Pertemuan Dua Lelaki 1

945 Kata
Cinta yang Kau Bawa Pergi - Pertemuan Dua Lelaki Delia memandang di seberang jalan. Dalam mobil Barra ada perempuan yang tadi dilihatnya. Cukup lama keduanya terdiam. Delia tidak ingin bicara lebih dulu karena bukan dia yang harus menjelaskan. Sedangkan Barra masih memandangnya. Kemudian berdiri menegakkan tubuh. "Yang kamu lihat bersamaku tadi namanya Cintiara," kata Barra mulai bicara. "Kekasihmu?" tanya Delia menatap manik hitam suaminya. Barra diam. "Nggak usah merasa canggung atau apa. Orang nggak waras tak kenal cemburu, Mas. Nggak kenal sakit hati juga. Susah senang dia akan terus tersenyum," Delia bicara dengan tenang. Di puncak rasa sakit, kecewa, trauma, dan bayangan buruk yang sekejab tadi menjelma, Delia bisa setegar itu. Biasanya dia histeris jika ada sesuatu yang membuatnya teringat lagi oleh tragedi setahun yang lalu. Tapi kali ini dia bisa tenang. Meski sebenarnya dalam hati merasakan luka. Dia tidak gila, jadi perih tetap ia rasakan. Cak Rohmat yang baru kembali dari membeli rokok, menyapa ramah pada Barra. Kemudian menekan remote control untuk membuka pintu mobil. "Permisi, aku mau pulang." Delia membuka pintu mobilnya. Tidak lama kemudian Mak Ni datang dan mengangguk hormat pada pria yang sekarang menjadi majikannya. Delia baru bisa menangis setelah mobil bergerak pergi. Mak Ni yang tak paham apa yang sebenarnya terjadi, mengira Delia mengalami hal seperti biasanya jika kambuh. Histeris, menangis, dan terkadang diam seribu bahasa. * * * "Istrimu sangat cantik," kata Cintiara saat Barra mengantarkan kembali gadis itu ke kantornya. "Dia tadi melihat kita," lanjut Cintiara lagi. "Nggak apa-apa. Jangan pikirkan itu." Mobil berhenti di depan kantor tempat Cintiara bekerja. Keduanya masih terdiam beberapa menit. "Aku takut jika akhirnya kamu jatuh cinta padanya." "Nggak akan," jawab Ibarra sambil memandang wajah gadis cantik yang saat itu tengah menatapnya. Jawaban yang tidak serta merta membuat Cintiara tenang. Mereka tiap hari hidup bersama, terikat pernikahan, siapa yang bisa menjamin hati pria itu tidak tergoda. Jujur saja, meski rambut Delia dibiarkan terurai, tanpa make up, hanya berpakaian kaus putih dan celana jeans warna biru, bahkan sedang mengalami depresi, tapi diakui Cintiara kalau Delia sangat cantik dan menarik. Cintiara melihat jam tangannya. "Aku turun dulu, ya. Jam istirahat sudah selesai." Cintiara tersenyum sangat manis, lalu meraih paper bag dari kursi belakang. Barra tadi membelikannya beberapa stel baju dan sepatu. Barra segera turun dan membukakan pintu mobil untuk kekasihnya. "Terima kasih untuk hari ini," ucap Cintiara sambil tersenyum. Ibarra membalas senyum gadisnya. Pria itu kembali masuk mobil setelah Cintiara hilang di balik pintu kaca kantornya. Mulai hari ini akan menjadi rumit jika Delia cerita pada orang tuanya atau kepada orang tua Barra. Dia harus bersikap menghadapi kemarahan yang bisa menghancurkan karirnya. Barra akan kehilangan segala-galanya jika orang tuanya tahu kalau ia masih menjalin asmara dengan Cintiara, sedangkan dirinya sudah menikah. Selingkuh kan namanya? Pria itu mengembuskan napas kasar. Harusnya ia tidak menuruti Cintiara yang mengajaknya bertemu untuk makan siang. Bukankah tadi pagi ia bilang akan mengajak gadis itu ke luar kota untuk makan malam. Keadaan akan runyam sebelum ia mempersiapkan segala-galanya. * * * Delia duduk memeluk lutut di lantai kamarnya sambil menunggu video call-nya pada Samudra di terima. "Assalamu'alaikum, Delia," ucapan salam terdengar bersamaan dengan munculnya wajah Samudra yang tersenyum seperti biasa. "Wa'alaikumsalam. Mas, sudah pulang dari rumah sakit?" "Ya, sudah sejak tadi. Hei, kenapa kamu kelihatan sedih gitu? Tadi siang kamu baik-baik saja. Ada apa, Delia?" Hening. Delia hanya menatap wajah laki-laki yang ada di layar ponselnya. Orang yang selalu bisa membuatnya tenang. Dia tidak tahu harus bicara apa? Pikirannya mengambang, entah berpijak di mana. Hanya sedih dan bingung yang terasa. "Delia," panggil Samudra lagi. "Ada apa?" Gadis itu masih diam. Samudra membiarkan. Seperti yang dibilang oleh dokter Era, jangan memaksa Delia untuk mengungkapkan sesuatu tanpa kehendaknya sendiri. Bicaralah secara halus sampai dia mau terbuka dan bicara. "Dengar, Delia. Apapun yang kamu rasakan saat ini. Ada Mas yang siap mendengar apapun yang sedang kamu risaukan. Ingat nggak? Apa yang selalu Mas bilang sama kamu. Jangan biarkan rasa putus asa menguasaimu. Jangan rendah diri. Kamu kuat, kamu cerdas, kamu cantik. Kamu jangan takut. Oke." Delia hanya mengangguk sambil memandang Samudra di layar ponsel. "Apapun yang membuatmu ketakutan, insecure, atau was-was, jangan pedulikan. Kamu berharga. Ingat itu, kamu sangat berharga. Jangan dengarkan atau melihat apa yang membuatmu sakit, tapi perhatikan apa yang bisa membuatmu bangkit. Ayo, bangkit dan berdiri tegak, Delia. Kamu mampu, Dek." "Ya, Mas," jawab Delia sambil mengusap air mata yang menetes di pipinya. Samudra memperhatikan dan menunggunya dengan sabar. Semenjak tragedi malam itu, Delia memiliki self esteem yang rendah. Membuatnya mengalami gangguan kecemasan yang berlebihan dan membuatnya khawatir berkelanjutan. Dia hampir saja pulih, tapi pernikahannya bisa jadi membuatnya kembali mengalami duck syndrome. Samudra tidak habis pikir dengan tujuan orang tuanya menikahkan Delia dengan Barra. Di mata mereka mungkin Barra adalah pria baik-baik. Cerdas, lincah, dengan karir yang mulai mapan dan cemerlang. Tapi bukan berarti baik untuk menjadi suami Delia. Samudra penasaran, adakah tujuan lain dari perjodohan itu? Tanpa disadari Delia dan Samudra. Dari pintu kamar yang terkuak, masuk Barra dan berdiri tegak memperhatikan istrinya yang sedang melakukan video call. "Mas, bener kan akhir pekan ini kita ketemu di rumah Papa?" tanya Delia. "Iya. Mas akan datang. Kita ketemu ya di sana!" "Hu um. Udah dulu ya, Mas. Teleponnya aku tutup." "Oke, take care, Delia. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Delia membiarkan sang kakak yang menutup panggilan. Gadis itu meletakkan ponselnya begitu saja di lantai. Ketika menoleh, ia melihat Barra sedang berdiri memperhatikan. Membuat Delia terkejut dan merapatkan tubuhnya di sisi pembaringan. Bukannya segera mandi, Barra duduk di sebelah Delia yang gemetar. "Kamu telepon siapa?" tanya laki-laki itu datar. Delia diam. Degup jantungnya kian kencang berdebar. Meski air conditioner menyala dengan suhu rendah, tapi tubuhnya berkeringat. "Aku nggak marah, aku hanya tanya, kamu menelepon siapa?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN