Adil

1727 Kata
"Indah! Tunggu!" Indah terus berjalan cepat meninggalkan kedua orang yang sedang bertengkar hebat itu. Ia tak memperdulikan teriakan Ayyas yang memanggilnya di belakang. Kerumunan mahasiswa yang menonton pun perlahan membubarkan diri. Sampai ia sadar jika mobil Ayyas sudah melaju mendekat ke arahnya. "Masuk, Indah!" Indah tidak mendengar, hanya terus berjalan tanpa melihat Ayyas yang berada di dalam mobil. "Masuk Indah! Ini perintah suamimu!" Dengan berat hati, Indah akhirnya menurut tanpa protes. Ayyas membawa mereka menuju rumahnya. "Jangan ke rumah!" Ayyas diam sejenak, lalu berputar arah menuju apartementnya. Sesampainya di apartemen, Indah langsung mengambil kotak p3k. Indah mengobati luka Ayyas dalam diam. Sesekali pria itu meringis pelan. Ekor matanya tak berhenti melirik istrinya yang sedang sibuk mengobati luka di pelipis. Bogem karya Fadhil luar biasa, cukup membuat pelipis Ayyas memar dan berdarah. Indah bangkit, hendak menyimpan air es yang ia gunakan untuk mengompres luka Ayyas. "Sayang, mau kemana?" "Aku mau menyimpan air es dulu." Ayyas diam lagi. Ia bingung harus memulai dari mana. Indah seperti ini sangat membuatnya takut setengah mati. Apa Indah masih marah? Mengingat di kampus tadi Indah berteriak marah padanya. Lalu tanpa banyak bicara meninggalkan Ayyas dan Fadhil yang sedang bergumul. Saat melihat Indah benar-benar meninggalkannya, Ayyas panik dan segera mengejar Indah. Ayyas mengumpulkan keberanian agar Indah mau ikut bersamanya. Dan tanpa diduga, Indah menurut tanpa protes sedikit pun. Tapi gadis itu menolak pulang ke rumah mereka. Jadi Ayyas memutuskan untuk membawa Indah ke apartemen miliknya sebelum dia menikah. Ayyas menunggu dengan gelisah. Kenapa Indah lama sekali? Apa istrinya itu pergi lagi? Karena khawatir, Ayyas berdiri dan mencari Indah ke ruangan lain. Kamar mandi, nihil. Kamar tidur, nihil. Kemana dia? "Sayang! Kamu dimana?" Indah muncul membawa segelas air teh hangat. "Ini, minumlah!" Ayyas menarik nafas lega, "kamu dari dapur?" Indah mengangguk. Lalu ikut duduk bersama Ayyas. "Dah, mengenai yang tadi... aku..., " ah! Kenapa mengucap maaf rasanya sulit sekali? "Jangan diulangi! Cemburu buta tidak menyeleaikan masalah," Indah memotong perkataan Ayyas. Ia tahu, pria itu mungkin sedikit merasa bersalah. Ayyas diam sejenak, lalu menatap Indah, "kamu kenal pria tadi?" "Siapa? Fadhil?" "Iya, kamu tahu namanya?" Ayyas menatap curiga. "Jangan mulai deh, Mas. Masa tahu nama saja tidak boleh. Kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan tadi di kampus?" "Apa? Aku cuma membela diri." "Membela diri apanya? Kamu tiba-tiba menyerang Fadhil tanpa sebab." "Tanpa sebab apanya, dia menemuimu di kampus tanpa sepengetahuanku. Bagaimana mungkin aku tidak curiga?" "Dan akibat sikapmu itu, aku malu bertemu dengan teman-temanku lagi. Kamu kekanakan!" "Itu bukan kekanakan, namanya gentle! Membela sesuatu yang menjadi milikku adalah sebuah keharusan." "Tapi faktanya, Fadhil tidak seperti itu. Dia tidak memiliki niat jahat seperti yang kamu pikirkan." "Tapi kalian saling kenal. Kamu bahkan tahu namanya. Padahal teman kampus juga bukan." "Ya, tidak sengaja. Dia menemukan dompetku dua kali. Itu saja. Kamu berlebihan," ucap Indah dengan sedikit kesal. Melihat Indah sedikit cemberut, Ayyas mengerjap, duh, apa Indah akan marah lagi? "Kamu maafin aku? Kamu tidak marah lagi kan?" "Buat apa aku marah?" Ayyas membawa tubuh Indah dalam pelukannya, "terima kasih, sayang!" "Ya, sama-sama." Ayyas merapikan anak rambut di sekitar dahi Indah. Ia menatap lekat istrinya itu. Baru saja ia hendak menyatukan bibir mereka, ponsel Ayyas berdering. Ah, mengganggu saja! "Ya, hallo?" "Mas, kamu di mana? Ayo pulang! Aku sendirian di sini!" Ayyas menjauh dari Indah, ia bangkit dan keluar dari ruangan. Meski Ayyas tidak memberitahunya, tapi Indah yakin yang menelpon suaminya itu pasti Kinan. Indah tersenyum kecut. Ayyas boleh cemburu buta seperti tadi, sedangkan dirinya mati-matian harus bersikap biasa saja saat Kinan meminta hak yang sama dengannya dari Ayyas. Selang beberapa menit, Ayyas kembali dan menatap Indah dengan ragu. "Kenapa, Mas? Apa terjadi sesuatu?" "Kinan sendirian di rumah. Jadi... " "Pergilah, aku di sini saja." "Kamu... tidak apa-apa?" "Aku baik-baik saja, Kinan lebih membutuhkanmu." "Indah, kamu tahu kan, Kinan sedang hamil, jadi sifatnya agak manja." "Iya, Mas. Aku mengerti. Pergilah!" "Baiklah, aku pergi dulu." Saat Ayyas hendak keluar, Indah menahannya lagi. "Tunggu, Mas!" "Apa?" "Jika Kinan betah tinggal di rumahmu, aku tinggal di sini saja." Ayyas diam. Sungguh, entah apa yang ada di pikiran pria itu. Sebelum Ayyas menjawab, Indah meyakinkan Ayyas agar pria itu tidak ragu meninggalkannya di sini. Yah, meskipun rumah itu menyimpan banyak kenangan saat mereka masih berdua dulu, tapi Indah memilih meninggalkannya. Bukankah akan lebih baik tinggal di tempat baru, agar kenangan lama yang manis itu tidak terngiang kembali? "Jangan khawatir, Mas! Aku tidak apa-apa kok. Lagi pula, aku betah di sini. Lokasinya juga tidak jauh dari kampus." "Kamu yakin?" "Ya, nanti barang-barangku akan diangkut besok saja." "Baiklah, terimakasih pengertiannya, Indah." "Hm," Indah bergumam pelan. Mungkin ini yang terbaik. Daripada tersiksa batin tinggal serumah dengan madunya. Percayalah, sesabar apapun wanita, tetap saja memiliki rasa cemburu. Dan itu wajar kan? Indah takut tidak bisa menahan diri menghadapi sifat kekanak-kanakan Kinan yang sedang hamil itu. Mungkin akibat hormon kehamilan, Kinan jadi sering mencari perhatian dengan bertingkah seenaknya. Selepas Ayyas pergi, Indah menatap bayangannya di cermin. Pandangannya jatuh pada perut ratanya. Apa mungkin aku bisa hamil? Padahal ini sudah dua tahun berjalan. Tapi aku belum juga memiliki anak. Indah kembali duduk di atas kasur. Lalu merebahkan badannya yang terasa pegal. Menatap langit-langit kamar sambil memikirkan nasib rumah tangganya ke depan. Ia tidak tahu sampai kapan dapat bertahan dimadu. Indah meraih ponselnya yang menyala, satu pesan masuk. Dari ayahnya. Abah : Assalamualaikum. Apa kabar, Nak? Indah tersenyum kecut. Ingin sekali ia mengatakan bahwa kabarnya hari ini begitu buruk. Ayyas mempermalukannya di kampus di depan semua teman-temannya. Lalu kabar tentang madunya yang selalu menguji kesabarannya. Huf, tapi Indah tidak bisa ceritakan semua itu. Hal yang ia hindari saat sudah berumah tangga adalah menceritakan hal buruk rumah tangganya. Orang tua tidak boleh tahu, itu prinsip Indah. Biarlah orang tua hanya tahu bahwa putrinya baik-baik saja. Deringan ponsel membuyarkan lamunan Indah. "Ya, hallo?" "Sayang, kenapa chat abah gak dibalas?" "Ah, itu. Maaf, Bah. Indah ketiduran tadi." "Ayyas mana?" "Dia... di rumah." "Lha, kamu sendiri di mana?" "Indah di apartemen." "Lho, kok gak di rumah? Kalian ada masalah?" "Tidak, Bah. Kami baik-baik saja. Ayyas baru saja pulang dari sini." "Sebentar, kalau kamu di apartemen, Ayyas di rumah, lalu madumu siapa namanya...?" "Kinan." "Ah, itu. Si Kinan-kinan itu di mana?" "Kinan di rumah." "Kok bisa? Bagaimana ceritanya ini? kenapa anak Abah yang di apartemen? Harusnya anak Abah yang di rumah dong! Kan istri pertama?" "Gini Bah, ini keinginan Indah, kok. Indah kan lagi sibuk-sibuknya kegiatan kampus, jadi cari lokasi yang gak jauh ke kampus gitu. Biar gampang kalau ada tugas." "Yakin kamu gak ada masalah?" "Iya, Bah. Percaya deh! Lagian aku betah di sini kok." Ya, lebih mudah melupakan kenangan bahagiaku bersama Ayyas, lanjut Indah dalam hati. "Ya sudah, syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Suruh suamimu agar bisa bersikap adil. Sekali saja Abah mendengar dia menyakitimu, Abah tidak segan untuk mengambil putri Abah darinya." "Iya, Abah tenang saja. Ayyas adil kok." "Abah tutup ya, jaga diri baik-baik, kuliah yang rajin, makan yang banyak, jangan banyak bergadang." "Siap, komandan!" "Assalamu'alaikum!" "Wa'alaikum salam warahmatullah, " Indah mematikan ponselnya. Abah, pria yang sangat ia hormati dan ia cintai di dunia ini. Indah dapat merasakan ada nada cemas Abah padanya. Tapi Indah berusaha meyakinkan pria itu bahwa ia baik-baik saja. *** Pagi sekali Indah sudah bangun. Menyiapkan sarapan dan membereskan apartemen. Setelah semua siap, Indah duduk di meja makan. Menatap hasil karyanya pagi ini. Ada nasi goreng seadanya yang ia buat. Indah tertegun sesaat. Ingatannya melayang pada beberapa bulan yang lalu, saat ia masih menghabiskan paginya dengan Ayyas. Pria itu selalu bergelayut manja padanya saat ia memasak. Ah, atau Ayyas akan menatapnya lekat-lekat saat Indah menyiapkan sarapan mereka. Mengingat semua itu, ada rasa perih yang menyayat hatinya. Kini ia sendiri. Ayyas bukan hanya miliknya. Ia sudah memutuskan untuk rela berbagi cinta Ayyas dengan wanita lain. Indah menatap nasi goreng yang masih mengeluarkan asap. Tiba-tiba saja selera makannya amblas entah kemana. Akhirnya ia bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Mengambil wudlu dan bersiap pergi. Yah, Indah senang pergi dalam keadaan berwudlu. Satu pesan masuk ke ponselnya. Halwa menghubunginya. Gadis itu rupanya sudah menunggu di kampus sepagi buta ini. Sudah bisa ditebak, Halwa pasti ingin mendengarkan ceritanya. Kelanjutan hubungan Ayyas dan Indah saat kemarin Indah meninggalkan Ayyas yang sedang bertengkar dengan Fadhil begitu saja. Saat keluar dari apartemen, lagi-lagi Indah tersenyum pahit. Ya, hari ini ia ke kampus dengan angkutan umum. Sendiri. Ya, tentu saja. Ayyas sedang bersama Kinan bukan? Sebenarnya dulu Indah ditawari Abah untuk membawa mobil, hanya saja, dirinya menolak halus. Bukan tidak membutuhkan, tapi Ayyas melarangnya bepergian sendiri. Tapi lihatlah sekarang, ia pergi sendiri, pulang juga sendiri. Ada sedikit penyesalan kenapa dulu ia menolak mobil dari Abahnya. Sudahlah, Indah tak ambil pusing. Toh, jaman sekarang segalanya bisa lebih mudah meski sendiri. Banyak transportasi online kan? Dan tidak butuh waktu lama agar bisa sampai ke tempat tujuan dengan aplikasi penyedia jasa transportasi itu. Indah mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru halaman kampus. Dan di salah satu kursi, nampak tangan Halwa melambai-lambai. Bibir Indah melengkungkan senyuman. Kakinya melangkah menuju sahabat baiknya itu. "Hei, sudah lama?" Halwa melirik arlojinya, "hm, sekitar sepuluh menit yang lalu." Tangan Indah menarik kursi yang berhadapan dengan Halwa. "Wow, pagi sekali. Ada apa? Tumben sepagi ini sudah di kampus." "Kebetulan saja lagi pengen jalan pagi. Udah lama gak jogging." "Sendiri?" "Ya iyalah, emang sama siapa?" "Kali aja udah ada pasangannya." "Kalo aku jalan bawa gandengan, beuh, Mami pasti langsung nelpon. Nanya ini itu, ribet." "Kan tinggal diproses aja, apanya yang ribet sih?" "Ya ribet, masalahnya pertama aku belum mau nikah. Kedua, pasangannya juga belum ada, apanya yang mesti diproses?" "Haha, ya juga sih. Eh tapi kamu mau aku comblangin?" "Ogah." "Kenapa?" "Ntar dapat sejenis Ayyas, malah doyan nikah, aku tuh gak sekuat kamu tahu!" "Ya gak semua pria gitu. Ayyas juga gak ada niat nikah lagi kalo bukan tragedi." "Iya, tahu. Eh tapi, kamu malam tadi tidur di mana?" "Kenapa memang?" "Pengen tahu aja, bareng Ayyas gak?" "Ih, kepo kamu." "Ayolah, Ndah! Aku penasaran. Apalagi kamu kemarin ninggalin dia." "Aku tidur di apartemen Ayyas." "Serius? Sama Ayyas dong?" "Kenapa sih?" "Kalau begitu, aku salah lihat." "Memangnya kenapa?" "Aku lihat tadi pas jalan kaki, Ayyas lagi sama perempuan. Jogging kayaknya. Tapi setelah tahu kamu bareng dia pagi ini, aku yakin bukan dia." Indah diam. Benarkah? Siapa lagi sekarang? "Napa diam?" "Bentar, aku harus memastikan sesuatu," jawab Indah sambil membuka ponselnya. Salah satu yang Indah tahu dari kebiasaan Kinan adalah selalu memposting setiap kegiatan yang ia lakukan. Bukan hal mustahil jika apa yang dilihat Halwa memang benar Ayyas dengan Kinan. Dan hati kecil Indah berharap suaminya memang bersama Kinan, bukan wanita lain. Indah mulai mencari akun media sosial Kinan. Mata Halwa memicing, "buka apaan?" "Medsos Kinan." "Ngapain?" Indah menarik nafas lega, ternyata benar. Ayyas bersama Kinan. Dari foto yang diposting Kinan, mereka nampak bahagia. Sarapan berdua di pinggir jalan sambil tertawa. Mata Halwa mengikuti apa yang Indah perhatikan. Gadis itu melamun ternyata. Pandangan Indah tidak tertuju pada ponsel yang ia pegang. "Lepaskan saja!" Indah terperanjat, "apa?" "Lepaskan kalau memang sudah tidak kuat." "Maksudmu melepas Ayyas?" "Ya, kamu masih muda. Masa depanmu masih panjang." "Tidak bisa. Aku mencintainya. Mungkin terdengar bodoh, tapi aku akan mempertahankannya. Setidaknya aku tidak ingin membuat Tuhan murka padaku." "Tapi hatimu apa kabar, Ndah?" "Aku... tak apa." "Halwa benar. Jika tidak kuat, lepaskan saja!" Indah menatap kaget pada sumber suara di belakang mereka. Matanya membulat sempurna saat melihat Abahnya tengah berdiri menatap ke arah mereka berdua. "Abah?!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN