Pertemuan Dua Lelaki 2

963 Kata
Setelah menarik napas beberapa kali seperti yang diajarkan Samudra atau dokter Era ketika ia mengalami kepanikan, baru Delia bicara. "Jangan khawatir, aku nggak cerita pada siapapun tentang apa yang kulihat tadi." "Yang aku tanyakan, siapa yang kamu telepon? Kamu telepon Samudra?" Delia mengangguk. "Itu saja yang ingin aku tahu. Soal kamu cerita atau nggak pada orang lain tentang aku dan Cintiara. Aku nggak peduli." Barra berdiri, mengambil handuk dan masuk kamar mandi. Di bawah guyuran air shower, pria itu termenung. Membiarkan air membanjiri tubuhnya, tapi pikirannya ke mana-mana. Melihat Delia selalu ketakutan ketika melihatnya, membuat Barra lama-lama iba. Gadis yang malang. Mereka terjebak oleh pernikahan yang sama-sama tidak mereka kehendaki. Mereka menjadi korban kepentingan orang tua kedua belah pihak. Harusnya ia tak sekasar itu pada istrinya. Apa salah gadis itu? Sedikit saja tidak pernah mengusiknya. Barra keluar kamar mandi dengan handuk yang membelit pinggang. Membuat Delia menyembunyikan wajah di antara lengan dan lututnya. Gadis itu seolah mengkerut makin kecil karena takut. Setelah memakai baju, Barra mengangkat tubuh Delia ke atas tempat tidur. Membuat wanita itu memekik kaget lantas meringkuk membelakangi Barra. "Tidurlah, sudah malam. Kamu akan masuk angin kalau kelamaan duduk di lantai." Selesai bicara Barra keluar kamar sambil menyambar ponselnya di atas meja. Pria itu tercekat, saat melihat Mak Ni berdiri mematung di depan pintu kamarnya. "Ada apa, Mak?" "Eh, nggak apa-apa, Pak Barra," jawab Mak Ni gugup. Dia keluar kamar karena mendengar pekikan Delia. "Nggak terjadi apa-apa sama Delia. Aku hanya menyuruhnya tidur. Kalau aku lakukan sesuatu padanya pun wajar kan? Dia istriku." Mak Ni mengangguk, kemudian membuka handle pintu kamar. "Maaf, Pak Barra. Saya masuk dulu," pamit Mak Ni kemudian menghilang masuk ke kamarnya. Seperti biasa, Barra akan menghabiskan separuh malamnya di ruang kerja. Merokok, membalas chat Cintiara, mengevaluasi pekerjaan, atau sekedar main game. Setelah benar-benar mengantuk, baru masuk kamar dan tidur. Tak jarang dia tertidur di kursi putarnya hingga menjelang pagi. * * * Aroma wangi masakan menyambut penciuman Barra, saat pria itu membuka pintu kamarnya. Laki-laki yang telah berpakaian rapi itu berhenti sejenak ketika mendengar suara tawa Delia dan Mak Ni di dapur. Selama menikah, baru kali ini dia mendengar istrinya tertawa renyah. Apa yang membuatnya seceria itu pagi ini? Bukankah tadi malam Delia hanya murung, bahkan ketakutan ketika diangkatnya ke tempat tidur. Apa dia benar-benar tidak ingat dan sakit hati saat melihatnya merangkul mesra Cintiara? "Orang nggak waras tak kenal cemburu, Mas. Nggak kenal sakit hati juga. Susah senang dia akan terus tersenyum." Kalimat Delia kemarin siang kembali terngiang. Barra melangkah ke arah meja makan dan menarik salah satu kursi untuk duduk. Melihat kehadirannya, Delia langsung diam. Wanita itu meletakkan mangkuk berisi rica-rica ayam di depannya. Mengambilkan piring, air minum, dan tisu. Hal yang baru kali ini dilakukan oleh Delia semenjak menjadi istrinya. Bukannya terus ikut duduk di sana, tapi Delia pergi ke belakang. Tempat biasa Mak Ni mencuci pakaian. Dia tidak ikut sarapan, melainkan memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci. Sebuah keganjilan yang membuat Barra heran, karena Delia tidak pernah seperti itu sebelumnya. "Ada apa, Mak?" "Nggak ada apa-apa, Pak Barra. Mbak Delia kalau hatinya pas ceria ya seperti ini. Dia sebenarnya sangat rajin. Tadi pagi saya bilangin jangan terus-terusan bersedih. Harus bahagia, supaya bisa seperti dulu lagi. Bisa nyetir mobil, jalan-jalan, atau kembali bekerja. Akhirnya dia bisa ceria." Ceria? Setelah memergoki perselingkuhan suaminya dia bisa ceria? Mungkin karena di antara mereka memang sama-sama tidak ada rasa atau karena Delia memang masih belum pulih psikologisnya. "Siapa yang punya ide masak ayam rica-rica?" Barra penasaran. Sebab dia tidak pernah bilang kalau masakan itu adalah kegemarannya. "Mbak Delia, Pak. Kebetulan Mbak Delia dan Mas dokter suka ayam rica-rica. Terus tadi liat ayam di kulkas, dia pengen masak. Saya iyakan saja. Maaf kalau Pak Barra nggak berkenan." Mak Ni merasa bersalah. "Nggak apa-apa," jawab Barra kemudian melanjutkan makannya. Ternyata hanya kebetulan saja, bukan karena mereka tahu apa yang disukainya. Kebetulan yang benar-benar kebetulan. Sebab Delia dan Samudra menyukai masakan yang sama seperti kesukaannya. "Bilang ke Delia, Mak. Nanti jam tujuh malam saya ajak ke rumah mama saya untuk dinner. Mama menelepon tadi," pesan Barra pada asisten rumah tangganya. Karena Delia tidak mendekatinya hingga sang suami selesai sarapan dan hendak berangkat ke kantor. "Iya, Pak Barra." * * * Matahari telah lengser ke langit barat, saat Barra melangkah masuk ke sebuah restoran. Tadi Samudra menelepon untuk mengajaknya bertemu setelah pulang kerja. Malas juga sebenarnya, tapi jika ingat kemarin Delia menelepon kakaknya itu. Barra jadi kepikiran, siapa tahu istrinya telah menceritakan hubungan antara dirinya dan Cintiara. Dia tidak akan mengelak, bahkan bertekad akan mengakuinya saja. "Mau minum apa?" tanya Samudra setelah Barra duduk di kursi depannya. "Nggak usah. Aku nggak akan lama. Ada apa ingin bertemu denganku?" "Bagaimana kabarnya Delia?" Barra tersenyum sinis. "Kenapa tanya padaku? Bukankah kamu bisa bertanya langsung padanya. Tadi malam kalian ngobrol juga di telepon, kan?" Samudra menarik napas sejenak. Rupanya Barra tahu kalau tadi malam dirinya dan Delia berbincang di telepon. "Kalau dia mau jujur, aku nggak akan bertanya padamu. Delia meneleponku, tapi nggak bilang apa-apa. Hanya menangis saja." Barra diam menatap laki-laki tampan di hadapannya. Ternyata Delia tidak menceritakan tentang dirinya dan Cintiara. "Barra, ketika Delia akan menikah denganmu. Dia hampir pulih. Tapi tampaknya sekarang malah makin tertekan. Jangan sampai depresinya kambuh lagi. Jika memang kamu nggak mencintainya, tapi setidaknya kamu memiliki empati terhadapnya dan bicarakan baik-baik dengan keluarga." "Kamu begitu peduli." "Karena aku kakaknya." "Kakak angkat." Samudra tersenyum dan tetap bersikap tenang. "Ya, aku hanya kakak angkat. Aku hidup dan dibesarkan oleh keluarganya. Aku akui itu karena kenyataannya memang demikian. Aku bisa memakai seragam dokter juga karena keluarganya. Aku sadar asalku dari mana. Untuk itu aku sangat peduli pada Delia. Dia adikku." "Adik yang diam-diam kamu cintai." Perkataan datar Barra membuat Samudra terkesiap. Bagaimana bisa laki-laki itu tahu tentang perasaannya? * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN