Pulang

1892 Kata
Indah mengucek kedua matanya yang terasa bengkak. Yah, semalaman dia menangis. Tapi ia sudah berjanji pada dirinya, setelah malam ini, tidak akan ada lagi air mata. Toh, sederas apapun ia menangis, tidak akan mengubah keadaan kan? Memang benar apa kata orang, hidup adalah pilihan. Dan saat ini ia dihadapkan dalam pilihan sabar atau meratapi takdir. Hasil dari dua pilihan itu sama. Suaminya telah menikah dengan Kinan. Namun, manfaat dua pilihan itu berbeda. Jika ia memilih meratapi, manfaatnya apa? Dapat dosa, depresi, sakit, dan sejumlah keruwetan lainnya siap menanti. Ah, dan jangan lupakan tugas-tugas kuliahnya juga yang kian menumpuk. Dan jika ia memilih sabar, mungkin memang sedikit menyakitkan. Tapi setidaknya dengan sabar, ia bisa mendapat manfaat lebih. Dapat pahala mungkin? Atau berpikir bahwa hidup bukan hanya di sini. Ada kehidupan setelah kematian. Semoga saja dengan sabar ini, ia bisa meraih kehidupan yang bahagia setelah kematian. "Ndah, kamu mau pulang sekarang?" Suara Halwa membuyarkan lamunan Indah. Ya, semalam ia menginap di apartemen Halwa. Dia sudah meminta ijin ke Ayyas bukan? Terlepas apa pria itu membaca pesannya atau tidak. Ah, sudahlah, lebih baik Indah bersiap membersihkan diri dan segera pulang. "Aku mandi dulu." "Mau pakai air hangat?" "Tidak perlu. Air dingin lebih segar." "Ya sudah, nanti kita sarapan di luar saja." Indah mengangguk. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Guyuran air dingin dari shower membuatnya lebih segar. Beruntung, ia memiliki sahabat seperti Halwa. Saat terpuruk begini, Halwa selalu ada buatnya. Bahkan gadis itu meminjamkan baju untuk Indah. Yah, Indah masih memakai baju yang semalam dipakai. Halwa sudah menunggunya di depan. Gadis itu sudah siap dengan mobilnya. Halwa ini anak orang kaya. Segala fasilitas mewah sudah ia dapatkan sejak kecil. Orang tuanya pebisnis yang sukses. Mereka sangat sibuk. Hingga Halwa sering kehilangan kebersamaan dengan orang tuanya. Dan untuk mengobati rindunya pada orang tua, Halwa sering main ke rumah Indah. Halwa terbiasa sendiri. Bahkan sejak SMA, ia sudah tinggal di apartemen sendirian. Dan tak jarang Indah ikut menginap di sana. "Sorry ya, lama nunggu," ucap Indah. "Udah biasa, ayo!" Indah memasang cengiran khasnya. Memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. Mereka makan di caffe dekat kampus. Suasana masih sepi. Masih pagi, kampus baru akan ramai sekitar jam 7an. "Kamu yakin akan pulang ke rumah?" Halwa memulai pembicaraan. Indah mendongak, "iya, kemana lagi, gak mungkin kan kalo aku nginep di apartemen kamu terus?" "Ck, iyalah. Bagaimana pun, kamu udah nikah. Takut dosa juga kalo aku biarin kamu lari kayak gini." "Aku bukan lari, Wa. Cuma ya, bayangin mereka malam pertama aja, bikin nyesek banget." "Beuh, kalo aku jadi kamu, udah kutinggalkan tuh Ayyas, peduli amat sama penjelasan dan segudang rayuan gombalnya dia." "Aku sayang dia, Wa. Aku gak bisa bayangin kalo hidupku harus pisah dari dia," jawab Indah sambil mengaduk teh manis hangatnya. "Hm, susah ya, kalo udah jadi bucin mah." "Kamu sih, gak ngerasain gimana jatuh cinta." "Siapa bilang, aku juga pernah," mata Halwa sedikit menerawang. Membayangkan deretan pria yang pernah dia sukai. Banyak ternyata, haha. "Tapi kan belum jadi suami, Wa." "Emang beda?" Kening Halwa sedikit berkerut. "Iyalah, Wa. Beda banget tahu, bahkan sama suami tuh deketnya melebihi sama orang tua." "Masa sih? Perasaan gak gitu-gitu amat sama cowok." "Makanya, kalo mau tahu rasanya, nikah gih!" "Emoh ah, ntar pilih-pilih dulu, takut kecolongan kayak kamu." "Gak semua kayak gitu juga, Wa." "Eh, kamu pernah gak sih nyesel udah nikah sama Ayyas?" "Ish, jangan ngomong gitu!" "Ya kan kesel aja sama Si Ayyas, kayak kamu gak ada cowok lain lagi. Tuh Hadziq aja sampai sekarang kayak masih suka sama kamu. Ah, atau Angga yang terang-terangan bikin puisi lebaynya buat kamu, pake bilang mau nungguin jandanya kamu." "Dih, nyebut, Wa. Sejuta pria keren buatku gak ada guna, tetep aja balik ke suami lah," jawab Indah dengan sedikit kesal. Bibirnya maju beberapa senti. Ya, ya, ya, Indah akui, atas nama rasa manusiawi, sesal memang ada. Tapi rasa sesal itu buru-buru ia musnahkan. Halwa tertawa, ia tahu, rasa sesal itu pasti ada. Manusiawi kali ya, apalagi Indah termasuk gadis yang famous sejak SMA. Banyak yang suka. Bahkan ada dosen mereka yang terang-terangan menunjukkan rasa sukanya pada Indah. "Eh gak kerasa kita ngobrol di sini, sudah siang ternyata. Ke kelas yuk, kali aja anak-anak udah pada nongol." "Oke, eh, tapi jangan ada satu pun yang tahu kalau Ayyas menikah lagi." "Iya, Nona Indah, aku akan kunci mulutku rapat-rapat," jawab Halwa sambil mengatupkan bibirnya. Lalu merangkul bahu Indah. Mereka masuk ke kelas saat beberapa mahasiswa lain sudah duduk di kursi mereka. Yah, beginilah rutinitas mahasiswa tingkat 3, masih berkutat dengan materi sambil mempersiapkan pengajuan judul skripsi. *** Yang pertama kali Indah lakukan saat sampai rumah adalah menyisir semua ruangan. Ia tidak bisa munafik, jika di relung hatinya ada kerinduan yang amat sangat pada Ayyas. 2 tahun kebersamaan mereka cukup menanam nama Ayyas dalam hatinya. Indah menatap kamar mereka dengan tatapan getir. Ia sungguh tak menyangka, perjalanannya akan melalui hal seperti ini. Oh, ayolah, gadis mana pun saat mereka menikah untuk pertama kalinya, tak ada bayangan akan berbagi cinta suaminya dengan yang lain. Harapannya pasti sama, bahagia berdua hingga ke syurga. Indah menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia lantas memilih tidur di kamar kedua, yang awalnya direncanakan untuk kamar anak mereka kelak. Meski ia tidak menjalankan program KB, tapi sampai saat ini, Yang Maha Kuasa belum memberikan titipan buah hati pada rahimnya. Indah memang menginginkan anak, tapi ia tidak pernah mengeluh jika sampai saat ini ia belum memiliki buah cinta dengan Ayyas. Indah selalu yakin, Tuhan memberikan yang terbaik dalam hidupnya. Usianya juga masih muda, berhubung ia menikah saat keluar SMA. Ya, nikah muda, dijodohkan. Itulah yang ia alami. Kamar yang akan ia tempati sangat bersih. Mengingat dirinya dan Ayyas sering membersihkannya sambil bermimpi kelak anak mereka akan seperti apa. Tapi sekarang... Ah, sudahlah. Indah memilih memindahkan beberapa barang miliknya dari kamar utama. Bukan apa-apa, Indah tahu Ayyas masih menikmati masa pengantin barunya. Meskipun tidak mungkin mereka akan kemari, tapi Indah mempersiapkannya. Selesai berbenah, kamar kedua itu ia sulap menjadi kamarnya yang sangat nyaman. Indah tersenyum puas dan mengambil laptop dari tasnya. Mulai mencari referensi untuk pembuatan makalah yang menjadi tugasnya. Saat tangannya sibuk mengetik, bel pintu masuk berbunyi. Indah bangkit dan menggeliat pelan, satu makalahnya selesai. Mata Indah agak terkejut, tapi kemudian bibirnya memasang senyum lagi. "Kinan? Apa kabar?" "Hai, Indah? Maaf ya, aku bikin kamu nunggu sendirian di sini. Maklumlah, kami masih pengantin, jadi masih asyik berduaan." Indah sedikit menelan ludah, lalu tersenyum, "ah ya, tentu saja. Aku mengerti. Gak apa-apa, kok. Mari masuk! Mas Ayyas mana?" Mata Indah mencari sosok Ayyas. Tapi tak ia temukan. Kinan datang seorang diri. "Mas Ayyas lagi beli s**u hamil buatku. Tadinya sih, dia nyuruh aku buat nunggu di rumahku, tapi karena Mas Ayyas bilang nanti mau kesini, ya udah, aku juga ke sini aja, soalnya dia beli s**u aja lama banget." "Oh, begitu. Apa Mas Ayyas tahu kamu kesini?" Kinan masuk dan merebahkan badannya di sofa. Lalu mengambil remote dan menyalakan televisi. Mungkin karena statusnya yang sudah berubah jadi istri kedua Ayyas yang membuat Kinan bertingkah layaknya tuan rumah. "Dia gak tahu. Biarinlah, lagian sih, lama banget, aku bilang pengen ikut beli susunya, eh malah gak boleh. Ya udah, aku tinggalkan dia." Indah ikut duduk di sofa, "apa nanti dia gak nyariin kamu?" Tangan kanan Kinan memberi isyarat kepada Indah agar gadis itu mengambilkan air minum. "Tahu ah, dia gak ngerasain sih, nunggu itu membosankan. Kamu tahu? Waktu abis nikah aja, besoknya dia langsung kerja. Ih, ngeselin, padahal kan masih kangen tahu?" Indah memberikan segelas air putih pada Kinan, "masa sih? Terlalu ya dia? Emang gitu kalau Mas Ayyas, kadang suka gila kerja juga." Kening Kinan berkerut, "kok air putih sih, Ndah? Aku mau teh aja." "Oh? Bukannya teh itu gak baik buat ibu hamil?" "Halah, biarin, sedikit kok, gak akan ngaruh." "Tapi..." "Daripada anakku ileran nantinya? Kamu juga kan yang disalahin sama Ayyas?" "Oh, gitu ya? Ya udah, biar aku ambilkan." Indah bangkit dan segera membuat teh manis sesuai keinginan Kinan. Entahlah, meski ia tahu kalau Kinan pernah berkhianat dengan suaminya, tapi melihat perut rata Kinan yang konon berisi bayi itu, membuat Indah melupakan sakit hatinya. Ia malah tak sabar ingin melihat bayi itu nanti. "Nih," Indah memberikan pesanan Kinan. Gadis itu langsung menghabiskannya sekali tegukan. Kinan menatap Indah lama, "Ndah." "Ya? Ada yang kamu mau lagi?" "Aku boleh nanya gak?" "Boleh, apa?" "Kamu cinta sama Ayyas?" "Tentu saja, dia suamiku. Kenapa memangnya?" Kinan menatap Indah ragu, dengan hati-hati Kinan melontarkan pertanyaan lagi, "apa kamu tidak cemburu pada kami?" Bibir Indah bergerak, "aku.." "Assalamualaikum! Hei, kamu di sini rupanya!" Indah dan Kinan menoleh ke sumber suara. Ayyas menatap kedua istrinya bergantian. Wajahnya nampak sedikit kesal. "Maaf, Mas. Habisnya kamu kelamaan sih! Kan bosan, ya udah, aku kesini aja." Ayyas menggelengkan kepalanya, "kamu tahu? Tidak baik bepergian sendirian saat hamil muda seperti ini. Kalau kamu jatuh gimana?" Melihat perhatian Ayyas pada Kinan, hati Indah sedikit tercubit. Ya, hanya sedikit. Sebab, ia tahu diri. Sangat. Bahwa Kinan lebih butuh perhatian dari Ayyas dibanding dirinya. Indah sehat kan? Jadi dia bisa jaga diri sendiri dengan baik kan? Ayyas melihat gelas berisi teh celup bekas di depan Kinan. Lalu menatap Indah, "kamu beri dia teh manis?" "Iya," jawab Indah dengan sedikit gugup. Jujur saja, saat ini ia merasa Ayyas tiba-tiba saja menjadi orang asing baginya. Entahlah. "Kenapa kamu kasih dia teh manis? Kan gak baik buat kandungannya?" Demi apapun, baru kali ini Indah merasa jadi orang paling terpojok sedunia. Seumur hidup, keluarga besarnya memposisikan Indah layaknya putri. Dan karena Indah termasuk anak baik dan penurut, tak pernah ia dipojokkan seperti saat ini. Mungkinkah Indah berubah jadi cengeng sekarang? Dengan susah payah, Indah menjawab tanpa melihat ke arah Ayyas, "itu... Kinan yang mau kok, aku takut dia ileran kalo gak diturutin." Ayyas menghela nafas. Kebiasaannya saat menahan amarah. "Lain kali, kalau dia minta yang bikin bahaya jangan dikasih, oke?" "I-iya," suara Indah mengecil. Entah kenapa tenggorokannya tiba-tiba saja terasa kering. "Ka-kalau begitu, aku ke belakang dulu," ucap Indah sambil melihat ke arah Kinan. Ia belum sanggup melihat Ayyas. Lebih baik tak melihatnya daripada ia berubah makin cengeng. "Ya, makasih ya, Ndah?" "Ya, sama-sama." Buru-buru Indah pergi, tapi saat ia akan naik tangga menuju kamarnya, Indah berbalik lagi, "kalau kalian mau istirahat, kamarnya udah aku siapin." Lalu ia pergi dan menghilang di ujung tangga. Selepas Indah pergi, Ayyas berdiri mematung. Indah tidak melihat ke arahnya! Ya, gadis itu tidak menatapnya! Apa dia salah bicara? Mata Indah menghindarinya, Indah seperti... gadis 3 tahun lalu saat awal mula Ayyas melihat Indah di rumah kolega bisnis ayahnya. Sejak saat itu, Ayyas merasa tertarik dan meminta pada ayahnya agar dijodohkan dengan Indah. Pasti ada yang salah. Ya, pasti. Ayyas meraba dadanya sendiri. Ada rasa takut di sana. "Mas, kenapa diam? Ayo buatkan s**u hamil untukku!" Kinan merajuk dan menarik-narik lengan Ayyas dengan manja. "Nanti kubuatkan, tunggu di sini," jawab Ayyas tanpa menoleh, tatapannya tertuju pada ujung tangga. Ayyas segera naik dan menatap pintu kamar kedua yang tetutup. Lalu tatapannya beralih pada kamar utama yang biasa mereka gunakan selama ini. Kamar utama terbuka. Rapi sekali. Wangi pula. Apa Indah ingin menyiapkan ini untuk b******a dengannya malam ini? Ayyas tersenyum, apa Indah merindukannya? Ah, manisnya. Mungkin Indah sedang di kamar mandi. Bersiap-siap sepertinya. Seketika Ayyas melupakan Kinan yang menunggunya di bawah. Hingga Kinan sudah berdiri di depan pintu kamar. "Mas, kok kesini? Bukanya mau bikinin aku s**u?" Ayyas menoleh, lalu mengusap wajahnya, ia hampir lupa jika ada Kinan sekarang. Kinan masuk dan melihat-lihat, "Mas, kamarnya bagus sekali, sangat rapi dan nyaman. Ah, lemarinya juga bagus, masih kosong ternyata." Ayyas terkejut, "apa? Kosong?!" "Iya, lemari yang satu ini masih kosong. Apa mungkin Indah siapkan untukku?" Tanpa bicara, Ayyas bergegas keluar dan menuju kamar kedua yang tertutup rapat. Bodoh! Kenapa dia tidak menyadari jika kamar kedua yang selalu terbuka kini tertutup rapat?! Tok-tok-tok "Indah! Sayang, apa kamu di sana?" Hening, tak ada jawaban. "Indah, jawab sayang, kumohon! Buka pintunya!" Ayyas melorot di depan pintu kamar. Apa maksud Indah? Apa gadis itu minta pisah kamar?! Tidak mungkin jika gadis itu minta pulang ke rumah orang tuanya kan? Bukankah pernikahan ini terjadi agar Indah dan dirinya tidak berpisah?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN