Ch-9 Jodoh??

1648 Kata
Leebin telah berada di dalam perpustakaan. Lumayan banyak pria yang mengurus acara akhir kelulusan tersebut. Leebin mulai membagi tugas pada setiap regu. Setelah berdiskusi sekitar dua jam merekapun bubar, satu persatu menjabat tangan pria tersebut untuk berpamitan pulang. Setelah semuanya bubar tinggal dirinya seorang diri di dalam ruangan penuh rak buku serta meja baca tersebut. Pria itu sedang mengemasi buku catatan yang dia gunakan beberapa saat yang lalu, memasukkannya ke dalam tas. Kemudian dia mengedarkan pandangannya ke banyak buku di dalam rak. Saat dia melangkah untuk mengambil sebuah buku seorang gadis muncul di antara rak. Wajahnya terlihat polos, rambut panjangnya dikepang dua, matanya terbingkai dengan kacamata. Memakai kaos lengan panjang ketat warna biru muda, serta rok sepanjang tungkai. Dia memeluk bukunya di depan d**a. Gadis itu tersenyum menyapa wajah terkejut pria tersebut, tak tahu sejak kapan dia berada di sana. Dengan santai gadis tersebut meletakkan buku di rak atas tak jauh dari posisi Leebin berdiri. Leebin tidak tahu kalau Melisa sejak tadi telah berdiri di ambang pintu perpustakaan menunggu dirinya. Pria itu melihat gadis tersebut kesulitan meletakkan buku di rak atas, kaosnya sampai ikut tertarik memperlihatkan pinggangnya yang mulus. Sejenak dia terpaku, lalu buru-buru merebut buku tersebut dan membantu meletakkannya di rak atas. Gadis itu masih berdiri di depannya, memutar tubuhnya hingga menghadap ke arahnya. Setelah selesai Leebin berniat pergi, tapi gadis berkacamata tersebut menahan lengannya. "Kamu nggak mau bertanya siapa namaku?" Ujarnya dengan bibir tersenyum manis. "Nggak." Sahutnya singkat tanpa senyuman. "Tapi aku ingin tahu siapa namamu." Berkeras menahan lengannya, hingga tubuh pria itu hampir terhuyung memeluknya. "Aku, Leebin." "Aku Arumi." Serunya sambil tersenyum manis. Wajah yang manis dan lembut, juga ramah. "Kamu kuliah di sini?" Tanya gadis itu lagi. Leebin mengerjapkan matanya, dia tidak mengerti dengan pertanyaan gadis tersebut. "Sudah selesai." Sahutnya singkat lalu bergegas pergi, tapi lagi-lagi gadis itu menarik lengannya. "Apa lagi??!" Mulai kesal. "Aku dosen baru di sini." Tersenyum semakin manis. "Aku nggak peduli." Sahutnya sambil nyengir, lalu berlalu. "Aku akan mempersulitmu!" Arumi mengancam sambil berkacak pinggang. Leebin sudah berbalik, dia menatap Melisa yang sejak tadi bersantai di ambang pintu. "Mempersulitku? Memang bisa?" Tanya pria itu sambil menggelengkan kepalanya berkali-kali. "Bisa! Acara yang kamu susun. Akan aku buat berantakan!" Menggeram kesal. "Siapa sih dia? Lu kenal?" Tanya Leebin pada Melisa yang sejak tadi berdiri di ambang pintu. "Tahu, dia putri dari salah satu pemegang saham kampus ini." Melisa memutar tubuhnya kemudian berlalu. Arumi mengejarnya, gadis itu tak mau diabaikan olehnya. Sementara Leebin mengekor Melisa, ingin bertanya lebih lanjut. "Leebiiiiiiiin!" Berteriak kencang sambil berlari menyerbu ke arahnya. "Mel, ini aneh. Cewek itu ngapain sih?!" Dengan wajah gusar mengeluarkan cokelat dari dalam tasnya. "Mana aku tahu!" Tandas Melisa jemu. "Aku nitip ini!" Leebin meletakkan cokelat tersebut di tangan Melisa. Lalu bergegas berlari menuju parkiran kampus. "Buat apa??" Tanya Melisa. "Buat isi jengkel kamu!" Serunya sambil terus berlari melambaikan tangannya. Arumi terengah-engah, gadis itu memegangi kedua lututnya. "Sialan! Papa yang benar saja, masa mau jodohkan Arumi sama cowok bertindik begitu! Mana sulit banget diajak ngobrol!" Mendumal kesal. Melisa mendengar apa yang diucapkan gadis itu barusan. "Perjodohan?? Nggak salah?!" Menggaruk kepalanya sendiri, lalu segera berlalu menyusul Leebin ke parkiran. Arumi telah sampai terlebih dahulu di sana, dia menahan setir motor pria tersebut. "Mau ngapain sih?!" Wajah Leebin terlihat kesal, karena merasa terus diburu. "Mau bicara sebentar!" Keluhnya karena Leebin berniat kabur. Melisa dengan malas, masuk ke dalam mobilnya lalu meluncur pergi. Meninggalkan dua orang yang sedang main kejar-kejaran tersebut. "Sial! Anak-anak pasti nungguin! Mana ni cewek rempong banget, ngejar mulu!" "Aku mau ngomong, turun!" Menyeret lengannya turun dari atas motor. "Iya, iya, buruan!" Keluhnya makin kesal, karena diseret masuk ke dalam ruangan. Sepi, hanya mereka berdua. Arumi menekan kedua bahunya agar duduk di sebuah kursi. Leebin mengikuti anjuran wanita itu. Dia diam duduk disana. Menunggu dia bicara. Arumi menghenyakkan tubuhnya di kursi sebelah. Sejajar dengan dirinya. Gadis tersebut menopang kepalanya dengan tangan kanannya. Menatap wajah pria di sebelahnya. "Kamu cakep sih, tapi kamu jauh di bawah standar ku. Aku nggak mau dijodohkan sama cowok ingusan macam kamu. Daun telinga bertindik, penampilan urakan." Menilai dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Jodoh? Woi Maimunah! Kamu salah orang kali! Enak aja jodoh-jodoh! Aku itu ya dari Sabang sampai Merauke nggak mau juga nikah sama cewek model kayak kamu! Terus kamu kira aku mau-mau aja begitu!" "Diaaaaammm! Aku Arumi! Bukan Maemunah!" Bersungut-sungut kesal. "Mending sama Melisa, ngeselin tapi kagak segitunya! Kagak segila kamu! Salah orang kali kamu, masa aku dijodohin. Nggak salah?? Kuliah saja baru kelar." Tak lama kemudian ada seorang pria bertubuh agak gemuk berkacamata mencari-cari di koridor kampus. "Arumi! Arumi sayang!" Suara orang paruh baya sedang berkeliling sambil menyebut nama gadis cantik di sebelah Leebin. "Nah, itu tuh! Selera kamu." Leebin berniat kabur. Tapi Arumi menarik tas ransel miliknya,"Bruuukkk!" Membuat pria itu jatuh menimpanya di lantai Leebin melotot hampir mencium bibir Arumi, gadis itu tidak ingin ketahuan oleh pria yang mencarinya. Saat dia ingin menarik diri Arumi menggelengkan kepalanya, sambil membekap bibir Leebin. Setelah suara orang itu pergi menjauh barulah Arumi melepaskan bibirnya dan membiarkan pria itu menarik diri menjauh. "Maaf." Seru Arumi padanya. Leebin tidak menjawab, pria itu hanya keluar dari dalam ruangan tersebut tanpa berkata apapun. "Jadi jodoh dia pak Bino? Dosen Subino, yang duda itu? Bin?? Bukan Leebin, mungkin dia ambil nama belakangnya? Huahahahaahhaaha! Anjiiir hari gini main jodoh-jodohan! Siti Nurbaya sudah pensiun kaleee!" Tertawa ngakak sambil menyalakan mesin motornya. Setibanya di rumah, pria itu melihat Tiara sedang duduk di ruang utama. Gadis itu tengkurap sambil membuka lembaran majalah di depannya. "Baru pulang kak." Serunya saat Leebin berlalu melaluinya masuk ke dalam kamar. "Hem." Sahut pria itu singkat. "Kakak nggak ngajar? Tumben sudah pulang, biasanya pulang pukul dua sampai pukul tiga sore." Tanyanya seraya mengekor masuk ke dalam kamarnya. "Libur, lelah." Melepaskan kaosnya, baru sampai di d**a lalu menoleh ke belakang punggungnya. Menoleh ke arah adiknya yang sedang tiduran di atas tempat tidur miliknya. "Eh, keluar." Menarik lengan adiknya agar keluar dari dalam kamarnya. "Nggak mau! Tiara mau di sini!" Serunya sambil menggelengkan kepalanya. "Aku mau ganti baju." Seru pria itu, sambil mendorong punggung Tiara keluar dari dalam kamar. "Ada apa ini? Eh? Ribut terus." Tanya Ibunya saat mendengar keributan dari dalam kamar putranya. "Ini ma, ngekor mulu! Mau gue tumis lama-lama ni bocah." Bergumam, ngomel-ngomel sendiri. "Kak Leebin, Tiara gak boleh masuk ke dalam." Cemberut kesal menerobos ibunya yang masih berdiri di ambang pintu. Setelah melihat dua wanita itu pergi, barulah dia melepaskan bajunya. Berganti dengan baju lain lalu menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Pria itu memejamkan matanya, lalu tertidur. "Kak!" Panggil Tiara dengan nampan berisi makan siang di tangan. Gadis itu meletakkannya di meja dekat tempat tidurnya. Seperti sebelum-sebelumnya Tiara diminta ibunya untuk meletakkan makanan di sana, Leebin terkadang lupa jadwal makan jika terlanjur sibuk. "Kakak?" Tiara menyentuh bahunya sambil mengguncangnya, barulah pria itu terjaga. Leebin tersenyum lalu beranjak duduk. "Apa?" Masih mengusap kedua matanya. "Makan dulu." Tiara bergegas pergi keluar dari dalam kamar tersebut. Leebin melihat makanan di atas meja. Pria itu membawa nampan tersebut ke ruang makan. Meletakkan di atas meja makan. Tiara sedang mencuci piring. Berdiri memunggunginya. "Dimana mama?" Tanya Leebin padanya. "Belanja sama mang Ujang." Ucapnya, lalu melangkah mendekat, duduk di sebelahnya. "Kak?" Panggilnya. "Apa?" Menjawab sambil mengunyah makanan. "Kakak sedang dekat sama cewek kan?" "Uhk! Uhk!" Terbatuk mendengar pertanyaan Tiara, Leebin buru-buru meneguk air dari dalam gelas. "Teman kakak banyak di kampus." Sahutnya. "Bukan, tapi yang suka pelukan sama kakak. Belakangan ini Tiara nyium wangi cewek pada baju kakak." Leebin mengerjapkan matanya, dia segera menoleh ke arah Tiara. Memang gadis itu yang selalu membawa keranjang cucian dari kamarnya kebelakang. "Itu nggak sengaja." Berkilah, karena seingatnya belakangan ini gadis yang sering berdekatan, berpelukan dengannya adalah Melisa. "Kakak punya pacar ya?" Tiara menunjuk ke arah wajahnya. "Bukan! Belum! Nanti nunggu sukses dulu!" "Kapan sukses?" Bertanya tak ada ujungnya. "Mana tahu." Mengeluh karena lelah ditanya-tanya. Leebin membawa piringnya ke westafel, mencucinya lalu meletakkan di atas rak. "Kak!" Memeluk pinggangnya dari belakang. Hampir membuat pria itu skot jantung gara-gara terkejut. Sudah biasa Tiara seperti itu sejak kecil. "Jangan peluk-peluk, kamu kan sudah gede. Bukan bocah lagi." Mencoba melepaskan pelukannya pada pinggangnya. "Tiara sayang sama kakak." Leebin mendengar gadis itu terisak menangis sambil memeluknya erat. "Kakak juga sayang sama Tiara. Ngapain nangis?" Membalikkan tubuhnya, menundukkan kepalanya lalu mengusap air mata di kedua pipi adiknya tersebut. "Cup!" Tiara mencium bibirnya, lalu berlari masuk ke dalam kamarnya sendiri. Leebin terpaku diam, selama ini gadis itu hanya mencium pipinya. Atau punggung telapak tangannya. Bukan bibirnya! "Bocah kampret! Ngerjain gue lu!" Teriaknya sambil menyentuh bibirnya sendiri. Tidak ada pikiran lain dalam benaknya, dia sudah tinggal di sana sejak ibunya belum mengandung Tiara. Gadis itu sudah dia anggap adiknya sendiri. "Dasar Kakak parno!" Seru Tiara sambil menjulurkan lidahnya lalu menutup pintu kamarnya. "Maafin Tiara kak! Bruuuk!" Menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, sambil membenamkan wajahnya di atas bantal. Leebin melangkah keluar dari dalam rumah. Pria itu berniat pergi ke suatu tempat. Dia merasa harus pergi ke warung tempat dia bertemu dengan anak-anak jalanan beberapa hari lalu. Tiara mendengar suara motornya keluar dari halaman rumah. Melihat kakaknya tersebut pergi. "Katanya lelah, tapi malah keluar rumah juga!" Leebin melajukan motornya, setibanya di sana dia masuk ke dalam warung. "Kopi satu pak." Tersenyum sambil mengangkat tangan kanannya. "Eh, nak Leebin.. anak-anak tadi nungguin. Tapi mamang bilang kalau kamu libur." Ucapnya sambil menuang air panas, serta mengaduk campuran gula dan kopi dalam cangkir. "Iya pak, tadi ada acara di kampus, dan pulang malah ketiduran." Serunya seraya menyalakan batang rokoknya. "Ini kopinya." "Makasih pak." Menarik cangkirnya mendekat. Pria itu menikmati kopinya, sambil menghisap rokok di antara jemari tangannya. Setelah kopinya habis dia baru keluar dari dalam warung tersebut seraya meletakkan selembar uang di atas meja. "Kembalinya.." teriak pemilik warung. Leebin menoleh sambil nyengir. "Buat bayar hutang Leebin besok pak." Ucapnya sambil menghembuskan asap rokoknya. Leebin naik ke atas motor seraya menginjak sisa batang rokok yang masih menyala, kemudian memakai helmnya dan meluncur pergi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN