Luka, kepedihan, seolah tiada hentinya Ara hadapi. Seolah masih belum cukup untuk menghukum keegoisannya. Hingga seseorang memanggil-manggil namanya. Ara merasakan tubuhnya bagai terguncang dengan kuat. “Ara, Ara bangun, Ara!” teriakan itu terdengar jelas di telinga Ara. “Ara, bangun!” satu teriakan lebih kencang berhasil membuat Ara terbangun. Ara gelagapan dan segera membuka matanya. napas Ara terasa terengah-engah, matanya terasa panas tatkala merasakan lelehan air mata itu keluar dari pelupuk matanya. “Aku pingsan di batu nisan Farel,” cicit Ara. “Batu nisan apa, Ra? Suamimu masih hidup dan sekarang menanti kedatangan kamu,” ucap Ria menepuk pipi menantunya. “Ma, Farel sudah meninggal,” ucap Ara yang kini mulai menangis. “Ara, kamu mimpi buruk?” tanya Ria yang bingung. Tadi