Melisa menghentakkan kakinya, wajahnya terlihat sangat kesal. Gadis itu masuk ke dalam gedung dengan wajah ditekuk.
"Napa Mel?" Evi menyapanya di depan pintu kafe kampus. Lalu menarik sahabatnya itu masuk ke dalam. Keduanya duduk di kursi bersebelahan.
"Biasa si cowok edan itu gangguin mulu! Kesel banget tahu! Masa dia main cium-cium terus! Kamu tahu kan kita itu nggak dekat? Musuhan sejak awal pendaftaran di sini! Tapi tiba-tiba setelah mau lulus dia gituin aku! Maksudnya apa coba?!" Merundung Evi teman sebangkunya, dengan sejibun pertanyaan yang Evi sendiri nggak ngerti.
"Cowok edan? Rudi?"
"Bukan!"
"Fatan?"
"Bukaaaaan!"
"Terus siapa? Emang ada cowok yang lebih edan dibandingkan mereka berdua di kampus ini?" Tanya Evi seraya mengaduk rambutnya sendiri.
"Leebin." Melisa menggigit ujung ibu jarinya sendiri, wajah gadis itu terlihat begitu cemas.
"Lee bin?? Itu sih bukan cowok edan! Kamu tahu nilai dia masuk peringkat tiga besar sekampus! Belum lagi gaya dia waow! Tampan sempurna! Wajahnya bersih, nggak benjol-benjol! Hidungnya bangir! Kulitnya bersih, btw mungkin dia mandinya pakai asam sitrat!" Seru Evi sontak membuat Melisa tertawa terpingkal-pingkal.
"Kamu astaga! Kalau nilai cowok segitunya! Hahhahhaa!" Melisa mulas sendiri mendengar cara Evi mengungkapkan segalanya tentang Leebin.
"Seriusan aku Mel! Aku aja ngebayangin tuh pria nyosor bibir gue! Pasti rasanya campur-campur kayak es campur!" Membayangkan sambil memejamkan matanya dengan bibir monyong ke depan.
"Nih! Ciuuum! Hahahaha!" Melisa menyodorkan buah jeruk pada bibir sahabatnya tersebut.
"Kamu segitu bencinya sama dia! Awas nanti jatuh cinta loh!" Seru Evi lagi.
"Cinta? Makan tu cinta! Nih jeruk cinta kamu makan!" Lagi-lagi menyodorkan buah jeruk dari keranjang ke bibir Evi.
Melisa memejamkan kedua matanya, lalu membayangkan sosok pria tersebut. Melisa mulai mengungkapkan sosok Leebin menggunakan kata-kata menurut penilaiannya.
"Bagiku, dia biasa saja! Jelek! Nyebelin! Tukang ganggu! Biang kerok! Acak-acakan! Gak jelas! Dan..!" Tiba-tiba terhenti karena mencium aroma lavender di sebelahnya. Spontan gadis itu segera menoleh ke sebelah, dimana awal kursi itu diduduki Evi. Ternyata Evi sudah kabur keluar dari dalam kafe. Gadis itu melambaikan tangannya ke arah Melisa yang kini sedang duduk bersebelahan dengan Leebin.
"Dan apa?" Leebin duduk di tempat Evi dengan wajah tersenyum sadis.
Bibir Melisa bergetar, tidak ada kata-kata lagi yang bisa lolos beberapa detik selanjutnya.
"Dan.. dan.. dan.." Berkata dengan nada terbata.
"Dan apa?" Mengulang pertanyaan yang sama.
"Dan, dan, dan!" Teriak Melisa dengan nada tinggi memasang wajah frustasi.
"Astaga muncrat!" Leebin mengusap wajahnya sendiri dengan kertas tissue dari atas meja kafe.
"Liur kamu kemana-mana! Malah ngatain aku yang muncrat!" Melisa berkacak pinggang, tidak terima dikata-katai.
"Ya, ya, gitu saja emosi! Dasar Mel, Mel, karamel!" Melemparkan tissue ke kotak sampah di bawah meja.
"Kamu ngapain di sini? Minggir sana!"
"Ini kan fasilitas kampus! Tempat umum!" Seru pria itu sambil melambaikan tangannya karena pelayan kafe celingukan mencari dirinya.
"Ini mas pesanannya." Meletakkan di atas meja, secangkir kopi hitam.
"Makasih bang." Sahut Leebin sambil tersenyum manis.
Melisa mengerjapkan matanya lagi-lagi dia terkejut dengan sikap pria itu pada orang di sekitarnya.
"Aku baru tahu, kamu pilih kasih! Kamu bencinya cuma sama aku! Terus aku gak boleh benci sama kamu! Begitu!?" Melisa meledak karena merasa dianaktirikan oleh pemuda di sebelahnya tersebut.
"Aku pilih kasih? Mana ada? Kamu mikirnya kurang jauh!" Seru pria itu seraya menghirup kopinya.
"Awhhh! Sialan! Panas!" Menjulurkan lidahnya sambil menoleh ke arah Melisa. Mengibasi lidahnya sendiri.
"Huahahhaha! Kamu kayak anjing, serius! Hahahaha!" Meledakkan tawanya sampai air matanya keluar.
"Anjing? Be the way.. anjing itu sering jilat orang di sekitarnya.." seru Leebin sambil beringsut mendekat.
"Kamu! Jangan bilang kamu mau jilat aku! Sini! Mau aku bejeg-bejeg!" Mengancungkan tinju di depan wajah pria tersebut. Leebin menatap kepalan tinju Melisa, lalu menggenggam tangan gadis itu dengan tangan kanannya. Wajah Melisa mendadak berubah pucat. Dia ingin mundur ke belakang tapi belakang punggungnya dinding kafe.
"Kamu kan bisa nyari tempat duduk lain? Jangan di sini." Menoleh ke kanan kiri, ternyata semua kursi sudah penuh. Berjubel-jubel mahasiswa dan mahasiswi sedang memesan di depan. Perfect! Nggak ada tempat, semua mahasiswa sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
Kedua sejoli tersebut merasa memiliki ruangnya sendiri.
"Kamu takut?" Tanya pria itu, melihat Melisa mengeluarkan keringat dingin pada keningnya. Dia segera melepaskan genggaman tangan kanannya pada kepalan tinju gadis itu.
"Nggak, aku takut sama kamu!? Jangan harap!" Melengos menatap ke depan. Mulai mengabaikan Leebin di sebelahnya.
Melisa menunggu pria itu agar segera menghabiskan kopinya, karena dia telah menghabiskan orange juice kesukaannya.
"Kamu minum kopi lama banget! Buruan mau lewat aku!" Seru Melisa tidak sabar.
"Gak jadi nonjok?" Menyodorkan pipi kanannya, menunjuk dengan jari telunjuknya. Melisa menatap kedua bola matanya. Jernih dan teduh, selalu berbinar ceria. Tak sampai hati dia memukulnya, walau seringkali pria itu menyulut amarah dalam hatinya.
"Lain kali saja." Sahutnya sambil memegang pinggang Leebin, maksudnya agar pria itu beranjak berdiri.
Leebin segera berdiri dari kursinya, tapi gara-gara banyak mahasiswa di sana. Punggungnya di sodok seseorang dari belakang. Pria itu terhuyung jatuh ke depan menghambur pada tubuh Melisa.
"Akkhh!" Melisa memekik karena punggungnya terbentur dinding. Untungnya pria di depannya itu sudah merengkuh dengan kedua lengannya, hingga punggungnya terlindung karenanya.
"Kamu terluka?" Tanya Leebin dengan wajah cemas. Melisa menggelengkan kepalanya perlahan. Seperti sedang berpelukan, dengan wajah begitu dekat. Keduanya bertukar nafas satu sama lain. Hembusan nafas Leebin turun pada lehernya yang mulus tanpa noda. Melisa spontan memejamkan kedua matanya, jemari tangannya meremas d**a pria di depannya tersebut. Leebin tersadar saat merasakan remasan pada d**a bidangnya. Melisa pasti ketakutan karena dia mendekatkan wajahnya pada lehernya. Leebin hanya mengendus aroma parfum yang dipakai oleh gadis tersebut. Aroma parfum keduanya menyatu, membuat aroma menjadi semakin unik. Lavender vs Rose!
"Cowok edan, kapan kamu lepasin aku?" Tanya Melisa dengan bibir bergetar. Dadanya berdegup kencang semenjak tubuh pria itu menghambur ke arahnya.
"Maaf! Salahku." Leebin segera menarik tubuhnya mundur ke belakang. Melisa merasa lega.
Gadis itu berlalu sambil mengusap leher kanannya dengan sedikit canggung. "Cantik! Sempurna!" Bisik Leebin dalam hatinya.
Pria itu menghirup kopinya seraya menatap gadis itu berlalu keluar dari dalam kafe melalui ekor matanya. Melisa melangkah keluar tanpa menoleh ke arahnya kembali.
"Dadaku! Astaga! Seharusnya aku tampol mukanya pas dia hampir nyium leherku!" Melisa gemas sekali, karena selalu tidak bisa berbuat apa-apa, semua yang dia rencanakan untuk menghadapi pria usil itu selalu saja gagal total! Dan yang terjadi malah selalu di luar kepalanya, aneh sekali! Sangat berbeda, tidak seperti yang dia rencanakan sebelumnya.
Dua bola mata teduh itu membuatnya selalu terdiam tanpa alasan yang jelas! Wajah nakal, namun sempurna di hadapan para wanita!
Leebin mengusap dadanya sendiri setelah melihat Melisa benar-benar berlalu dari depan kafe. "Deg-degan juga aku! Astaga!" Menggelengkan kepalanya berkali-kali lalu segera menenteng tas pada bahu kanannya. Setelah membayar kopinya segera keluar dari dalam kafe.
Melisa sudah bersama teman-teman satu gengnya. Para gadis itu sedang bercanda di kursi depan perpustakaan kampus.
Leebin melangkah berlalu begitu saja, pura-pura tidak mengenali mereka.
"Leebin!" Marisa salah satu geng gadis itu tiba-tiba berlari mengejarnya.
Mau terus berjalan saja. Tapi Marisa menahan lengannya. "Ini! Buat kamu!" Menyodorkan sekotak coklat padanya.
"Nggak usah! Aku bukan anak kecil." Serunya seraya mengerjapkan matanya.
"Dari adikku.. Aldi.. makasih katanya. Sudah mau ngajarin dia kerjain tugas sekolah pas waktu lalu." Marisa tahu pria itu tidak akan mau menerima hadiah apapun. Jadi dia bilang itu dari adiknya. Marisa sengaja mengundang pria itu ke rumah, dengan alasan banyak tugas adiknya. Sekaligus menjadikan pria itu sebagai guru les Aldi.
"Oh! Oke, thanks." Sahutnya sambil menatap Melisa di antara teman-teman satu gengnya. Melihat dia menerima pemberian Marisa gadis itu segera membuang muka ke arah lain!
Leebin ingin memberikan coklat tersebut padanya, agar gadis itu tidak menekuk wajah sepanjang waktu. Dia pernah mendengar entah dari mana, cokelat bisa merubah mood seseorang menjadi lebih baik. Dia sendiri tidak suka dengan cokelat jadi tidak tahu efeknya.
Akan tetapi karena melihat Melisa melengos, pria itu membatalkan niatnya dan memasukkan ke dalam tasnya. Lalu segera berlalu dari koridor depan perpustakaan.
Leebin mencari dimana rekan-rekannya kali ini menggelar diskusi untuk mempersiapkan acara perpisahan. Ternyata mereka sudah berkumpul di dalam perpustakaan.