Masih Ada Waktu

1822 Kata
Nangis. Ya, ya, ya. Tentu saja. Apa yang bisa dilakukan perempuan cengeng seperti dirinya? Lari dan... menangis. Cengeng memang. Sangat malah. Dan lebih parahnya lagi, Indah menangis di salah satu caffe langganan ia berkumpul dengan teman kampusnya. Ya, di tempat umum. Oh ayolah, dia tidak punya tujuan lain selain kesini. Tidak mungkin dia datang ke rumah orang tuanya kan? Nangis sendiri tidak apa-apa mungkin ya, sekedar melepas penat dan lelah. Yah, lelah berpura-pura kuat dan tabah. Hah, nyatanya ia tetap wanita biasa yang punya air mata. Entah tissue keberapa ia habiskan untuk mengeringkan airmatanya agar tak tumpah ruah. Hingga tissue di meja tempat ia duduk habis tak tersisa. "Hei, kamu menghabiskan tissue-nya," seseorang menyapa Indah. Kepala Indah menengok ke belakang. Dia lagi. Pria yang mengantarkan dompetnya. Siapa namanya... ah, Indah lupa. Indah memaksakan diri untuk tersenyum dan mengusap airmatanya dengan buru-buru. "Jangan memaksakan diri tersenyum, malah terlihat aneh." Pria itu duduk di kursi depan Indah. Lalu tangannya bersidekap di atas meja. Persis seperti anak TK yang siap mendengarkan lagu baru dari gurunya. Antusias sekali. "Maaf, saya harus pergi." Indah hendak bangkit. Tapi pria itu menahan lengannya. "Mau kemana? Saya rasa kamu kemari bukan untuk menghabiskan tissue di caffe saya kan?" Sebelum menjawab, mata Indah tertuju pada tangan pria itu yang masih betah menahan lengannya. Seakan baru sadar, pria itu melepaskan pegangannya. "Oh, maaf, duduklah! Setidaknya kamu harus memesan minum untuk mengganti rugi tissue yang kamu habiskan tadi." "Jadi ini caffe milik Anda, Pak..." "Fadhil. Dan saya belum menjadi bapak-bapak." Indah tersenyum kecil lalu duduk kembali. "Baiklah, saya akan pesan minuman mungkin." Tangan Fadhil melambai, memanggil pelayan untuk mendekat. "Kamu sudah melayani Nona ini dengan baik?" Pelayan itu menunduk hormat pada tuannya, "maaf, Tuan. Nona ini belum memesan apapun." "Kamu tidak bertanya padanya. Mungkin dia malu bertanya, seharusnya lain kali kamu tanya saja orangnya. Jangan menunggu dipanggil." Fadhil menasehati karyawannya sambil sesekali melirik Indah yang menahan tawa. "Baik, Tuan." Pandangan Fadhil beralih pada Indah, "nah sekarang kamu mau pesan apa, katakan padanya." "Aku pesan jus aja," ucap Indah. "Tidak mau kopi?" "Tidak, saya tidak terlalu suka kopi. Hanya waktu-waktu tertentu saja." "Ah, padahal kami punya barista terbaik yang bisa membuatkanmu kopi terlezat." "Saya pernah mencobanya." "Wow, langganan?" "Ya, saya sering berkumpul dengan teman-teman sekampus di sini. Yah, sekedar diskusi atau ngisi waktu luang sambil nunggu dosen datang." "Ah, jadi kamu termasuk salah satu mahasiswa yang sering diskusi di sini?" "Ya, begitulah." "Pegawai saya sering bercerita bahwa ada sekelompok mahasiswa yang senang menghabiskan waktunya di sini sampai berjam-jam hanya untuk berdiskusi." "Apa kami mengganggu?" "Tentu saja tidak, malah saya senang kamu dan teman-temanmu nyaman berlama-lama di caffe ini." "Ya, tempat ini memang nyaman." "Termasuk untuk menangis sendirian?" Indah diam. Dia hanya mengaduk jus yang baru sampai ke hadapannya. "Kamu bisa cerita kalau mau. Saya pendengar yang baik ngomong-ngomong." Bibir Indah tersenyum kecil. Lalu kembali fokus pada minumannya. "Kalau tidak bisa, tidak apa-apa. Tapi menurut saya, menyimpan masalah sendirian juga tidak baik." "Saya tidak sendirian." "Ah, saya lupa. Kamu sudah menikah kan?" "Ya." "Maksud saya, jika kamu punya masalah dengan pasanganmu atau hidupmu, jangan digenggam sendiri." "Saya katakan saya tidak sendirian menyimpan masalah saya." "O ya? Siapa yang mendengarkan curhatmu tadi? Sampai menangis seperti itu?" "Saya punya Allah." Fadhil terhenyak. Sungguh menakjubkan pribadi gadis di depannya ini. Cantik, pasti. Pintar? Jelaslah, para karyawannya sering cerita tentang gadis berhijab yang pandai berdiskusi dengan teman-temannya. Dan yang paling utama adalah... shaleha. Keunggulan di bidang ini sungguh sangat langka. "Kamu benar. Seberat apapun masalah yang kita hadapi, hanya Dia yang mampu memberikan solusi dan jalan keluar bagi kita." "Ya, dan saya meyakini semua itu. Selama saya hidup masalah memang selalu ada. Besar atau kecilnya masalah tergangtung sudut pandang kita." "Terkadang saya berpikir, di dunia ini, saya adalah orang yang paling banyak masalah." "Pikiran itu membuat hati menjadi sempit, bukan? Setidaknya itu yang saya rasakan. Padahal hati ibarat tempat penampungan. Dan masalah ibarat segenggam garam. Jika segenggam garam disimpan di penampungan sebesar mangkuk, maka ia akan terasa asin. Tapi jika segenggam garam disimpan dalam penampungan seluas dermaga, maka garam itu tidak akan berasa." "Dan membuat hati seluas dermaga adalah perkara yang sulit." Indah tersenyum menatap pepohonan yang tumbuh di sekitar caffe, "kamu benar. Tapi saat saya merasa terpojok, atau merasa sempit, saya kembalikan tujuan hidup saya. Jika dunia ini tak mampu saya raih, masih ada waktu untuk mengejar akhirat." "Akhirat memang tujuan utama." "Itulah, tapi menuju kesana ternyata sangatlah sulit. Penuh liku dan jalan yang terjal hingga tak jarang membuat kaki saya lelah dan hampir menyerah." "Saya pernah salah jalan. Bahkan jalan saya menemukan hidayah juga berawal dari niat yang salah." Indah mengalihkan pandangannya ka arah Fadhil. Pria ini punya masa lalu yang kelam? "Lalu?" Indah mulai tertarik. "Yah, saya pernah silau dengan perhatian, karir, ketenaran dan... wanita. Bahkan saya rela meninggalkan dunia entertainment yang membesarkan nama saya hanya demi seorang wanita." "Baguslah, berarti wanita itu membuat Anda menjadi lebih baik. Kalau boleh saya tahu, dia istri Anda?" Fadhil tersenyum kecil, lalu menggeleng pelan, "dia kakak ipar saya." Indah terkejut, "hei, jangan bilang Anda tertarik pada istri kakak Anda sendiri?" Fadhil tertawa pelan, mengangguk lalu menggeleng lagi. Tentu saja membuat Indah kebingungan. "Dulu, saya tertarik padanya bahkan jauh sebelum dia mengenal kakak saya. Hanya saja, saya tidak punya keberanian. Hingga orang tuanya menawarkan saya untuk bisa mendekati putri mereka dengan syarat saya harus berubah." "Wow, menarik. Anda lakukan?" "Ya, demi gadis itu. Saya tinggalkan ketenaran." "Sebentar, Anda seorang aktor?" "Mantan tepatnya. Saya sudah lama tidak berakting." "Oh, begitu rupanya. Pantas saja, wajah Anda seperti tidak asing." "Kamu mengenal saya?" "Tidak juga. Hanya merasa pernah melihat wajah Anda di reklame pinggir jalan." "Haha, saya percaya itu. Gadis seperti kamu bukan penikmat film saya." "Hm, jadi gadis itu sekarang kakak ipar Anda?" "Ya, kamu benar. Saya baru tahu kalau kakak saya dan gadis itu ternyata saling mencintai. Dari sana saya sempat merasa hancur." "Patah hati?" "Begitulah. Tapi saya berusaha berpikiran positif. Hidup tetap berjalan meski saya sibuk dengan sakit akibat patah hati. Jadi saya memutuskan untuk benar-benar hijrah." "Hm, kadang Yang Maha Kuasa mendidik kita dengan caranya yang terindah." "Saya tidak tahu apa yang sedang kamu alami sampai menangis seperti tadi. Tapi saya harap kamu bisa menemukan jalan keluarnya." "Ya, terima kasih. Kadang saya memang secengeng itu," ucap Indah sambil sedikit memajukan bibirnya. Dirinya juga sebal pada sifat cengeng yang sulit dihilangkan. "Haha, tak apa. Wanita mungkin memang tidak bisa jauh dengan airmata saat mereka mendapat masalah." "Padahal saya mati-matian menaham diri agar tidak menagis." "Mungkin wajar. Ibu saya juga suka menangis saat ada masalah. Bahkan saat beliau bahagia atau terharu juga menangis." "Wanita dan kecengengannya." "Itu bukan cengeng. Tapi memag fitrah wanita seperti itu." Indah tersenyum dan mengangguk. Ia melirik arloji di tangannya. "Ah, tidak terasa, sudah siang rupanya. Saya harus pergi. Terima kasih atas sharingnya." "Ya, sama-sama. Mengenai yang tadi, saya harap kamu bisa menjaga rahasia saya." "Jangan khawatir, saya bukan tukang gosip." Indah tersenyum dan bangkit meninggalkan Fadhil di meja. Tujuan Indah saat ini adalah kampus. Meski ia tahu, dirinya sudah tertinggal satu mata kuliah. Dan benar ternyata, saat Indah sampai di kampus, kelasnya baru selesai satu mata kuliah. Indah baru akan masuk saat dosen pertama keluar dari ruangan. Jadi dia memutuskan untuk duduk di kantin sambil melihat pintu masuk ke kelasnya. Dan sesekali memainkan ponselnya. Sejak ia marah dan meninggalkan Ayyas dengan Kinan, puluhan chat dan panggilan tak terjawab terpampang di layar ponselnya. Ya, siapa lagi kalau bukan Ayyas. Sesaat Indah menyesal atas apa yang dia lakukan. Bagaimana kalau Ayyas marah padanya? Bukankah ridho Allah ada pada ridho suami? Tapi ia juga manusia biasa. Indah bisa marah. Apalagi jika ia tersinggung atas apa yang tidak dia lakukan. "Indah!" Indah menoleh ke sumber suara, Dosen yang baru keluar tadi menghampirinya. "Kenapa kamu tidak masuk?" Gio, dosen psikologi pendidikan yang baru selesai memberikan kuliahnya. "Maaf, Pak. Saya ada keperluan tadi. Jadi terlambat." "Tidak biasanya kamu absen. Jika ada masalah, kamu bisa berbagi dengan saya." "Ah, terima kasih, Pak. Insya Allah, saya bisa mengatasinya." "Ya sudah, lain kali jangan absen. Saya tahu, keperluan kamu tak kalah penting. Tapi kuliah adalah bagian dari masa depan kamu nanti. Jadi usahakan jangan sampai mengganggu jam kuliahmu." "Baik, Pak, saya mengerti." Indah bangkit dan berjalan menuju kelasnya. Halwa sudah menyambutnya di depan pintu. "Hei! Kemana saja? Aku nungguin kamu, kukira kamu gak masuk hari ini." "Ada masalah kecil tadi. Jadi aku terlambat." "Kamu gak tahu ya, Pak Gio tadi Mengintrogasiku habis-habisan. Nanyain kamu tuh, Ndah!" "Jangan bilang kamu cerita ke dia tentang rumah tanggaku?" "Ya enggaklah, aku masih waras buat nyeritain aib keluarga kamu." "Syukurlah. Lagian ngapain sih, Pak Gio kepo terus." "Kamu tuh gak sadar ya? Pak Gio jelas-jelas suka sama kamu, Ndah." "Astagfirullah, kamu jangan bercanda! Aku udah nikah tahu." "Iya, tahu kok. Cuma ya, dari gesturnya aja jelas banget Pak Gio punya hati sama kamu." "Ya tapi kan gak mungkin. Aku udah nikah." "Eh tapi kasihan dia loh, udah lama suka sama kamu." "Bilang aja sama Pak Gio, cari yang halal aja, yang single. Kamu misalnya!" "Ih, gak deh. Kalau aku nerima Pak Gio, ntar malah jadi pelariannya. Badannya ke aku, otaknya ke kamu." "Kamu tuh ya? Udah ah, jangan bahas Pak Gio lagi." "Iya, Nyonya Indah. Jadi apa gerangan yang bikin kamu kesiangan?" "Cuma hal kecil. Akunya aja yang terlalu cengeng." "Ayyas lagi?" Indah diam. Halwa menarik nafas panjang. "Udahlah, Ndah. Kurasa ada baiknya kamu tinggalin dia. Toh, masih banyak pria yang mau sama kamu. Yang setia, yang gak pernah selingkuh. Ya kan?" "Ish, kamu tuh ya, nikah itu bukan kayak pacaran, bisa putus seenaknya. Perceraian adalah perkara halal yang paling dibenci Tuhan." "Iya, Bu Ustadzah. Terus kamu mau terus kayak gini? Sakit hati, nangis, lari, abis itu maafin lagi, sakit hati lagi. Sampai kapan?!" "Sampai aku mendapat syurga-Nya," ucap Indah lirih. Halwa hanya menggelengkan kepalanya. Indah hanya memainkan ponselnya tanpa minat. Sesaat kemudian, terdengar suara keributan di luar. "Ndah, ada apa ya? Kok di luar ribut-ribut sih?" "Gak tahu. Ada copet kali," jawab Indah sambil menyenderkan kepalanya ke atas meja. Banyak menangis membuatnya sedikit pusing. Karena penasaran, Halwa bangkit dan melihat keluar. Selang beberapa menit, Halwa datang terburu-buru ke hadapan Indah. "Indah! Gawat, Ndah! Gawat!" "Apa sih?" "Gawat! Itu di luar! Ya Allah, gawat, Ndah!" "Ngomong yang jelas dong, Wa! Gawat apanya? Malingnya kabur?" "Bukan!" jawab Halwa dengan wajah panik. "Lalu apa?" "Ayyas, Ndah!" Mendengar nama suaminya disebut, Indah baru bangun dan menatap Halwa cemas. "Ada apa sama Ayyas?!" "Dia berkelahi dengan seorang pria di luar!" "Apa?! Mana mungkin! Jangan bercanda kamu!" "Aku serius, Ndah! Mereka dipisahin, tapi ribut lagi tadi!" "Dengan pria katamu?!" "Iya, dan gawatnya lagi, aku kenal pria itu!" "Siapa?" "Mantan aktor yang pernah terkenal itu!" Apa?! Jangan bilang kalau Ayyas berkelahi dengan Fadhil! Untuk memastikan, Indah buru-buru keluar. Ia melihat kerumunan orang-orang di sekitar kampus. Mata Indah hampir loncat, ternyata benar! Ayyas berkelahi dengan Fadhil! Tapi bagaimana mungkin dua pria itu bisa berkelahi?! "Mas! Hentikan!" Indah berteriak merangsek masuk ke kerumunan orang-orang. Ayyas yang sudah nampak berdarah di bagian pelipisnya menatap perih ke arah Indah. "Sayang, aku tidak menyangka, kenapa kamu mengkhianatiku! Apa yang dimiliki pria ini?!" "Hei! Jangan asal bicara! Justru kamu yang harus sadar diri! Aku yakin, kamulah pria bodoh yang telah membuatnya menangis!" teriak Fadhil dengan emosi. "Diam kau!! Ini masalah rumah tanggaku!" bentak Ayyas tak kalah sengit. Indah kehabisan kata. Bagaimana melerai dua pria dewasa ini?! "Ya, dan aku tidak suka melihat rumah tangga yang menyakiti wanita! Masih ada waktu buat Anda, perbaiki perlakuan Anda pada Indah. Jika tidak, Anda akan menyesal. Bukan mustahil Anda akan kehilangan Indah dari sisi Anda," ucap Fadhil dengan sinis. Ya, ya, ya. Fadhil menyukai Indah. Bukan, tapi kagum. Dan rasa tak rela saat melihat gadis itu terluka. "Diam kau b******n!!" Ayyas kembali hendak menerjang Fadhil. Tapi teriakan Indah membuatnya berhenti. "Hentikan, Mas! Atau aku benar-benar akan pergi!" teriak Indah dengan frustasi. Masih ada waktu. Ya, masih ada waktu untuk belajar menghadapi semuanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN