Dewasa

1696 Kata
Mendengar Ayyas yang berkali-kali memanggil namanya, Indah masih diam. Mati-matian ia menahan diri agar tidak menangis. Dia sudah berjanji kan, bahwa tidak boleh ada lagi air mata. Indah bangkit dan berjalan untuk membuka pintu. Wajahnya dibuat selelah mungkin. Saat pintu terbuka, Ayyas berdiri di depan pintu dan menatapnya cemas. "Akhirnya kamu buka juga, kamu ngapain di dalam sayang?" Ayyas meraih pinggang Indah dan memeluknya erat. Indah tak munafik, ia juga rindu Ayyas. Rindu semua tentang Ayyas. Dan pelukan hangat ini adalah pelukan pertama setelah Ayyas menikah dengan Kinan. Indah pura-pura menguap, "aku ngantuk, Mas. Jadi aku tidur lebih dulu tadi. Maaf, gak pamit sama kamu dan Kinan." "Kenapa tidur di sini? Kamar kita bukan yang ini. Ayo kita pindah!" Tangan Indah menahan Ayyas yang merangkulnya, hendak membawanya keluar dari kamar. "Kenapa?" "Mas! Kamu di--" teriakan Kinan terpotong saat dia melihat Ayyas yang sedang memeluk pinggang Indah dengan posesif. Indah melepaskan tangan Ayyas dari pinggangnya. Pria itu menatap Indah dengan tatapan kehilangan. "Kinan butuh kamu. Kita tidak mungkin tidur bertiga kan? Pergilah! Aku gak apa-apa. Lagian aku sangat lelah hari ini. Kegiatan di kampus sangat banyak." Kinan meraih lengan kekar Ayyas dan menariknya keluar dari kamar. "Ayo, Mas! Kita tidur! Aku ngantuk. Indah juga kayaknya mau istirahat. Ya kan?" Ayyas tersenyum ke arah Kinan. Entahlah, Kinan sangat manja. Ayyas bahkan baru tahu jika Kinan senang sekali merajuk. Apa ini bawaan bayinya? Atau memang sifat asli Kinan seperti itu? "Kamu duluan ya? Ada sesuatu yang harus aku bicarakan dengan istriku dulu." Mata Kinan langsung berkaca-kaca. "Mas, kenapa kamu bilang kayak gitu? Aku juga istri kamu! Ingat itu!" Ayyas menghela nafas, "Kinan, maksudku, aku harus bicara dengan Indah. Kamu masuk kamar duluan. Nanti aku nyusul. Oke?" "Tapi, Mas..." "Kinan, dengar! Aku menyuruhmu tidur karena aku menyayangi kamu dan bayi kita. Kamu harus istirahat yang banyak, agar kamu tidak kelelahan. Ya?" Setelah mendengar penjelasan Ayyas, senyum Kinan melebar, dengan manja dia mengecup pipi Ayyas tanpa permisi. "Aku tunggu ya, Mas. Selamat malam, Indah!" Indah hanya membeku. Pemandangan ini sungguh sedikit.... apa ya, menyakitkan mungkin? Entahlah, Indah memang sudah memperkirakan semua yang akan terjadi setelah mengijinkan Ayyas mendua. Sebutlah dia korban sinetron, sebab ia membayangkan semua yang akan ia alami persis seperti di sinetron. Hanya endingnya yang ia tak mau. Misalnya suaminya kecelakaan, mati, struk, atau... tobat. Sayangnya ia tak mengharap satu pun terjadi pada suaminya. Toh, Ayyas menikah atas persetujuannya bukan? "Sayang, malam ini kita tidur di sini," ucapan Ayyas membuyarkan lamunan Indah. "Apa? Tapi Kinan..." "Dia pasti sudah tidur, ayo!" Ayyas merangkul Indah dan membawanya ke atas kasur. "Mas, bagaimana kalau Kinan butuh sesuatu atau..." "Ssh, sudah. Cukup, jangan terlalu memanjakan dia. Aku tidak suka. Sekarang ayo obati rinduku malam ini juga." Indah berhenti protes saat Ayyas mulai meminta haknya. Meluapkan segala kerinduannya selama beberapa hari terakhir. Entah perasaan Ayyas atau bukan, tapi pria itu merasa Indah seperti sedang membuat jarak. Ah bukan, tapi tepatnya Indah seperti sedang mengurangi kadar ketergantungan padanya. Jika dulu Indah suka meminta tolong padanya tentang hal-hal kecil, tapi sekarang tidak lagi. Sejujurnya Ayyas sangat suka jika Indah tergantung padanya. Dan dengan Indah yang seperti ini membuatnya sedikit kehilangan. Ayyas merapikan rambut Indah setelah mereka selesai meluapkan kerinduan. Mengecup kening Indah sangat lama. "Terima kasih, sayang." Indah tersenyum, "sudah kewajibanku." Ayyas menatap Indah penuh cinta, lalu memeluk istrinya lagi hingga Indah nampak tertidur dalam pelukannya dengan nyaman. Jika saja waktu dapat diputar kembali, ingin rasanya ia hanya hidup berdua saja dengan Indah. Tanpa ada Kinan atau yang lainnya. Pandangan Ayyas beralih pada ponselnya yang menyala. Yah, Ayyas tahu sejak mereka masuk kamar, ponsel itu terus menyala. Hanya saja, ia abaikan. Ia terlalu rindu pada Indah. Hingga ia tak rela ponsel menjadi pengganggu bagi kebersamaan mereka. Ayyas bangun dan membuka ponselnya. Kinan. Ya, istri keduanya yang menelpon hampir lima menit sekali. Beginilah pengaruh Indah dalam diri Ayyas. Sangat besar. Jika Ayyas telah bersama Indah, maka seakan ia lupa pada dunia. Semua perhatian dan pikirannya berpusat pada istri cantiknya ini. Ayyas akan mengabaikan apapun saat Indah sedang bersamanya. Ah, Indah memang telah berhasil membuat Ayyas jatuh cinta berkali-kali setiap melihatnya. Ayyas lalu mengenakan pakaiannya kembali. Ditatapnya Indah yang tengah tidur pulas, lalu ia kecup keningnya lama. "I love you, honey," bisiknya pelan. Lalu beranjak keluar kamar. Tanpa sepengetahuan Ayyas, Indah membuka matanya. Ia menghela nafas. Indah menatap pintu yang sudah tertutup. Ya, ini yang namanya berbagi. Setelah dirinya, ada Kinan yang menunggu Ayyas. Indah mulai mengabaikan semua perasaan cengeng yang setiap hati menggerus ketenangannya. Ia akan menulikan diri dari hal-hal yang membuatnya lemah. Benar, Indah harus bisa bersikap dewasa. Meski Kinan usianya jauh di atas dirinya, tapi kedewasaan itu tidak memandang usia bukan? Jika Kinan merajuk seperti semalam, biarlah dirinya yang mengalah dan bersikap dewasa. Toh, hidup bukan sekedar tentang merengek manja pada pasangan kan? Indah menatap jam dinding. 00.30. Sudah masuk dini hari. Mungkin lebih baik dirinya mandi dan bercengkrama dengan Sang Pencipta. Kenikmatan hamba yang sangat besar adalah saat sepetiga malam terakhir bermunajat pada-Nya. Mengadukan semua yang ia rasakan dan yang ia alami pada Dzat Yang Menguasai Jiwanya. Orang bilang, jika tidak ada bahu untuk bersandar, maka masih ada sajadah untuk bersujud. Tapi bagi Indah tidak demikian. Justru bersujud di atas sajadah adalah prioritas utama. Dan jika ada bahu yang bisa ia jadikan sandaran, itu adalah bonusnya. *** "Aku gak mau makan itu, Mas. Enek lihatnya!" Kinan kembali merengek saat pagi hari. Indah memasak sayur dan goreng ayam. Ia pikir mungkin ini baik untuk ibu hamil. Tapi nyatanya, Kinan menolak makan sama sekali. Dan tentu saja malah membuat Ayyas khawatir. "Makan dong, kasihan bayinya nanti, ya?" "Gak mau, aku mau yang lain aja. Eh Indah, kamu bisa kan masakin yang lain? Aku mau udang asam manis. Yang pedas ya?" Indah yang sedang makan, tak jadi menyuapkan makanannya. Ia menghela nafas pelan, "tapi udang tidak ada, Kinan. Nanti sore aja ya? Saya belum belanja lagi soalnya." "Mas lihat! Indah tidak mau menuruti kemauan bayi kita." Ayyas diam. Entah apa yang dipikiran pria itu. "Kinan, saya janji sore saya buatkan ya? Soalnya saya hari ini harus ke kampus." "Mas, ngomong dong! Kalau anak kita ileran gimana? Siapa yang malu nanti, kamu kan?" Ayyas masih diam. Tidak merespon. Ia hanya menatap Kinan dan Indah bergantian. Indah akhirnya bangkit dan keluar dari ruangan. Kesal pasti, tapi ia tahan. Apa ibu hamil memang semenyebalkan ini ya? Saat Indah berjalan ke arah pintu keluar, dirinya sangat berharap Ayyas memanggilnya, atau menahannya. Tapi ternyata harapannya hanya mimpi. Ayyas membiarkan Indah pergi keluar sendiri. Jangan cengeng! Jangan cengeng! Indah merapal doanya dalam hati, agar ia tak dihinggapi sifat cengeng yang memang lama melekat sejak ia kecil. Ya, dulu dirinya memang gampang sekali menangis. Tapi tidak untuk sekarang. Ia harus lebih dewasa bukan? Indah mengelus dadanya lalu mengambil jaket dan kunci motor. Pasar sudah ramai pagi ini. Pasar tradisional memang sibuk di jam pagi. Yah, banyak warung-warung yang berbelanja dari sejak dini hari. Mata Indah mencari pedagang ikan laut. Bibirnya membentuk senyum saat melihat apa yang ia cari. "Saya satu kilo, Bang!" "Saya satu kilo, Bang!" Indah menoleh pada seseorang yang sama pesan udang dengan dirinya. Si pedagang kebingungan, "aduh, ini sisanya cuma satu kilo." "Buat saya saja, Bang. Saya sangat butuh udang itu." "Tapi saya juga butuh udang itu, saya mohon buat saya ya, Bang?" Indah memaksa. Sebab pedangan ikan laut yang ada udangnya cuma ini. Yang lain pada kosong. "Aduh, Mbak sama Masnya berbagi aja ya? Satu kilo dibagi dua, gimana?" "Setuju." "Setuju." Pedagang itu tersenyum, "wah, Mas sama Mbaknya ngomong barengan mulu dari tadi. Kayaknya jodoh deh!" "Apa sih, Bang?" Pria yang berebut udang dengan Indah tersenyum dan Indah sadar jika pria ini sedang melirik dirinya. Astagfirullah, pria ini tidak tahu kalau Indah sudah bersuami. Setelah mendapatkan udangnya, Indah segera meninggalkan tempat itu. Ia harus cepat, hari ini ia harus ke kampus. Mungkin lain kali sebaiknya ia terima saran Ayyas untuk mempekerjakan asisten rumah tangga. Bibir Indah mengucap hamdalah saat motornya tiba di depan rumah. Saat membuka pintu, Indah tertegun sesaat. Telinganya mendengar tawa di dalam sana. Ayyas dan Kinan sedang bercengkrama atau bercanda, ah atau b******a mungkin? Jangan cengeng! Jangan cengeng! Lagi-lagi Indah merapal doanya dalam hati. Ia berusaha untuk tetap tenang. Ia tak berhak marah. Mereka suami istri kan? Dan bukan perselingkuhan yang melanggar aturan. Indah menahan nafas saat melihat Kinan yang sedang bergelayut manja di pangkuan Ayyas. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. Sungguh, jika bisa, ingin sekali ia memindahkan dapur ke tempat lain, hingga ia tak perlu melihat pemandangan ini. "Sayang, kamu udah pulang?" Indah hanya mengangguk dan berjalan menuju dapur. Tujuannya adalah memasak udang. Jadi ia tak boleh memikirkan hal lain. "Indah, maaf ya, aku rasa bayiku sekarang tak mau udang. Aku malah udah makan kok, Mas Ayyas yang nyuapin tadi." Gerakan tangan Indah berhenti. Ia mengatur emosinya, menarik nafas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Ia berbalik dan memasang senyum, "oh ya? Ya sudah, saya juga harus siap-siap ke kampus." "Indah, kamu gak makan dulu?" Ucapan Ayyas tak menghentikan langkahnya. Indah terus berjalan melewati dua manusia yang sukses membuat moodnya naik turun pagi ini. Ayyas melepas pelukan Kinan dan beranjak menghampiri Indah. Tapi langkahnya terhenti saat bel pintu masuk terdengar. Ayyas berbalik arah hendak membuka pintu. Tapi Indah menahannya. "Biar aku aja, Mas. Kasihan Kinan kamu tinggal sendiri." "Sayang, tapi..." Indah membuka pintu dan sedikit terkejut melihat seseorang yang di depan pintu. "Kamu....?" "Hai, kita bertemu lagi. Saya cuma mau mengembalikan ini." Ya, pria yang berebut udang dengannya. Ah, Indah tak sadar telah menjatuhkan dompetnya di pasar tadi. Beruntung pria ini menemukannya. "Terima kasih, Mas..." "Fadhil. Nama saya Fadhil." "Ah, ya. Saya Indah." "Saya sudah baca di indentitas kamu. Maaf, lancang. Tapi saya perlu alamat pemilik dompet ini." "Ya, tak apa. Sekali lagi terima kasih." "Sama-sama. Kalau begitu, saya pamit." "Ya, apa yang bisa saya lakukan untuk membalas kebaikanmu?" "Tidak masalah, itu bukan hal yang besar." Indah tersenyum menatap kepergian Fadhil. Ia tak sadar jika Ayyas berada di belakangnya saat ini. "Oh, jadi ini yang kamu lakukan?! Menyuruhku menikahi Kinan. Sedang kamu berhubungan dengan pria lain?!" Indah terkejut tentu saja, "Mas, dia hanya mengembalikan dompetku yang terjatuh!" "Omong kosong! Kalian tadi pasti jalan bersama kan?" Kinan muncul dari dapur, "Indah, aku gak nyangka kamu kok berbuat kayak gitu!" Ambyar sudah, pertahanan Indah yang dibangun dengan susah payah. Indah memang tidak menangis, tapi ia tersinggung dengan ucapan Ayyas dan Kinan. Indah menatap Ayyas dan Kinan dengan kilat amarah. Hingga Ayyas terkejut melihatnya. "Kamu! Ya, kamu. Aku sudah menahan diri agar bersabar menghadapimu! Baik, jika kamu ingin aku marah! Aku pergi!" Indah menyambar jaketnya lagi dan menyalakan motor lalu meninggalkan Ayyas dan Kinan. Ayyas kehilangan kata-kata. Indah marah, Indah marah. Ya, Indah istrinya yang sangat lembut itu marah. Dan itu sedikit..., menakutkan! Ayyas meninju dinding tembok dengan frustasi. Apa yang harus ia lakukan?! Buntu, tentu saja. Indah tak pernah marah. Ya Tuhan, apa yang harus ia lakukan?! Ayyas ingin mengejar Indah, tapi Kinan menahan lengannya dari tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN