Ch-8

1822 Kata
Erlin memberikan handuk kecil pada Derent untuk mengeringkan tangan pria tersebut. Begitu Derent menerimanya gadis itu segera beranjak pergi dari sebelahnya. “Ah, Mr, aku mau mandi dulu. Duduklah dulu.” Pamitnya seraya menyambar baju ganti juga sehelai handuk sebelum menghilang di balik daun pintu kamar mandi. Derent tidak menimpali ucapan gadis tersebut, pria itu berjalan melihat-lihat lalu duduk di atas sofa ruangan utama dekat perapian. Di jam-jam seperti ini biasanya dia duduk di kursi tunggal depan perapian di dalam kediaman megahnya. Dia akan duduk di sana sampai terlelap dalam tidurnya. Di rumah kontrakan Erlin, perapian merupakan ruangan utama. Rumah tersebut hanya terbagi oleh dinding menjadi empat bagian. Kamar tidur sekaligus kamar mandi terpisah dengan dinding, dapur, lalu ruangan utama di mana Derent duduk saat ini. Hanya ada dua sofa panjang dan satu meja dalam ruangan utama. Tidak ada televisi, atau barang mewah di dalam ruangan tersebut. Erlin sudah selesai mandi, gadis itu tidak tahu apa makanan yang disukai Derent. Saat ini perut wanita itu menjerit kelaparan karena seharian sibuk bekerja. Derent yang sedang duduk tenang merasa kalau Erlin terlalu lama meminta dia untuk menunggu. Pria itu segera bangkit berdiri dari kursinya menuju ke kamar Erlin. Dia tidak mendapati Erlin di sana, Derent beralih menuju ke dapur yang terletak agak di belakang. Semua pintu berhubungan dengan setiap ruangan, dari kamar Derent bisa langsung pergi ke dapur. Dia melihat Erlin sedang membuat makanan, wanita itu berdiri dengan sehelai baju mandi warna biru kusam, rambutnya terbungkus dengan sehelai handuk. Derent tidak menegurnya terlebih dahulu, pria itu langsung memeluk pinggangnya dari belakang punggungnya. Erlin kaget sekali, seumur hidupnya dia belum pernah diperlakukan demikian oleh seorang pria. Terkadang dia lupa kalau Derent sudah menjadi kekasihnya sekarang. “Apa yang kamu buat? Kamu membuatku menunggu, dan terus menunggu, sejak pagi aku menunggu pesan darimu. Kamu mengabaikanku seharian Erlin Joe.” Ucap Derent seraya menatap wajah gugup wanita dalam pelukannya tersebut. Erlin menundukkan wajahnya, perlahan dia menarik lepas lengan Derent dari pinggangnya. “Maaf Mr, aku lapar sekali, aku belum makan sejak siang. Dan aku sudah egois karena tidak membalas pesan darimu, aku lembur untuk mendapatkan gaji penuh hari ini karena sudah datang terlambat. Aku tidak pernah memintamu untuk menungguku. Aku juga tidak memintamu untuk mengerti dengan keadaanku.. aku..” Erlin menoleh ke samping, dia melihat Derent sedang mengaduk telur dengan campuran bumbu dalam wadah. Pria itu juga sudah memakai celemek dapur. Derent tersenyum melihat wajah bengong Erlin di sana. Sampai dia selesai memasak Erlin masih mematung diam seperti kehilangan jiwanya. Derent masih mengukir senyum, pria itu meletakan beberapa menu di atas meja dapur. Di sana ada dua kursi. Derent menarik satu kursi lalu menarik lengan Erlin agar bersedia duduk di sana. “Aku juga lupa, bahkan sejak keluar dari hotel pagi ini denganmu, aku belum menelan apapun. Makanlah.” Derent tersenyum, pria itu memberikan garpu dalam genggaman Erlin. “Mr, ini..” “Cicipilah, aku tidak memasak untuk sembarang wanita.” Protes Derent karena Erlin terlihat enggan. “Mr, sebetulnya ini persediaan makanan untuk sebulan.. tapi kamu memasak semuanya untuk sekali makan.” Derent baru saja hendak menyuap ke dalam mulutnya mendadak pria itu meletakkan garpunya. Wajah pria yang tadi terlihat mempesona tiba-tiba kehilangan martabatnya pada detik itu juga. Erlin mendekatkan wajahnya, untuk mengintip wajah Derent karena pria itu menundukkan kepala sejak beberapa detik lalu setelah mendengar pernyataan darinya. “Hahahahaha! Mr, kamu lucu sekali. Aku memang pekerja keras, tapi aku tidak sepelit itu, hahaha!” Erlin meledakkan tawanya. Derent yang tadinya menekuk wajah karena merasa bersalah segera tersenyum, pria itu hanya tersenyum sambil menatap sosok Erlin Joe yang kini masih terpingkal-pingkal lantaran sukses mengerjainya. Erlin mengambil satu sendok dari dalam piringnya lalu menyuapkan pada bibir Derent. “Mr, makanlah.” Erlin tidak lagi menertawakannya. Derent tanpa ragu membuka bibirnya, tapi lagi-lagi Erlin malah mengerjainya, gadis itu memutar sendoknya kembali ke dalam mulutnya sendiri. “Ahhh,” Derent mengeluh, tapi bibir pria itu masih tetap tersenyum sama seperti sebelumnya. Sampai Erlin menyuapinya lagi dia segera menahan pergelangan tangan gadis tersebut untuk mendapatkan makanan dari sendok Erlin. Keduanya terus tertawa renyah selama makan bersama. Tidak ada attitude di sana. Derent tidak harus duduk dengan sopan seperti yang biasa dia lakukan. Bahkan tidak peduli dengan belepotan pada bibir dan juga pipinya karena Erlin mengerjainya. Gadis di depannya saat ini terlihat sangat bahagia sekali. Derent semakin jatuh lebih dalam pada sosok Erlin Joe, dia tidak ingin kembali ke kediamannya yang begitu hening. Selesai makan Erlin mengemas meja, wanita itu membawa semua piring kotor ke westafel untuk mencucinya. Derent membawakan beberapa piring untuk membantunya. “Mr, masakanmu, enak sekali! Kamu membuatku ingin duduk santai sementara kamu sibuk di dapur membuat hidangan untukku. Aku membayangkan itu berlangsung dalam waktu yang lama, alangkah manis sekali!” Seru Erlin dengan kedua bola mata berbinar, walau dia tahu itu mustahil karena sampai detik ini dia tidak tahu siapa nama pria yang kini berdiri di sebelahnya tersebut. “Sebesar apa keinginanmu untuk menahanku tinggal di sisimu Erlin Joe?” Nada serius dari pria tersebut membuat Erlin menahan napasnya sesaat. “Aku, tidak, lupakan saja Mr. aku hanya bercanda.” Ralat Erlin segera, wajah Erlin berubah gugup, dia sudah selesai mencuci piring. Wanita itu masuk ke dalam kamar, meninggalkannya sendirian di dapur. Erlin berdiri di depan cermin dalam kamarnya. Melihat Derent melangkah mendekat, Erlin segera memutar tubuhnya. Derent mendesak langkahnya sampai punggung Erlin bersandar pada tepian meja rias. Erlin menggenggam kerah shirt lengan panjang yang membalut tubuh atletis milik Derent Jake. “Kenapa? Apa aku tidak pantas tinggal di sisimu?” Tanya pria itu dengan jarak dekat sekali, ujung hidung mereka berdua bersentuhan satu sama lain. “Sebaliknya, Mr. Aku tahu harganya pasti mahal sekali untuk membuatmu tinggal bersamaku.” Bisik Erlin. Beberapa kali Derent memberikan kecupan kecil pada bibir Erlin Joe. Napas Erlin mulai terdengar tidak teratur. Erlin bisa merasakan ujung hidung Derent sudah menghangat, begitu juga sebaliknya. Wanita dalam dekapan Derent saat ini sudah hampir tidak bisa menguasai kewarasannya. “Mr, sudah malam. Mr.. harus pulang.” Erlin menahan napasnya, dia berusaha menguasai kesadarannya agar Derent tidak bertindak melewati batasan seperti semalam. Wanita itu mendorong tubuh Derent menjauh perlahan, Erlin tidak ingin Derent merasa tertolak. Erlin berusaha tetap mengukir senyum pada bibirnya walau sangat sulit sekali. Di dalam hatinya dia ingin tetap tinggal bersama Derent. Ingin setiap hari melewati masa-masa yang belum pernah dia rasakan selama ini dalam seumur hidupnya. Derent adalah pria pertama yang membuatnya merasa nyaman. Sekaligus sosok sempurna dalam versinya. “Kamu mengusirku? Haruskah aku membayar sewa agar bisa menginap satu malam di sini? Katakan berapa?” Derent menolak menjauh. Pria itu meraih pinggang Erlin agar mendekat padanya, bahkan menahan menggunakan lengan kanannya menahan belakang pinggang wanita itu agar Erlin tidak melangkah mundur menjauh. “Jangan bercanda Mr, aku serius ini sudah larut malam.” “Hei, berhentilah bergerak. Kamu sudah membangunkannya.” Desis Derent pada sisi leher jenjangnya. Erlin ingin menolak, tapi pria itu begitu menawan dalam pandangan matanya. Sekali lagi Erlin Joe membiarkan dirinya larut dalam lautan asmara. Ya, hanya ada kebahagiaan saat ini. Semuanya terjadi begitu saja. “Mr, sudah dua malam kamu tidak pulang.” Bisik Erlin padanya. Wanita itu meletakkan pipinya di atas dadanya. Derent masih rebah di atas tempat tidur, lengan kanannya memeluk punggung polos Erlin Joe. “Sebentar lagi, ijinkan aku tinggal.” Derent mengecup keningnya. “Terserah padamu Mr, aku merasa kalau kamu hanya tinggal di dalam mimpiku Mr..” Bisik Erlin padanya. “Aku nyata Erlin, ini bukan sebuah mimpi.” “Ya, kamu benar Mr. Ini bukan mimpi tapi hubungan kita terasa begitu sempurna untukku.” “Aku sangat mencintaimu Erlin Joe.” Derent memutar posisi tubuhnya, mengurung Erlin Joe, perlahan Derent melabuhkan bibirnya pada bibir wanita itu. Satu kecupan pada bibir, lalu satu lagi pada keningnya. “Kita sudah dua kali melakukan ini, Mr. Kamu tidak cemas jika aku hamil?” Erlin menelan ludahnya sendiri. Jika pria itu meminta dia untuk menggugurkannya tentu itu adalah akhir dari hubungan antara mereka berdua. “Jika kamu hamil, katakan padaku maka aku akan menikahimu.” Bisik Derent sambil mengusap bibir ranum milik gadis tersebut. Erlin memejamkan kelopak matanya, dia merasa ucapan Derent sebuah nyanyian merdu yang tak pernah dia dengar sebelumnya dari kaset manapun. Terlalu merdu dan membuatnya enggan terjaga dari dunia Cinderella yang disuguhkan seorang Derent Jake! Satu jam berikutnya Derent sudah berdiri, pria itu mengambil bajunya dari atas kursi. “Apakah besok kamu juga akan mengabaikan pesan dariku?” Derent sudah merapikan bajunya, pria itu bersiap untuk pulang ke rumah. Erlin mengantarkannya ke depan. “Entahlah, aku sibuk sekali Mr. Pekerjaan paruh waktuku sangat penting. Aku tidak mau kehilangannya.” “Kamu serius tidak ingin bekerja menjadi karyawan tetap? Jika kamu ingin aku bisa mengurusnya untukmu. Gajimu pasti lebih besar dari pegawai paruh waktu.” Ucap Derent, dengan tatapan penuh harap pria itu menunggu jawaban Erlin. “Aku akan mempertimbangkannya, Mr.” Erlin tidak mungkin meminta Derent melakukan sesuatu untuknya di luar batas hubungan antara mereka berdua. Mengingat Derent yang selalu menemui dirinya dengan cara sembunyi-sembunyi Erlin menduga pria yang menjadi kekasihnya saat ini mungkin saja seorang publik figur di luar sana. Atau seseorang yang memiliki status tinggi. Di dunia nyata Erlin melihat Derent begitu jauh dari jangkauan tangannya. Erlin tidak tahu sampai kapan Derent bersedia mengungkapkan identitas yang sebenarnya pada dirinya. Erlin tidak berani bertanya, dia merasa kalau hubungan antara mereka berdua akan segera berakhir jika dia menanyakan hal itu pada sosok pria yang dia kagumi tersebut. “Aku serius.” Derent memegangi kedua bahunya, lalu memeluknya sekali lagi. Pria itu tidak ingin berpisah dari Erlin Joe. “Mr, aku tidak akan bisa membayarmu, hargamu sangat mahal untuk pegawai paruh waktu sepertiku.” Ucap Erlin seraya mengusap punggung Derent yang kini memeluknya. “Sepuluh puluh dolar untuk menjadi pegawai tetap di hotel Larosse..” Bisik pria itu seraya mengangkat dagu Erlin. Satu kecupan dari Derent berlabuh pada bibir Erlin Joe. Disusul tawa renyah dari keduanya. Erlin melambaikan tangannya melepas kepergian Derent Jake. Berulang kali Derent tersenyum seorang diri dalam perjalanan menuju ke rumah, dia sedang mengemudikan mobilnya menuju ke kediamannya. Dalam benaknya sudah terisi penuh dengan sosok Erlin Joe. Erlin Joe selalu penuh kejutan baginya. Sekitar hampir pukul dua dini hari dia baru tiba di kediamannya. Derent masuk ke dalam, pria itu menyerahkan tas kerjanya pada Grace. Sebelum Grace membawakan air hangat untuknya Derent segera berkata.. “Aku akan langsung ke kamar. Kamu bisa beristirahat.” “Baik, Tuan.” Grace segera berlalu menuju ruangan kerja Derent. Derent menghampiri pintu kamar kedua putrinya. Pria itu tersenyum lalu masuk ke dalam kamar, memberikan kecupan pada kening mereka berdua bergantian. Beberapa menit lalu dia masih mendekap wanita lain, bukan ibu dari kedua putrinya. Wajah Derent terlihat tidak merasa bersalah sama sekali karena telah mendua, mengkhianati keluarganya. Keluar dari dalam kamar kedua putrinya, Derent melangkah menuju kamarnya sendiri yang ada di lantai atas. Usai melepaskan bajunya, Derent membasuh tubuhnya dengan air hangat di dalam kamar mandi. Sekali lagi dia tersenyum kecil mengingat Erlin Joe.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN