Erlin segera pergi ke ruang ganti untuk bersiap memakai seragam resepsionis. Tak lama setelah Erlin masuk ke dalam hotel, Derent Jake bersama mobilnya masuk ke area parkiran hotel. Sebelum masuk ke dalam hotel, pria itu menatap pantulan dirinya sejenak di sisi mobilnya seraya membetulkan tata letak dasinya. Sikap usilnya untuk tidak mengganggu Erlin sepertinya begitu sulit untuk dia tahan. Pria itu merogoh saku bajunya, dengan senyum manis dia mengetik pesan untuk Erlin.
“Bagaimana? Apa atasannmu memarahimu? Memberikan surat resign, misalnya?!” Tanya pria itu melalui pesan pada ponselnya.
Erlin Joe sedang memoles bibirnya dengan lipstik dari dalam tasnya, menatap cermat wajahnya di depan cermin. “Tring!” Gadis itu mendapatkan notifikasi pada ponsel miliknya. Erlin melihat nama yang tertera di sana, Mr. D. “Aku harus mengabaikan pesannya, atau terpaksa resign karena sudah datang terlambat dan juga memainkan ponselku selama bekerja.” Ucapnya, seraya mengatur ke dalam mode hening tanpa memeriksa apa isi pesan yang Derent kirimkan untuknya. Pada kenyataannya ada kesamaan antara Ervina Marloy dengan Erlin Joe, keduanya sama-sama memprioritaskan pekerjaan mereka dibandingkan membalas pesan dari Derent Jake.
Usai memoles wajahnya sejenak, Erlin segera memasukkan tasnya ke dalam loker karyawan, dia mengantongi ponselnya lalu segera melangkah menuju ke meja resepsionis. Seseorang yang menggantikan sift-nya segera pergi meninggalkan meja tersebut begitu Erlin tiba di sana.
“Syukurlah, aku kira aku akan mendapatkan teguran.” Bisik dalam hati wanita itu seraya menghela napas panjang.
Erlin kembali melayani tamu, hanya dalam beberapa menit saja wanita itu sudah sibuk dengan pekerjaannya. Dan dia melupakan mode hening yang sudah dia atur pada ponselnya sebelum memasukkan benda tersebut ke dalam saku bajunya.
Di sisi lain, Derent Jake tampak kesal sekali. Pria itu sudah berada di dalam ruangan kerjanya. Derent memijit pelipisnya, beberapa kali dia memeriksa ponselnya dan Erlin sama sekali tidak membalas pesannya setelah tiga puluh menit berlalu. Teleponnya juga tidak diangkat oleh wanita itu.
“Apa mungkin aku terlalu keras padanya semalam?” Derent bertanya-tanya seraya menggeser layar ponselnya. Dia masih ingat ketika Erlin memekik seraya mengaitkan kedua kakinya di belakang pinggangnya. Gadis itu begitu seksi dan membuatnya tidak bisa berhenti. “Apa mungkin karena terlalu lama?! Argghhh! Sudahlah, lupakan saja.” Omelnya pada dirinya sendiri.
“Helena! Helena! Ke ruangan kerjaku sekarang!” Panggilnya dengan suara lantang, melalui telepon di atas meja kerjanya. Beberapa detik kemudian Helena segera datang menghadap padanya.
“Adakah yang bisa saya bantu, Tuan?” Tanya wanita itu dengan tubuh membungkuk hormat.
“Tutup lowongan untuk staf sekretaris.” Ucapnya tiba-tiba.
Mendengar nada ketus tersebut Helena tahu kondisi perasaan Derent sedang dalam keadaan kurang baik detik ini. Helena hanya harus melaksanakan perintah, tanpa perlu bertanya apa alasan Derent merubah keputusan begitu mendadak.
“Baik, Tuan.” Jawabnya dengan tubuh tetap membungkuk lalu undur diri dari hadapan pria tersebut.
Selepas Helena keluar dari dalam ruangan kerjanya, Derent menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi. Beberapa menit berikutnya ponselnya berdering nyaring. Pria itu sempat mengira kalau Erlin yang melakukan panggilan tersebut. Harapan dalam hatinya kandas tatkala melihat nama yang tertera di sana. Evrina Marloy.
“Ya?” Sahut Derent dengan nada malas.
“Sayang, kamu tidak senang aku menelepon? Nada suara ini..terasa berbeda sekali.” Protes Evrina dari seberang sana.
Wanita itu masih berada di lokasi syuting, Derent bisa mendengar suara hiruk-pikuk di belakang punggung wanita itu melalui ponselnya. Evrina memang sangat sibuk selama ini, dan Derent tidak menemukan celah keburukan atau skandal tentang istrinya itu. Jadi dia tidak bisa membuat alasan untuk menceraikannya. Derent memendam dan menahan sendirian semua rasa sepinya.
“Aku lelah sekali, kapan kamu kembali?” Derent merasa familiar jika istrinya menelepon seperti ini. Pasti wanita itu meminta perpanjangan kontrak dengan produsernya sama seperti sebelum-sebelumnya. Bahkan sudah menandatanganinya tanpa persetujuan dari Derent Jake.
“Maafkan aku sayang, sepertinya lebih lama lagi. Ada jadwal tambahan dan semuanya disusun di lokasi yang sama. Aku harus mengambil tawaran itu, kamu tahu popularitasku semakin meningkat belakangan ini? Kamu pasti sangat bangga padaku. Sayang?”
“Ya semoga harimu menyenangkan.” Sahutnya pada Evrina.
“Okay sayang, jaga putri kita baik-baik. Aku sayang kamu, suamiku, ah aku harus berganti baju sekarang. Aku tutup dulu.”
Selesai, hanya beberapa menit saja panggilan berlangsung antara mereka berdua.
“Selama berbulan-bulan dia pergi, bahkan dia tidak ingin mendengar suaraku lebih dari tiga menit. Karirmu begitu bernilai dibandingkan denganku, aku sampai lupa seperti apa rasanya sebuah pelukan.” Keluh Derent seraya melemparkan ponselnya ke atas meja kerjanya.
Erlin masih sibuk melayani tamu, karena dia terlambat datang jadi Erlin memilih tetap tinggal di hotel sampai beberapa jam ke depan untuk mengganti jam kerjanya dengan beralih menjadi staf kebersihan. Tidak ada keharusan untuk melakukan itu, tapi Erlin tidak ingin gaji paruh waktunya dipotong. Dia butuh uang untuk tetap bertahan hidup, dan hanya pekerjaan di hotel Laosse yang bisa dia andalkan untuk saat ini.
Keadaan yang sangat berbeda, dia selalu menjadi Cinderella di dalam pelukan Derent Jake. Tapi dia harus tetap menjadi seorang pelayan hotel selepas bertemu dengan sosok pria yang berhasil mendapatkan hatinya tersebut.
Beberapa kali Erlin menyeka keringat pada keningnya, dia mendapat jatah membersihkan lima kamar untuk mendapatkan gaji penuh. Jangankan memeriksa ponselnya, berdiri saja dia sudah sangat kelelahan sekali. Jadi dia hanya ingin semua pekerjaannya hari ini segera selesai agar bisa secepatnya kembali ke kontrakan.
Sepulang dari hotel, Erlin pergi berbelanja di sebuah minimarket. Beberapa bahan makanan di dalam rumahnya sudah habis. Sambil menunggu bus wanita itu mencoba memeriksa ponselnya. Kebetulan saat itu Derent juga sedang memeriksa komunitas online di mana dia dan Erlin saling bertegur sapa untuk pertama kali.
Erlin molotot melihat banyak pesan yang dikirimkan Derent padanya.
“Dia marah padaku?” Tanyanya sambil menggigit kuku ibu jarinya, bus datang jadi dia segera memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas.
Derent melihat pesan yang dia kirimkan sudah dibaca tapi tak juga dibalas. “Apa-apaan ini? Apa dia bosan denganku? Benar-benar membosankan? Dia memujiku saat kami sedang bersama! Apa ini? Dia hanya bersandiwara?!”
Derent menyambar jas serta kunci mobilnya, pria itu segera mendatangi kediaman Erlin. Dia tidak peduli gadis itu akan memarahinya nanti.
Erlin berada di dalam bus, gadis itu menyandarkan kepalanya dengan nyaman. Dia lupa belum membalas pesan Derent. Tubuhnya terlalu lelah, dia tidak punya kesempatan untuk membalas pesan itu selain harapan untuk secepatnya tiba di rumah. Berbaring dengan nyaman di atas tempat tidurnya. Rasa lelah benar-benar sudah menguasai tubuhnya saat ini.
Turun dari bus, Erlin harus berjalan sejauh seratus meter untuk bisa tiba di rumah. Walau jalan di depan rumah yang ia sewa cukup luas dan bisa dilewati mobil, tapi bus tidak melewati jalur tersebut. Sikap hematnya tidak berubah. Mengabaikan angkutan kecil yang berlalu lalang, wanita itu memilih tetap berjalan walau dengan langkah berat atau terpaksa harus menyeret kedua kakinya.
Derent duduk di dalam mobilnya, pria itu meletakkan keningnya di atas setir mobilnya. Cuaca begitu dingin sekali. Sudah tiga puluh menit dia keluar masuk dari dalam mobilnya. Erlin yang dia tunggu tak kunjung terlihat. Empat puluh menit, dia melihat wanita yang dia kenal masih berada di ujung jalan.
Derent memilih turun dari dalam mobil, pria itu melihat Erlin menenteng tas berisi barang. Berulang kali wanita dengan tubuh kurus tersebut menggesekkan kedua telapak tangannya dalam balutan sarung tangan di kejauhan. Lalu kembali memasukkannya ke dalam saku mantel tebal yang ia kenakan.
Derent tersenyum melihat Erlin menyeret kedua kakinya, pria itu bergegas menyusul. Melihat Derent berjalan mendekat Erlin segera berhenti, dia tidak mengira kalau pria itu akan mengunjunginya setelah semalaman penuh menghabiskan waktu bersama dengannya. Erlin tahu pria di depannya itu bukan pria pengangguran yang memiliki banyak waktu untuk berkencan.
Keduanya sama-sama berhenti, berdiri di jalan sejauh dua puluh meter dari rumah Erlin. Kemarahan yang sudah dia siapkan untuk gadis itu sirna dalam dinginnya cuaca malam itu. Derent menunggu cukup lama untuk bertemu dengannya malam ini. Kegelisahan di dalam hatinya mengalahkan bara api yang tadinya membakar dadanya lantaran pesan yang terabaikan oleh sosok wanita di depannya tersebut.
“Mr..” Tegurnya dengan nada datar.
Derent menutupi hidung serta bibirnya dalam balutan syal tebal. Pria itu melangkah pelan mendekatinya. Erlin tersenyum lalu kembali berjalan, Derent memutar arah untuk berjalan menemani di sebelahnya.
“Kamu pulang sangat larut, apa kali ini atasanmu menghukum karena kamu terlambat datang?”
Erlin segera mengukir senyum, serentetan gigi putih terlihat di antara bibirnya. Derent ikut tersenyum melihat itu, pria itu meraih telapak tangannya menggenggamnya sambil terus berjalan.
“Mr! Ini tempat umum! Aku tidak mampu membayar tagihan lagi.” Seru Erlin dengan gigi gemeletuk mengginggil menahan udara dingin.
“Tenang saja, aku akan memberikan diskon untukmu, lima puluh persen!” Serunya dengan suara berbisik pada daun telinga Erlin Joe.
Erlin tertawa kecil, Derent semakin melebarkan senyumnya.
“Berapa? Lima puluh dolar?” Erlin mencoba menebak. Derent masih menggelengkan kepala, pria itu tak henti-hentinya mengukir senyum renyah. “Seratus dolar? Tujuh puluh?” tebak Erlin lagi. Mata Erlin membulat jenaka, terlihat antusias memilih harga yang tepat untuk menggenggam telapak tangan seorang Derent Jake di tempat umum. Derent tidak mengira kalau kelakarnya tersebut dianggap serius oleh Erlin. Mereka berdua sudah tiba di depan rumah kontrakan Erlin. Keduanya menghentikan langkahnya sejenak, Erlin perlu mengambil kunci dari dalam tasnya.
“Lima ratus dolar.” Sahut Derent sambil membungkuk membisikkan padanya, pria itu menarik syal penutup bibirnya lalu memberikan kecupan pada pipi kanannya. Erlin menjatuhkan tas belanjaannya, spontan menoleh dan kini bibirnya yang menyatu dengan bibir Derent Jake. “Seribu dolar.” Tambah Derent, berikutnya selama tiga detik mengulum bibir Erlin Joe. Erlin semakin membelalakkan kedua bola matanya. Bahkan gajinya sebulan tidak sebanyak itu. Jangankan satu bulan, empat bulan dia belum tentu bisa membayar ciuman tersebut. Dengan tergesa Erlin mendorong Derent menjauh darinya. Bukannya senang mendapatkan ciuman, Erlin terlihat kesal dan marah.
“Aku, aku tidak bisa membayarnya! Mr, pulang saja.” Sahutnya sambil berjongkok untuk memungut kembali tas belanjaan yang dia jatuhkan.
Dengan santainya Derent merebut kunci dari dalam genggaman tangan Erlin Joe. Pria itu membuka daun pintu kediaman Erlin lalu masuk ke dalam.
“Apa dia akan mengambil alih rumah sewa lalu menendangku keluar karena tidak bisa membayar seribu dolar?” Gumamnya seraya mengikuti Derent Jake masuk ke dalam rumah.
Sampai di dalam dia melihat Derent sedang sibuk menyalakan kayu bakar dalam perapian. Erlin tahu melihat dari cara pria itu melakukannya maka api tidak akan pernah bisa menyala meskipun selama satu jam berjongkok di depan perapian.
Erlin menaruh tas belanjaannya di atas meja lalu bergegas mendekat dan berjongkok di sebelah Derent. Erlin melihat Derent nampak kebingungan dengan kedua telapak tangan kotor dan hitam penuh abu sisa perapian.
“Mr, cuci tangan saja, biar aku saja.” Ucapnya sambil mengambil pemantik dari dalam genggaman Derent. Hanya satu menit api sudah menyala. Erlin melihat Derent masih terpaku di sebelahnya. "Dia hanya menyalakan perapian, tapi kenapa terlihat begitu manis di depan mataku?" Bisik Derent Jake dalam hatinya.
“Mr? Hei?” Erlin mengejutkannya.
“Iya, aku akan mencuci tanganku.” Serunya segera berdiri lalu pergi menuju ke kamar mandi. Erlin buru-buru mengejarnya.
“Mr, kamar mandiku belum diperbaiki!” Teriaknya seraya memburu Derent sambil berlari, mendengar teriakannya Derent segera memutar tubuhnya dan Erlin jatuh menabrak dirinya. Spontan Derent memeluknya agar Erlin tidak terjatuh.
“Ah, aku lupa tanganku kotor, dan sekarang aku mengotori bajumu.” Derent tampak merasa bersalah. Pria itu segera melepaskan pelukannya.
“Tidak masalah, seribu dolar lunas!” Erlin meringis sambil mengedipkan matanya.
Mau tidak mau Derent kembali menggerai tawanya. “Sejak kapan kamu begitu pandai tawar-menawar?” Serunya sambil tergelak, Derent beralih menuju westafel untuk membersihkan kedua tangannya.
“Sejak masuk ke situs online lalu bertemu dengan Mr. D!” Sahutnya sambil menuang sabun cair ke atas telapak tangan Derent. Keduanya pun kembali tertawa renyah.