Penunggang Tangguh 1

973 Kata
Cinta yang Kau Bawa Pergi - Penunggang Tangguh Barra termenung di kursi ruang kerjanya sambil memperhatikan map warna kuning yang ada di atas meja. Di situ sudah lengkap surat-surat persyaratan untuk pengajuan nikah secara hukum negara. Namun perkataan Delia tadi malam masih tergiang di telinga. "Nggak usah, Mas. Nggak perlu ngurus surat nikah ke KUA. Mas, layak mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik dariku. Aku ini ... perempuan nggak waras. Kekasihmu pasti jauh lebih baik untuk menjadi istrimu." Tidak waras. Dirinya pernah mengatakan hal itu juga, tapi sekarang kenapa ikut merasakan sakit ketika Delia mengatai dirinya sendiri. Sekejam itukah Barra? Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan laki-laki berkemeja warna biru itu. "Masuk!" perintahnya. Muncul office boy yang tadi dimintanya untuk membelikan makan siang karena ia malas keluar. "Makasih," ucapnya pada pemuda yang mengangguk hormat padanya. Baru saja membuka kotak nasi, ponselnya di atas meja berdenting. [Aku sedang makan siang. Kamu sudah makan apa belum?] Cintiara mengirimkan pesan di sertai foto menu lontong balap di piring. [Ini mau makan.] balas Barra. [Makan apa?] Barra memotret nasi rames di kotak dan mengirimkan pada Cintiara. [Wow, enak itu. Sore nanti jemput aku ya!" [Nggak bisa. Sepulang kerja aku langsung ke rumah mertua.] [Sebentar saja nggak bisa? Aku pengen liat keadaan kamu. Waktu kamu sakit aku nggak bisa menjengukmu.] [Aku nggak apa-apa. Aku sudah sehat.] [Dia merawatmu saat sakit kemarin?] [Ya.] Hening. Lama baru ada balasan lagi dari Cintiara. [Baiklah! Aku makan dulu!] Balas gadis itu pada akhirnya. Barra terdiam sesaat. Kemudian mengeluarkan sendok plastik dari bungkus plastik dan mulai makan. Kapankah hubungannya dengan Cintiara akan berlanjut ke muara? Sementara dirinya masih terikat pernikahan dengan Delia. Walaupun istrinya menolak mendaftarkan pernikahan mereka ke KUA, bukan berarti perkawinan mereka akan segera berakhir. Orang tuanya dan orang tua Delia tentu tidak akan tinggal diam begitu saja jika dirinya berniat hendak bercerai. Hubungan mereka terjalin sangat baik. Sampai orang tuanya pun nekat menjodohkannya dengan Delia yang masih mengalami gangguan mental. Dan Delia yang belum pulih benar harus menikah dengan Barra. Pak Adibrata tidak mau tahu kalau Barra punya kekasih. Laki-laki paruh baya itu memang tidak merestui hubungan putranya dengan perempuan bernama Cintiara. Bukan karena gadis itu anak orang biasa. Orang tua Cintiara pun cukup berada. Ayahnya seorang dosen dan ibunya seorang pemilik katering yang cukup terkenal di kota Surabaya. Hanya saja baik papa maupun mamanya Barra tidak menyukai Cintiara karena mengira, Cintiara hanya ingin memburu kekayaan Barra. Belum juga selesai makan, ponsel di meja kembali berdering. "Ya, Pa," jawab Barra. "Berkas-berkas kalian sudah siap? Segera masukkan pendaftaran ke KUA. Jangan ditunda, Barra!" "Milikku sudah lengkap, Pa. Termasuk surat keterangan pernikahan siri kami. Punya Delia yang belum. Mungkin bisa ditunda dulu sampai minggu depan. Sabtu-Minggu kan libur, Pa. Kami juga ada acara kumpul keluarga di rumah papa Irawan." "Oke kalau gitu. Senin depan semuanya harus sudah lengkap." "Ya," jawab Barra kemudian menutup panggilannya. * * * Dua lelaki duduk berhadapan di sebuah rumah makan tak jauh dari rumah sakit. Samudra dan Pak Irawan sedang makan malam bersama. Mereka sesekali dinner berdua jika ada kesempatan, menghabiskan waktu di arena bulutangkis, atau menonton pertandingan bola di Gelora Bung Tomo atau Gelora 10 November. Kebetulan sepulang dari kantor, Pak Irawan mengadakan pertemuan dengan rekan bisnisnya tidak jauh dari rumah sakit tempat Samudra bekerja. Jadi sekalian saja menelepon putra angkatnya untuk dinner bersama. Pak Irawan merangkul Samudra seperti anaknya sendiri. Saat kehilangan kedua orang tuanya, Samudra baru berusia sembilan tahun. Sebagai rekan baik keluarga anak lelaki itu, Pak Irawan dan Bu Hesti mengambil Samudra yang yatim pintu sebagai anak angkat. Menjadi kakak untuk putri-putrinya. Kebetulan mereka juga tidak memiliki anak lelaki. "Nira tadi siang menelpon saya, Pa. Katanya besok mau ikut hiking teman-teman kuliahnya. Saya disuruh membujuk agar papa ngizinin," kata Samudra sambil mengunyah nasi. "Adikmu sudah bilang sejak seminggu lalu, tapi kami nggak ngizini. Ngeyel dia, Sam." "Padahal saya sudah bilang, Pa. Kalau besok kita kumpul di rumah. Delia juga pulang. Kita juga sudah lama nggak ngumpul." "Terus?" "Sepertinya Nira tetap kekeuh ingin pergi." "Bandelnya minta ampun adikmu yang satu itu. Nanti kalau mamanya mengamuk baru tahu rasa dia. Uang sakunya bisa di sunat." Samudra tersenyum mendengar papanya bicara. "Terus kapan kamu ngenalin cewek ke rumah kita? Besok kita ngumpul di rumah lho. Pas kan waktunya." "Belum ada, Pa." Pak Irawan meraih tisu untuk mengelap mulutnya karena telah menyudahi makan. Di sesapnya teh hangat kemudian bicara pada putranya. Anak lelaki yang selalu terbuka dan tidak pernah menyembunyikan sesuatu dari orang tua. Kecuali urusan asmara, Barra sangat tertutup rapat. "Sudah waktunya kamu memikirkan pernikahan, Sam. Usiamu sudah cukup untuk menikah. Kalau kamu anak perempuan, pasti sudah kami carikan pasangan. Tapi kamu laki-laki, Papa dan Mama nggak mau ikut campur soal jodoh. Kami ngasih kebebasan sama kamu." Mendengar papanya mulai bicara serius, Samudra juga menyelesaikan makan dan minum jeruk hangatnya. "Makasih, Pa. Tapi untuk saat ini saya belum ingin menikah. Saya ingin benar-benar siap, baru menikah. Saya masih menabung untuk membeli rumah." "Sam, papa kan sudah bilang. Setelah kamu menikah nanti, rumah kita yang ada di Graha Mutiara akan jadi milik kamu. Nggak usah pikirkan soal tempat tinggal. Tabungan asuransi milik mamamu juga masih ada." Mendengar kalimat papanya, Samudra menunduk. Dia tidak bisa mendengar kedua orang tuanya disebut. Hatinya akan kembali terasa pilu. Kenangan singkat tentang masa kecilnya bersama mereka kembali terbayang. Meski dia mendapatkan pengganti orang tua angkat yang memperlakukannya dengan sangat baik. Bahkan mereka membesarkan dirinya tanpa memakai uang asuransi milik ibunya. Sebab asuransi jatah untuk papanya telah diambil oleh keluarganya yang rakus. Dengan dalih takut dimanfaatkan oleh Pak Irawan yang notabene hanya sekedar teman. Padahal mereka sendiri tidak peduli pada Samudra yang yatim pintu. "Sam, maafkan papa kalau membuatmu sedih." "Nggak, Pa," jawab Samudra sambil tersenyum. Lelaki yang selalu bisa menahan air matanya agar tak jatuh lagi. Air mata yang telah terkuras untuk menangisi kepergian kedua orang tuanya dua puluh tiga tahun yang lalu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN