Debat itu seakan tak berujung, dua pria dengan ego mereka yang tak tertundukkan, bertukar kata tajam seperti dua pedang yang terus beradu. Di tengah-tengah badai kata-kata itu, Sela hanya bisa diam, kepalanya tertunduk dalam ketidakberdayaan. Ia merasa tubuhnya semakin menciut, terperangkap di antara dua pria yang seolah-olah sedang memperjuangkan sesuatu yang tak pernah ia minta untuk diperebutkan. Di dalam hatinya, Sela bertanya-tanya, mengapa hidupnya harus terjebak di antara pertarungan ini? Mengapa nasibnya seakan dikendalikan oleh tangan-tangan kasar yang tak memberinya pilihan? Bibirnya terkatup rapat, menahan desakan tangis yang ingin pecah, namun ia tetap diam—karena di dunia ini, kata-katanya selalu tenggelam di antara suara keras laki-laki yang saling berteriak. Ketika perdeba