Ara berdiam diri di depan rumah sakit suaminya. Ara bingung mau menghubungi Mas Brama atau pulang dengan naik taksi. Pasalnya Mas Brama baru pulang, Ara tidak enak hati bila harus menghubungi Mas Brama lagi.
“Bu Ara, Bu Ara lagi ngapain?” tanya seseorang yang membuat Ara melemparkan tasnya ke pria itu dengan kesal.
“Ngapain sih pake ngagetin gitu?” omel Ara meninju Brama. Seolah dia yang melempar tas masih belum cukup.
“Aku sudah menebak kamu akan pulang cepat. Makanya aku menunggu kamu di sini,” ucap Brama.
“Mas Brama memang yang paling ngerti,” ucap Ara berjalan terlebih dahulu sembari menghentakkan kakinya kesal.
“Ayo tuan puteri, mau ke mana akan aku antar,” ucap Brama yang berjalan lebih cepat. Brama membukakan pintu untuk Ara masuk. Setelah Ara masuk, Bram segera memutari mobilnya dan masuk di bangku kemudi.
“Mau pulang,” jawab Ara acuh.
“Bagaimana kalau kita ke tempat wisata?” tanya Brama.
“Gak mau,” jawab Ara dengan cepat.
“Ara, kamu di rumah terus ga bosan apa?” tanya Brama lagi dengan heran.
“Enggak,” jawab Ara lagi.
“Ara, dengerin aku. Tidak selamanya kamu harus berdiam diri di rumah, Ara. Ada kalanya kamu harus mengenal dunia luar. Di luaran sana dunia sangatlah indah, percuma kalau kamu lewatkan begitu saja,” jelas Brama meyakinkan Ara. Ara menundukkan kepalanya. Sebenarnya benar apa kata Brama, dia tidak bisa hanya terus berdiam diri di rumah. Belum lagi suaminya kini sudah mulai dekat dengan perempuan lain.
Sebenarnya Ara ingin terus percaya bahwa suaminya akan setia. Namun entah kenapa perasaannya tidak menyetujuinya. Di dalam hati kecilnya terus berontak, bahwa dia tidak boleh terus-terusan bergantung pada Farel. Karena saat Farel meninggalkannya, dia tidak punya siapa-siapa lagi yang bisa ia jadikan sandaran.
Brama melirik Ara, cowok itu merasa ada yang tidak beres dengan adik sepupunya. Sembari menjalankan mobilnya, Brama memanggil Ara. Ara hanya berdehem untuk menanggapi.
“Apa ada masalah?” tanya Brama.
“Mas, apa mungkin suatu saat Farel meninggalkanku?” tanya Ara.
“Mungkin,” jawab Brama. Ara tercekat, cewek itu menatap Brama dengan tajam.
“Mas, Farel setia, dia mencintaiku, dia tidak akan meninggalkanku,” ucap Ara seolah tanpa ragu. Ara menatap lurus ke depan, air mata juga menggenang di pelupuk matanya. Di lisan dia boleh vokal dan mantab dalam mengatakan, tapi di hatinya tengah terjadi badai hujan.
Selama ini Farel lah yang selalu Ara percaya, Farel lah tempatnya bergantung. Kalau Farel mengkhianatinya, matii sudah perasaan Ara.
“Ara, kayaknya kamu butuh hiburan. Bagaimana kalau kita ke pantai?” tanya Brama.
“Aku takut,” jawab Ara seraya menundukkan kepalanya.
“Ada aku, apa yang kamu takutkan?”
“Aku takut, Mas. Kamu ngertiin dong, lebih baik kita pulang saja!”
“Ara, rasa takut itu tidak akan bisa hilang kalau kamu tidak berusaha melawan. Kamu terus-terusan sembunyi dari dunia, tapi kamu akan terus dikejar. Kalau takut maka lawanlah, dan kemenangan ada di tanganmu,” jelas Brama.
“Dunia ini luas, dunia ini juga indah, kamu akan menemukan banyak orang baik di luaran sana. Kalau kamu menganggap Farel satu-satunya orang baik di dunia ini, maka kamu salah besar. Di dunia ini banyak yang lebih baik dari Farel,” tambah Brama lagi.
“Tapi semua orang yang pernah aku temui rata-rata jahat,” jawab Ara.
“Itu hanya seberapa, Ara. Kamu nurut saja sama Mas, kamu juga percaya aja sama Mas, Mas akan buat kamu jadi wanita pemberani. Tidak ada yang boleh menginjak-injak Ara, karena Ara adalah perempuan kuat,” ucap Brama penuh keyakinan.
“Kenapa tiba-tiba Mas begini?” tanya Ara. Brama gelagapan, cowok itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Brama ingin membuat Ara menjadi gadis pemberani karena Brama hanya ingin antisipasi seandainya Farel meninggalkan Ara. Ara tidak akan menjadi perempuan lemah.
“Ini demi kebaikanmu sendiri. Ayo kita ke pantai saja,” ujar Brama.
“Tapi aku ijin dulu sama suamiku,” ucap Ara merogoh hpnya. Ara mengetikkan pesan pada suaminya kalau dia ke pantai bersama Brama.
“Setelah ijin, matiin hpnya. Biar suamimu tidak mengganggu!” ucap Brama. Ara menganggukan kepalanya, perempuan itu segera mematikan hpnya setelah ijin pada suaminya. Tidak peduli suaminya memberi ijin atau tidak. Toh suaminya pernah bilang kalau dia boleh jalan-jalan.
Ada ketakutan tersendiri di hati Ara saat harus berbaur dengan banyak orang. Semua orang yang dulu Ara temui, semuanya munafik dan selalu mencibirnya dari belakang. Ara tidak suka itu. Mobil Brama terus membelah jalanan yang kini mengarah pada jalanan sepi. Ara diam saja menikmati perjalanan yang semakin jauh dari kota.
Ara tidak pernah pergi ke pantai, dia takut tersapu ombak. Ketakutan-ketakutan Ara sangatlah tidak beralasan.
Sedangkan di ruangannya, Farel dan Aleta tengah berbincang di sofa. Tumpahan makanan yang tadi, sudah Farel bereskan dan masukkan ke tempat sampah beserta kotak makannya.
Tidak ada urusan penting seperti yang dikatakan Farel. Farel dan Aleta hanya membicarakan kebiasaan mereka masing-masing. Awalnya Aleta menolak pesona Farel, tapi mengetahui kenyataan bahwa Farel belum menyentuh istrinya, entah kenapa pikiran jahat Aleta yang bekerja. Aleta menyukai Farel, menyukai Farel yang sangat berani dengan terang-terangan pada perempuan lain bahwa pria itu tidak mencintai istrinya.
Ara yang bodohh, Ara selalu percaya bahwa Farel mencintainya. Namun pada kenyataannya Farel bermain api di belakangnya. Di muka bumi ini Ara paling tidak suka dengan orang munafik. Apa jadinya kalau dia mengetahui sang suami tengah menjelek-jelekkan dirinya dengan wanita lain.
“Aku tidak menyangka kalau kamu terpaksa dengan pernikahan ini, Farel,” ucap Aleta seraya tersenyum.
“Kamu tau, sejak dulu kamulah yang aku kagumi,” ujar Farel.
“Woah, mungkin aku yang melamar kerja di sini menjadi awal yang baik untuk kita,” jawab Aleta.
“Apa kamu berpikir begitu?” tanya Farel.
“Mungkin,” jawab Aleta. Pertahanan Aleta runtuh. Saat dia mengetahui fakta Farel sudah menikah, jiwa liarnya ingin dia pendam dalam. Namun mengetahui fakta rumah tangga Farel yang didasari dengan kata terpaksa, membuat jiwa liarnya muncul di permukaan.
Kucing tidak akan menolak kalau disuguhi ikan asin, mungkin itulah pepatah yang bisa mengibaratkan Farel dan Aleta. Kini mereka membicarakan hal yang lebih intim, Farel lupa batasan kalau hal-hal pribadi seharusnya tidak dia bicarakan pada orang lain terlebih wanita lain.
Katanya cinta membutakan segalanya, mungkin saat ini Farel juga tengah mengalami kebutaan. Mendapat cinta dan kasih sayang dari istrinya tetap membuat Farel kurang. Farel terus berkelana mencari perempuan yang bisa membuatnya jatuh cinta, dan saat ini ia merasakan kekagumannya pada Aleta. Farel ingin Aleta, bukan Ara. Farel ingin bersama Aleta menghabiskan masa hidupnya, bukan dengan wanita naif seperti istrinya.