Hari-hari suram mendatangi Farel. Di mana tidak ada lagi gairah dalam hidupnya. Selingkuh memang sangat menyenangkan, apalagi Aleta jauh lebih baik dari Ara. Aleta tidak malu bersosialisasi di luar, sangat asik jika diajak bertemu orang banyak dan terlihat jelas kalau Aleta adalah perempuan berpendidikan. Prinsip Aleta, cara bicara Aleta dan segala tingkah Aleta tidak malu-maluin saat Farel ajak ke muka umum. Sedangkan dengan Ara, Ara bak anak itik yang hanya mengikutinya di belakang kemana pun dia pergi. Ara tidak mau bersosialisasi dengan banyak orang. Ara cenderung malu dan sering menarik-narik kaos belakangnya. Ara sangat tidak mencerminkan sikap seorang istri dokter, itu yang membuat Farel kurang nyaman kalau keluar mengajak Ara. Namun meski dia sangat bahagia selingkuh di luar, saat di rumah Farel merasa kehampaan, Farel merindukan kehangatan istrinya, Farel merindukan canda tawanya bersama Ara. Ara lebih pendiam, saat mengantar kopi untuknya saja Ara hanya mengusung senyum tipisnya. Hari ini Farel lembur, pria itu baru sampai di rumah pukul delapan malam. Biasanya saat dia lembur, Ara akan menunggunya di depan teras seraya memakai jaket tebal. Saat melihat mobilnya datang, Ara akan langsung berdiri dan menyambutnya seraya menarik tas kerjanya, mencium punggung tangannya, juga menanyakan apa kabar hari ini. Namun kini, saat Farel keluar dari mobilnya, kursi yang biasa Ara tempati itu kosong. Ara tidak ada di sana. Farel diam mematung. Saat selingkuh dia seolah sangat tidak membutuhkan istrinya, tapi saat samai di rumah, Farel sangat membutuhkan sosok yang sudah dia sepelekan.
“Rel, kamu lelah? Mau mandi pakai air hangat biar aku siapin.” Sepenggal kalimat yang biasa diutarakan sang istri pun terngiang di telinga Farel.
“Makanannya sudah matang. Biar aku angetin selagi kamu mandi.”
“Farel, capek banget, ya? Mau aku pijatin?”
Farel menggelengkan kepalanya mengenyahkan kalimat demi kalimat yang biasa Ara ucapkan. Farel menuju ke pintu, baru saja pria itu mengangkat tagannya untuk mengetuk, tapi dia urungkan kembali. Farel takut kalau istrinya sudah tidur dan ia mengganggu tidur lelap sang istri.
Di sisi lain, Ara menutup jendela kamarnya saat melihat suaminya pulang dengan selamat. Siapa bilang Ara tidak lagi menunggu suaminya? Ara masih setia menunggu, menanti suaminya pulang dari lembur. Bedanya Ara kini tidak menunggu di teras, melainkan di dalam kamarnya. Meski hati Ara sudah sakit dengan penghianatan Farel, tapi Ara tetaplah sahabat Farel. Ara tetap menganggap kalau dirinya sahabat suaminya, saat Farel tidak kunjung pulang, tentu saja perasaan khawatir itu akan ada. Ara dan Farel sudah bersama sejak mereka TK, hati mereka sudah menyatu, mereka sudah terbiasa sama-sama, saat ada apa-apa pun mereka sama khawatirnya.
Ara menuju ke ranjangnya, perempuan itu merebahkan dirinya dan menarik selimut sampai menutupi lehernya. Saat hati seseorang dilukai, itu tidak akan bisa dikembalikan dengan mudah. Bahkan mustahil untuk mengembalikan secara utuh. Perasaan Ara sudah diporak-porandakan oleh suaminya, mustahil kalau dia bersikap hangat dan tetap baik-baik saja. Ara bukan malaikat, dia hanya perempuan biasa yang masih banyak kekurangan. Tidak ada yang bisa Ara andalkan, bahkan kata orang-orang wajahnya sangat cantik, tapi tidak bisa membuat Farel terpesona.
Farel menuju ke dapur, di sana sudah ada makanan yang siap disantap. Farel meletakkan tas kerjanya di kursi, pria itu membuka tudung piring satu persatu. Makanan itu adalah makanan kesukaannya, tapi malam ini sekadar menyentuh makanannya pun, Farel sama sekali tidak minat. Namun kalau dia tidak memakan, Farel takut kalau sang istri makin kecewa. Farel mengambil nasi, sayur dan lauk yang sudah siapakan Ara. Pria itu makan dengan cepat agar bisa segera menemui sang istri.
Makanan yang biasa terasa enak, kini tampak sangat hambar. Biasanya Farel makan ditemani sang istri yang terus berceloteh ria, kini dia harus duduk sendiri. Entah sampai kapan ini akan terus terjadi.
Setelah makan, Farel menuju ke kamarnya. Pandangan pria itu jatuh pada Ara yang tengah meringkuk di sisi anjang sebelah kiri. Perempuan itu tampak damai. Langkah Farel dengan perlahan mendekati Ara, pria itu berjongkok untuk meniti wajah Ara yang sangat cantik. Farel tidak mengelak kalau Ara memang sangat cantik, tangan Farel menyapu kening Ara. Wanita di hadapannya dalah sahabat kecilnya, tumbuh dewasa bersama-sama hingga dia memutuskan untuk menikahi wanita itu. Hubungan dari sahabat menjadi suami istri tidaklah mudah, mereka melewati situasi canggung karena status. Namun tatkala semua sudah membaik, Farel menghancukan segalanya.
Farel menaikkan selimut Ara yang sedikit melorot, “Aku sudah mengingkari janji yang sudah aku buat sendiri. Tapi aku tidak ingin kamu membenciku, Ara,” bisik Farel dengan pelan.
“Aku ingin kamu bertahan, menemaniku di sisi ku, sama seperti sebelumnya. Aku menjadi dokter hewan itu juga karenamu, Ara. Kamu yang selalu mendukung pendidikanku, karirku dan selalu memberiku semangat. Aku tidak ingin kamu pergi,” ucap Farel mengelus pipi Ara.
Ara yang belum tidur pun menahan mati-matian agar dirinya tidak bersuara, juga agar air matanya tidak mendesak keluar.
Farel egois, Farel ingin dirinya bertahan, tapi Farel juga melukainya. Ara membenarkan apa yang diucapan Farel, dia lah yang mendukung Farel sejak mereka masih mengenyam bangku sekolah dasar.
“Kamu ingat, Ra. Saat kita bertamsya di bukit, kamu mengajaku naik ke puncak sampai aku kelelahan. Saat aku terjatuh, kamu yang meniup luka di lututku lalu kamu bilang semua akan baik-aik saja.” Farel terus mengoceh mengingat momen saat mereka bersekolah dasar. Namun kini semua berbanding terbalik, Ara yang dulu saat sekolah dasar membantunya berdiri dari jatuh, kini Ara adalah perempuan paling rapuh.
“Saat aku mulai berkarir, jatuh bangun telah aku lewati. Tidak jarang aku berada di titik terendah dalam hidupku, tapi aku selalu mengingat kamu, bahwa semua akan baik-baik saja. Aku berjanji pada diriku, bahwa aku akan selalu ada bersamamu, menyayangimu, dan membahagiakanmu, tapi aku tidak menepati janjiku, Ra,” ujar Farel lagi. Farel mencium kening Ara, meninggalkan kehangatan yang Ara rasakan. Farel mengerjapkan matanya menghalau air mata yang mendesak keluar. Bermonolog dengan dirinya sendiri membuat dadaanya terasa sesak.
Farel menuju ke kamar mandi, di sana ia melihat lipatan baju tidur yang sudah ditata rapi oleh sang istri di atas wastafel kering. Farel melangkahkan kakinya dengan pelan, di bathup juga sudah terisi air penuh. Saat memegang airnya pun tangan Farel terasa hangat.
Ara memang tidak menyambutnya saat tadi dia pulang, Ara memilih tidur terlebih dahulu. Namun Ara tidak serta merta meninggalkan kewajibannya menjadi seorang istri. Ara masih memasakkan makanan untuknya, Ara masih menyiapkan keperluan mandi dirinya.
Malam ini terasa dingin untuk Farel. Tanpa bercengkrama dengan Ara, tanpa kecupan dan dekapan hangat Ara, dia melewati malam yang terasa sunyi.
Sunyi, sepi dan terasa dingin juga dirasakan oleh Ara. Hati Ara terasa tersayat saat mendengar segala ocehan suaminya. Ara menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, perempuan itu yang pernah bertekad tidak akan menangis lagi pun kini menangis. Ara tidak yakin bisa bersama dengan Farel sampai mereka menua bersama. Belum juga rambut Ara memutih, Farel sudah memilih yang lain. Belum sempat mereka melakukan hubungan suami istri pada umumnya, Farel memilih berhubungan dengan orang lain.
Segalanya terasa indah saat pengantin baru, setelahnya hanya luka yang Ara dapatkan. Tangisan kali ini mengisi malam Ara. Tanpa canda tawa dan gombalan suaminya.
*****
Setelah mandi dan berganti pakaian, Farel merebahkan tubuhnya di sofa. Pria itu mengambil hpnya dan memainkan game online di sana. Istrinya menangis pun Farel tidak peka. Baru saja Farel bersedih beberapa menit yang lalu, tapi tampaknya pria itu kembali bahagia saat game online sudah ada di tangannya.
Farel mengundang Alka untuk main bersmaanya, tapi saat Farel klik tombol undangan, Alka langsung menolaknya dengan cepat. Farel mencoba mengundang lagi, tapi Alka lagi-lagi menolak undangannya. Biasanya Alka lah yang merengek minta diundang.
Farel tidak menyerah, giliran dia yang mengundang Ane. Sama seperti kembarannya, Ane memilih menolak undangan darinya.
“Sialan!” maki Farel saat adik-adiknya tidak berpihak padanya.
Panggilan suara masuk di hp Farel. Melihat namanya membuat Farel menimang-nimang, tadi dia sudah ditolak, sekarang adiknya malah menelfonnya. Karena Farel masih memiliki sisi kasihan dan kakak yang baik, Farel pun mengangkatnya.
“Hallo,” sapa Farel kepada adiknya.
“Jam segini masih main game?” tanya Alka dengan suara datarnya. Farel mengerutkan alisnya, nada bicara Alka tidak seperti biasanya.
“Alka, bukankah biasanya kamu ikut kakak main game jam segini?” tanya Farel.
“Sekarang aku gak sudi main game sama Kak Farel. Luka karena perselingkuhan kak Farel di depan mata saja belum sembuh di hati Kak Ara, tapi Kak Farel malah enak-enakan main game. Aku gak sudi!” oceh Alka dengan tajam. Farel menegang, pria itu mematikan sambungan telfonnya sepihak.
Farel menuju ke ranjang dengan tergesa-gesa, pria itu menyibak selimut Ara yang membuat Ara yang memang belum tidur langsung terkesiap.
“Rel, ada apa?” tanya Ara dengan bingung.
“Kamu sudah meracuni otak adik-adikku!” desis Farel dengan tajam. Farel menarik tangan Ara dengan kuat hingga membuat Ara tertarik ke arah Farel.
“Kamu baru sebentar keluar dengan Alka dan Ane, tapi kamu sudah mempengaruhi mereka. Ingat, Ara. Alka dan Ane adikku, jangan bicara sembarangan tentang aku sama mereka!” desis Farel lagi.
“Memangnya aku bicara soal apa, Rel?” tanya Ara yang mencoba untuk tetap tenang.
“Kamu bilang aku selingkuh.”
“Kamu memang melakukannya, Rel. Kamu melakukannya di depanku dan di depan adik kamu. Kenapa kamu malah menyalahkan aku? Kalau dicara siapa yang salah, jawabannya adalah kamu,” jelas Ara menepis tangan suaminya.
“Masalah apapun aku tidak pernah cerita ke siapapun, tapi mulut kamu yang menceritakan kekuranganku pada Aleta. Baik buruknya seorang istri, suamilah yang wajib ditanya, sudah benar kah dalam mendidik istri. Sekarang kamu tidak mengaca pada diri kamu sendiri dan limpahin kesalahan ke aku,” oceh Ara lagi lebih berani. Bahkan perempuan itu tengah menatap suaminya dengan tajam.
“Ternyata aku salah karena sudah menyuruhmu mandiri, Ara. Dengan mandiri kamu lebih bisa melawan suami,” ucap Farel mendorong tubuh Ara kuat hingga Ara terjatuh di ranjang.
“Apa aku harus diam saat kamu menindasku, Rel? Aku mengucapkan apa yang menurut aku benar.”
“Aku tidak mau mendengar apapun dari mulutmu. Perselingkuhan ini tidak boleh terdengar di telinga mamaku,” kata Farel dengan tajam.
“Jadi, ini yang katanya kamu tidak selingkuh? Hebat, saat ini kamu mengakui perselingkuhan kamu di depan istrimu sendiri.”
“Karena aku bosan denganmu, Ara!” teriak Farel dengan kencang. Jantung Ara bagai berhenti berdetak beberapa detik. Teriakan Farel menggema di telinganya, menusuk tepat di ulu hatinya.
“Aku bosan, Ara. Bosan dengan pernikahan seperti ini. Aku butuh hiburan, Ara. Tolong jangan mengeluh sampai aku tidak lagi bosan dengamu,” ucap Farel yang kata-katanya terdengar sangat menyakitkan.