itu kakak! Baju kumal kan bisa didandani, ganti pakai baju modis! Kalau hati sudah kumal, sulit diganti! Harus operasi dulu! Apalagi tukang bohong kayak kakak bakalan lama prosesnya. Pasti itu bukan foto kakak. Kakak kan tinggal sama mama sejak kecil." Serunya dengan kedua pipi menggembung melihat wajah serius kakaknya. "Iya, iya! Terserah dah, aku mau berangkat dulu! Kamu bantuin mama noh! Beres-beres rumah!" Seru pria itu seraya meringis mengaduk kepala adiknya. "Kak, hati-hati di jalan!" Seru Tiara seraya melambaikan tangannya. Leebin membalasnya dengan lambaian tangan hormat, bak upacara bendera. Leebin telah berlalu dengan motornya dari halaman rumah tersebut. "Meskipun kakak bukan Kakak Tiara, Tiara sayang sama kakak. Sayang banget..." Gadis itu menundukkan kepalanya, mengusap buliran bening yang meleleh membasahi kedua pipinya. Tiara sudah tahu kalau Leebin bukan kakak kandungnya, pada saat mereka berempat liburan ada acara PMI. Dan petugas yang memeriksa darah keempat orang tersebut sedikit bingung, karena Ernita bilang Leebin adalah anak kandungnya. Sementara Leebin satu-satunya yang memiliki darah berbeda. Tidak ada hubungan sama sekali dengan keluarga pak Sandoyo. Waktu itu Tiara segera bertanya tanpa sepengetahuan ibu dan ayahnya pada petugas tersebut. Petugas itu bilang kalau Leebin tidak memiliki hubungan apapun dengan keluarganya. Tiara sangat terkejut, sejak saat itu dia sengaja menanyakan itu kepada ibunya. Kenapa wajah kakaknya berbeda. Gadis itu mengusap air matanya, lalu masuk ke dalam rumah. Ernita melihat Tiara sedang menundukkan kepalanya, wajahnya terlihat sangat lesu. "Ada apa? Kakakmu jahil lagi? Kok sedih?" Tanya ibunya padanya. "Nggak ma, kakak nggak jahil. Tiara yang nakal sering gangguin kakak." Ujarnya dengan nada pelan. Ernita sedang membersihkan piring dari atas meja, membawanya ke dapur. Sementara Tiara masih berwajah lesu memeluk ambang pintu ruang makan. "Ma, kak Leebin bukan kakak Tiara kan?" "Praaanggg!" Piring dalam genggaman tangan Ernita mendadak meluncur jatuh ke lantai. Hancur berkeping-keping. Wanita itu segera berjongkok untuk memunguti serpihan-sepihannya, tanpa sengaja melukai jemari tangannya. Seperti tidak terasa sakit sama sekali Ernita tidak berhenti memungut benda tajam tersebut. Pak Sandoyo yang sudah bersiap ke kantor mendadak menghentikan langkahnya. Dia segera berlari menuju ke arah istrinya. "Mah! Kenapa ini? Kok bisa begini?" Tiara melangkah pelan menuju ke arah mereka berdua. "Jawab ma?" Serunya seraya menatap wajah Ernita. "Tiara tahu kak Leebin bukan kakak kandung Tiara! Seharusnya kalian bilang sama Tiara sejak awal! Kenapa malah dirahasiakan?" Seru gadis itu pada kedua orangtuanya. "Siapa yang bilang? Leebin putra papa! Kamu nggak lihat wajah papa mirip sama kakak kamu?" Seru pak Sandoyo, pria itu sedang membalut luka pada jemari tangan istrinya. "Beda jauh, wajah papa itu mirip sama wajah Tiara. Sedang kakak nggak ada mirip-miripnya. Tiara tahu dari tukang ambil darah waktu itu, kalau kakak nggak sama darahnya sama kita bertiga." Tandasnya sambil cemberut. Pak Sandoyo hampir meledakkan tawanya ketika mendengar putrinya menyebut petugas PMI dengan sebutan 'tukang'. Kayak tukang kayu, tukang semir, dan tukang-tukang lainnya. "Terus? Kalau memang kakakmu bukan anak kandung mama kenapa? Mama sayang sama kakak kamu! Sejak dia ke sini mama sayang sama dia. Dan setelah kehadiran kakak mu, mama mengandung Tiara. Dia nggak pernah mikir kalau Tiara itu bukan saudara." "Tiara juga sayang sama Kakak, jangan biarin kakak pergi. Meski nanti sudah menikah, ma." Serunya pada ibunya. Pak Sandoyo hampir kejang-kejang mendengar pembicaraan dua wanita tersebut. "Sudah, papa mau kerja dulu. Kalian ini ngagetin saja. Jangan tanya-tanya soal itu kalau ada kakakmu. Nanti dia nggak mau pulang ke rumah." Seru pak Sandoyo pada putrinya. "Beres pa!" Tiara nyengir sambil membantu ibunya membersihkan sisa serpihan piring dari lantai. "Mama kira kamu bakalan benci sama kakakmu. Makanya mama simpan baik-baik rahasia ini." Ernita menyentuh kedua pipi putrinya, kemudian mengecup keningnya. "Kamu putri mama yang baik sayang! Cup! Makasih ya, sudah mau jaga kakakmu." Gadis itu mengangguk cepat seraya menghambur memeluk Ernita. Ernita membalas pelukannya, erat sekali seraya mengusap rambutnya. Di kampus.. Leebin memarkirkan motornya, tak jauh darinya dia melihat Melisa sedang bercakap-cakap dengan teman-teman satu gengnya. Leebin mengabaikannya, pria itu segera melepaskan helm yang menutupi kepalanya. Lalu merapikan rambut yang berantakan dengan bercermin pada kaca spion. Dia mengerjapkan matanya saat melihat Melisa dari kaca spion tersebut, wanita itu sudah berdiri tegak di belakang punggungnya. Leebin segera menoleh ke belakang, "ada apa tukang sihir?" Tanyanya padanya. "Seriusan kamu yang ngajuin acara perpisahan kampus di hotel?" Berkacak pinggang memasang wajah tidak senang. "Usul dari teman-teman begitu." Serunya sambil memutar tubuhnya menghadap Melisa, tetap duduk di atas jok motor miliknya. "Kamu nyadar nggak sih? Hotel itu tempat apaan? Kebayang nggak jika cowok-cewek masuk dalam satu kamar! Kalau buat dosa bagaimana! Kamu mau tanggung jawab! Di sini wanita yang dirugikan! Mikir dulu kalau mau buat keputusan itu! Kami pihak cewek menentang keputusan kalian!" Menghardiknya tanpa jeda. "Ngapain ribet ngebayangin! Lu aja coba nginep sama gue, di kamar hotel! Kita ngapain saja di dalam kamar? Hayuk! Berani kagak!" Mengangkat kedua alisnya, seraya mengedipkan sebelah matanya. Melisa tercekat mendengar ucapannya barusan. "Kamu sengaja mau bikin aku marah kan?" Melisa mundur beberapa langkah. "Emang apa yang kamu pikir? Kita saban hari nih ya, bertengkar! Terus di dalam kamar hotel mau enjoy writing gitu??? Enjoy reading?? Mana ada?? Yang ada aku kenyang kamu tampol tiap menit!" Serunya sambil mengunyah gigi kosong, lalu berlalu dari hadapan Melisa. "Wah! Preman gila! b******k banget tu mulut! Pengen aku sumpal pakai sepatu ni!" Melepaskan high heels miliknya lalu membalikkan tubuhnya. Dia tidak menyangka kalau pria itu masih tegak berdiri di belakang punggungnya. Sangat dekat dengan posisinya sekarang. "Nih bibirku, ayo sumpal." Menghembuskan nafasnya pada wajah Melisa. Wanita itu segera menjatuhkan high heels miliknya di lantai. Dengan wajah cemas meremas tali tas di bahu kanannya. Leebin begitu dekat, dan melangkah lebih dekat lagi ke arahnya. "Ka, kamu, mau ngapain! Jangan ngeprank!" Seru Melisa padanya, sambil menahan d**a pria tersebut. Leebin menarik pinggangnya dengan lengan kanannya. Wajah Melisa memucat karena ulahnya itu. "Awas jatuh, tuh lihat!" Menunjuk belakang punggung Melisa. Tanpa berpikir panjang Melisa segera menoleh ke belakang, dia tidak melihat apapun di sana. Lalu menoleh lagi ke depan. "Cup!" Kedua bibir mereka berdua berbenturan. Leebin melepaskan pinggangnya, lalu berbalik pergi. "Makasih ya... Hahhahahaha!" Tertawa terpingkal-pingkal melihat wajah gadis itu melongo melihat kelakuan jahilnya barusan. "Dasar pria edan! Pria gendeng! Awas saja!" Mengepalkan kedua tangannya di depan wajahnya sendiri. Rudi melintas di sebelahnya menatap wajah merah padam Melisa, dia ingin tertawa karena melihat bagaimana Leebin mengerjai gadis tersombong di kampus tersebut. "Apa kamu lihat-lihat! Mau aku tonjok!!!?" Serunya dengan wajah kesal. "Nenek sihir! Huaaaa kabur!" Rudi lari secepat mungkin mengejar Leebin. Lalu memeluk bahu sahabatnya tersebut, menuju ke dalam gedung. "Aku hitung nih berapa kali kamu ngerjain aku! Awas saja! Pria sialan!" Melisa mengambil sepatu high heels yang tadi dia lepas, lalu memakainya kembali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN