“Mas, kok rame begini sih pantainya, mending pulang saja,” ucap Ara yang menarik tangan Brama untuk kembali ke mobil. Mereka baru saja sampai, dan Brama sudah menyeret Ara ke pantai.
“Ara lihat noh, lautnya sepi. Yang rame hanya orang-orang yang duduk di tikar itu,” ucap Brama menunjuk pengunjung yang sedang makan di atas tikar. Sedangkan pantainya sepi. “Tapi, Mas,” ucap Ara. Brama tidak peduli, cowok itu terus menyeret Ara melewati pengunjung lain yang sedang duduk-duduk di samping jalanan utama. Ara menundukkan kepalanya, perempuan itu meremas tangan Brama dengan erat.
Brama membawa Ara ke pinggiran pantai. Brama juga memaksa Ara untuk melepas flat shoes yang gadis itu kenakan.
“Ara, lautnya sedang surut, ombaknya gak begitu besar. Kamu bisa main air di sini!” ucap Brama.
“Kalau aku-”
“Hustt jangan katakan hal buruk. Nikmati saja keindahan di sini. Angkat kepalamu, pandang ke depan sana!” titah Brama.
Ara mengikuti ucapan Brama, pandangan gadis itu mengarah ke depan. Ara menatap takjub, pantai itu sangat luas dengan air yang biru dan beberapa karang yang besar. Mata Ara makin menatap tajam, ia bagai tidak menemukan ujung di lautan luas itu.
“Mas, lautannya tidak ada ujungnya,” ucap Ara.
“Dunia ini seperti tidak berujung, Ara. Saat kamu berjalan ke arah sana, kamu akan kembali lagi ke titik ini. Saat perjalananmu, kamu tidak hanya menemukan air laut yang tenang, melainkan juga ombak kecil, ombak besar, hingga badai. Ibaratkan dengan kehidupanmu, kalau kamu terus menjadi lemah, kamu akan terseret ombak. Jadilah sekuat karang ratusan tahun dihantam ombak, karang tetap berdiri dengan kokoh,” ucap Brama panjang lebar.
“Ara, aku tidak ingin berkata buruk tentang suamimu. Tapi kamu tidak boleh terlalu bergantung sama dia, kamu tidak tau pasti alasan apa dia menikahimu, untuk melindungimu, untuk menyayangimu, atau untuk keperluan lain. Dan yang pasti, apakah suamimu pernah mengatakan mencintaimu?” tambah Brama lagi.
Jantung Ara berdetak tidak karuan. Brama seolah mengerti dengan kegundahan hatinya. Menengok ke belakang, Ara belum pernah satu kali pun mendengar kalimat cinta yang diucapkan suaminya. Suaminya hanya mengatakan kalau suaminya menyayanginya.
“Apa cinta dan sayang itu beda?” tanya Ara memainkkan air dengan kakinya. Ara merasakan sejuk di kedua kakinya tatkala tersapu ombak kecil.
“Sayang itu seperti aku yang menyayangimu sebagai seorang adik, sepupu dan teman. Sedangkan cinta itu lebih luas lagi, saat hatimu berdebar-debar hanya menyebut namanya, saat kamu hanya ingin hidup dengannya, saat kamu akan melakukan apapun untuknya, dan saat kamu melakukan dia dengan sebaik mungkin, menghargai, rela berkorban, prioritas, dan masih banyak lagi,” ungkap Brama.
Farel tidak seperti itu, hari ini Farel bahkan rela mengusirnya. Ara tau kalau suaminya ada pekerjaan, tapi apakah iya harus mendorong istri.
“Mas, kalau Farel selingkuh, apa yang harus aku lakukan?” tanya Ara.
“Pilihan ada di tanganmu. Bertahan dengan hubungan toxic lalu dirimu yang kesakitan atau pergi tapi tidak bisa melihat orang yang kamu cintai,” jawab Brama.
“Farel tidak mungkin selingkuh, dulu dia sudah berjanji pada papa mamanya akan terus bersamaku,” ucap Ara terkekeh. Ara memupuk lagi rasa percayanya pada suaminya.
Farel pria baik, Farel selalu menuruti ucapannya, Farel juga selalu ada saat dirinya membutuhkan. Tidak mungkin Farel selingkuh dengan teman lamanya. Mungkin Farel yang tadi mendorongnya hanya karena pria itu sedang lelah.
Ara berjalan menyusuri pantai sembari memainkan air. Benar kata Brama kalau di sini sangatlah indah. Pohon bakau yang ada di pinggiran pantai membuat mata juga menjadi segar. Selama ini hanya dapur dan bahan makanan yang dilihat Ara, sekarang berada di sini membuatnya merasakan bebas.
“A … aku membencimu!” sebuat teriakan dari satu orang gadis membuat Ara heran. Juga gadis itu melempar sebuah botol ke lautan lepas.
“A … aku tidak akan mencintaimu lagi!” teriak gadis itu lagi.
“Mas Brama, ada apa dengan gadis itu? Kenapa dia berteriak di sini?” tanya Ara menunjuk gadis itu.
“Mungkin dia menanggung beban, tapi tidak ada yang bisa dia ajak berbicara. Maka jalan satu-satunya adalah berteriak di sini. Dia bisa berteriak sepuasnya hingga semua beban di pundaknya hilang,” jawab Brama.
“Kenapa harus di pantai?”
“Kesedihan, beban, dan segala kegundahan hati akan lebih ringan bila diceritakan pada orang yang dipercaya, dan bila tidak lagi ada yang bisa dipercaya, berteriak di sini adalah solusinya. Mungkin semua permasalahan akan hilang disapu angin dan ombak,” jawab Brama.
“Kalau kamu punya uneg-uneg, berteriaklah, siapa tau kamu akan lega,” ucap Brama lagi.
Uneg-uneg di hati Ara sangatlah banyak. Tentang apakah suaminya mencintainya, kenapa Farel tidak menyentuhnya, dan apa yang dilakukan Farel dengan Aleta.
“Berteriaklah!” titah Brama lagi mendorong bahu Ara dengan kencang. Karena Ara tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya, Alhasil Ara terjatuh di air yang membuat semua bajunya basah.
“Mas Brama!” pekik Ara dengan kesal. Sedangkan Brama malah terbahak-bahak melihat Ara yang basah kuyup. Ara bangkit, cewek itu gantian yang mendorong Brama dengan kencang, tapi tidak bisa membuat cowok itu tumbang.
Brama masih terbahak-bahak, sedangkan Ara terus berusaha mendorong Brama, “Mas Brama ngeselin!” pekik Ara menginjak kaki Brama.
“Ara, kamu kan belum mandi, Jadi mandi aja di sini,” ucap Brama balik mendorong Ara.
“Kyaa … jangan!” pekik Ara.
Byuuuurr!
Terlambat, Brama sudah menjatuhkan lagi Ara ke air. Setelahnya Brama berlari meninggalkan Ara, cowok itu berlari di pinggiran pantai. Ara tidak bisa tinggal diam, cewek itu kembali berdiri dan mengejar Brama sekuat tenaga.
“Masa Brama berhenti!” pekik Ara dengan kencang. Untungnya pinggiran pantai sepi pengunjung, membuat Ara tidak takut ataupun canggung.
“Mas Brama … aku akan ceburin Mas Brama ke laut!” pekik Ara lagi berteriak sekencang-kencangnya karena Brama sudah jauh darinya. Brama menolehkan kepalanya ke belakang, pria itu menjulurkan lidahnya pada Ara berniat mengejek. Ara makin berang, perempuan itu mengencangkan laju larinya.
Ara tidak pernah olahraga, jadi berlari sebentar saja sudah membuatnya merasa kelelahan. Ara berhenti, napas gadis itu naik turun. Karena kasihan, Brama pun mendekati Ara, pria itu menepuk-nepuk kepala Ara seraya tertawa terbahak-bahak.
“Ara, dari kejauhan kamu kayak anak umur lima tahun,” ucap Brama. Ara meninju perut Brama dengan kencang. Bukannya kesakitan, Brama malah makin terbahak-bahak. Ara meninju berkali-kali perut Brama saking kesalnya.
“Awww anak di perutku bisa matii kalau kamu pukul terus,” ucap Brama mengusap perutnya memutar. Ara hanya mendengus sebal.
“Bagaimana kalau kita beli baju di sana. Kamu basah gini nanti masuk angin,” ucap Brama merangkul pundak Ara. Ara melihat toko kecil yang ditunjuk Brama. Toko baju yang bermotif tie die.
“Baiklah,” jawab Ara. Mereka pun berjalan beriringan menuju toko itu. Kalau orang asing yang melihat, mereka lah pasangan suami istri yang sebenarnya. Brama tampak menyayangi Ara, terlihat jelas dari raut mata dan wajah pria itu.
Saat sampai di toko, Brama memilihkan baju yang cocok untuk Ara. Beberapa kali Brama menunjukkan baju pada Ara agar gadis itu ikut memilih.
“Nanti suamiku marah kalau celananya gak panjang, Mas,” ucap Ara saat Brama menunjukkan setelan baju yang celananya sebatas lutut.
“Ini sebatas lutut, Ara. Gak pendek-pendek amat, pakai itu saja,” ucap Brama memaksa. Ara menimang-nimang. Suaminya pernah berpesan kalau dia harus mengenakan celana panjang saat di luar, tidak boleh pendek karena yang boleh melihat kaki mulusnya hanya Farel.
“Tapi, Mas. Kalau Farel marah bagaimana?” tanya Ara yang takut dengan kemarahan suaminya,
“Aku yang akan bilang kalau di sini gak ada celana panjang,” jawab Brama. Mau tidak mau pun Ara segera membayar baju itu dan memakainya di ruangan ganti. Ara mematut dirinya di cermin yang ada di ruang ganti, wajahnya tanpa cela, cantik dan tampak anggun, tapi kenapa suaminya belum juga mengucapkan kalimat cinta?
Ara menggelengkan kepalanya, sejak dulu dia bersahabat dengan Farel. Farel pria baik, masih kah dia membutuhkan kalimat ungkapan cinta? Dalam hati Ara butuh, tapi logikinya selalu mengatakan kalau ia tidak butuh kalimat itu, melainkan butuh tindakan.
Setelah berganti pakaian, Brama mengajak Ara duduk di bawah pohon bakau sembari memesan kelapa bakar. Suasana ini baru pertama kali Ara lalui. Berada di tempat terbuka dengan orang lain selain suaminya. Tidak menunggu lama kelapa bakar pun jadi, Ara meminumnya dengan perlahan.
“Waahh … ternyata rasanya sangat enak,” ucap Ara menyesap lebih banyak air di kelapa bakar itu.
“Enak kan? Makanya jangan hanya di rumah saja,” ucap Brama.
“Kapan-kapan ajakin aku ke sini lagi, ya, Mas!” pinta Ara.
“Tentu saja,” jawab Brama dengan senang. Ara menyandarkan kepalanya di bahu Brama, perasaan Ara sudah membaik. Kini moodnya naik drastis, tidak pernah Ara bayangkan dia akan sampai ke pantai dan menikmati air asin itu. Rasanya sekujur tubuh Ara sangat segar, apalagi bau khas laut yang tercium di indra penciumannya, membuat dirinya merasa termanja. Belum lagi kelapa bakar yang saat ini dia minum.
Bukan hanya kelapa bakar, Brama juga membeli ikan. Penjual pun mempersilahkan Brama untuk membakar sendiri. Ara senang, cewek itu dengan semangat membolak-balik ikannya. Waktu terus berlalu begitu cepat, Ara melakukan segalanya. Melupakan bahwa pukul lima sore dia sudah harus di rumah untuk memasakkan suaminya masakan enak dan menunggu suaminya pulang. Ara seolah melupakan fakta itu, Ara masih asik membakar ikannya. Sesekali dia akan bercanda ria dengan Mas Brama.
“Awww panas,” pekik Ara saat tidak sengaja tangannya terkena alat bakar hingga membuat tangannya panas. Dengan spontan Brama menarik tangan Ara dan meniupnya.
“Panas,” ringis Ara. Brama terus meniupnya hingga tangan Ara merasa dingin. Ara melihat tangannya yang membekas luka berwarna keunguan.
“Biar aku yang bakar,” ucap Brama menggantikan Ara.
Di sisi lain, Farel tengah menendang pot bunga dengan kencang hingga terbalik. Saat pulang ke rumah, pria itu tidak mendapati sang istri. Sedangkan Aleta yang dia bawa pulang pun hanya diam melihat Farel.
“Sialann, dia pergi ke mana?” umpat Farel.
“Kenapa gak kamu telfon?” tanya Aleta.
“Mana hpku?” tanya Farel meminta hpnya yang dibawa Aleta. Aleta memberikannya. Sejak tadi hp Farel ada di tangan Aleta, karen Aleta sangat penasaran dengan segala privasi Farel. Dan dengan mudahnya Farel memberikannya pada Aleta.
Farel marah saat tidak mendapati sang istri di rumah. Farel tidak ingin Ara pergi melewati jam yang sudah dia tentukan, terlebih Ara sama sekali tidak mengatakan apa-apa padanya. Kilasan perlakuannya tadi siang memasuki otak Farel. Tadi Farel sudah berlaku kasar pada Ara.
“Apa perempuan itu marah?” tanya Farel sembari mencari kontak Ara. Matanya memicing saat melihat pesan Ara yang sudah terbuka.
“Kamu membuka pesan istriku?” tanya Farel menatap Aleta.
“Eh eh … iya. Tadi gak sengaja kebuka,” jawab Aleta.
“Kenapa tidak bilang sama aku? Aku sudah khawatir sejak tadi!” pekik Farel marah. Farel membaca pesan itu yang bertuliskan kalau Ara sedang ke pantai. Farel mendiall nomor tersebut, tapi sayang panggilannya tidak bisa tersambung.
“Kamu masih khawatir sama dia? Tandanya kamu cinta,” ucap Aleta.
“Aku gak cinta sama dia. Aku hanya tidak ingin dia kenapa-napa,” jawab Farel. Farel mencoba menelpon lagi nomor istrinya. Namun lagi-lagi tidak bisa tersambung.
“Sialann!” pekik Farel mengumpat kencang. Jantung Farel mulai berpacu cepat. Paru-parunya seakan terhimpit dengan kencang. Farel menarik napas dalam-dalam. Pikiran tentang Ara yang di pantai, bertemu banyak orang, lalu terluka membuat Farel tidak jenak. Farel kelabakan.
“Ara, cepat pulanglah!” ucap Farel masih mencoba menelpon Ara. Farel tidak suka keadaan seperti ini. Farel tidak mau ditinggal Ara, Farel ingin melihat Ara di sampingnya.
Melihat wajah pucat Farel membuat Aleta bingung, cewek itu mencoba mencekal bahu Farel, tapi Farel menepisnya dengan kencang.
“Rel, kamu kenapa?” tanya Aleta.
“Tidak bisa … aku tidak bisa berdiam diri di sini, aku harus nyari Ara,” ucap Farel.
“Farel, Ara sudah dewasa. Kalau dia ke pantai biarkan saja, pasti bisa jaga diri,” ucap Aleta.
“Tidak. Aku mau cari Ara saat ini juga. Pasti Ara marah sama aku dan berniat ninggalin aku. Aku gak mau ditinggal sendiri,” keukeuh Farel berlari menuju mobilnya. Aleta mengepalkan tangannya erat.