Penunggang Tangguh 2

1110 Kata
Pak Irawan kemudian mengalihkan percakapan dengan membahas bisnisnya. Samudra anak yang paling bisa mengerti kalau diajak cerita, meski bisnis bukan dunianya. Dia tidak perlu lagi membahas tentang jodoh untuk Samudra. Sejak awal dia dan istrinya sudah sepakat memberikan kebebasan pada sang putra. Padahal banyak rekan bisnis mereka yang memiliki putri berprestasi, ada yang dokter juga, bahkan sudah ada rekan Pak Irawan yang berniat menjodohkan putrinya dengan Samudra. Namun Pak Irawan tidak ingin memaksakan kehendaknya. Dia menghargai keputusan anak lelakinya. Nanti saja kalau sudah kelewat usia dan Samudra belum segera menikah, baru mereka akan mengambil sikap. * * * Sabtu pagi keluarga Pak Irawan bersiap-siap hendak bepergian. Tadi malam telah disepakati kalau mereka akan traveling hari itu. Kulineran, pergi ke pacuan kuda, dan akan menginap di Malang. Kebetulan Samudra tidak ada jadwal piket untuk hari Sabtu ini. Dua mobil dipersiapkan. Satu mobil milik Pak Irawan, satunya lagi mobil milik Barra yang akan dikendarai Barra sendiri bersama Delia. Sedangkan Samudra mengemudikan mobil milik papanya. "Nira, kamu ikut kami atau ikut mobil kakakmu?" tanya Bu Hesti pada putri bungsunya ketika mereka telah bersiap di halaman rumah. Nira menatap genit sang kakak. "Ikut Mama ajalah, kalau ikut Mbak Delia, entar aku yang baper. Hiks," jawab Nira menggoda Delia. Yang digoda hanya diam menatap sang adik. Kalau dulu mereka bisa saling ejek dan bercanda. Namun setelah kejadian itu, upaya Nira untuk mencandai kakaknya jarang berhasil. Delia yang dulu paling jago bergaul, kini menjadi introvert. Dia lepas dari lingkaran pertemanannya. Hanya satu teman yang masih sering mengajaknya berkomunikasi. Teman baik Delia yang kini sudah menikah dan memiliki bayi umur lima bulan. Mei, gadis yang menjadi best friend sejak mereka masih sama-sama duduk di bangku SMA. Sementara yang lainnya sudah sibuk dengan aktivitas masing-masing. Sibuk dengan pernikahan dan karirnya. Teman seperti Delia yang terganggu mentalnya sudah tidak bisa memberikan keuntungan, jadi memang sengaja ada yang meninggalkan. Masih ada juga yang peduli selain Mei, tapi hanya sekedar bertanya kabar lewat Mey atau Nira. Untuk mengunjungi sudah tak sempat, tak ada waktu karena kesibukan. Samudra memandang Barra yang membukakan pintu untuk Delia. Sejak berkumpul untuk makan malam dan ngobrol bersama semalam, mereka tak banyak berinteraksi. Barra sibuk membahas bisnis mereka dengan papa mertua, sedangkan Samudra lebih banyak ngobrol dengan mama dan dua adik perempuannya. Mereka mampir untuk sarapan di kedai nasi pecel khas Madiun. Kemudian melanjutkan perjalanan ke area wahana wisata berkuda dan panahan di wilayah Tanggulangin, Sidoarjo. Dari tempatnya berdiri, Delia memperhatikan beberapa pengunjung yang beraksi menunggang kuda di lapangan. Mereka adalah orang awam yang belajar berkuda dengan berbayar. Yang sudah ahli, terlihat sangat lincah. Biasanya mereka adalah atlet berkuda dan panahan. Area wisata itu memang memiliki lahan yang sangat luas dan dikelilingi oleh pagar dari besi. Samudra masih diam memperhatikan Delia yang melihat ke area lapangan. Membiarkan sang adik mengingat kenangannya saat dengan lincahnya melompat ke atas punggung kuda dan hewan terkuat itu akan berlari di bawah kendalinya. Samudra lebih mendekat lagi pada Delia yang berdiri di samping suaminya. "Delia, mau nyoba nunggang kuda?" tanya Samudra pada sang adik. Mungkin ini bisa menjadi salah satu cara membangkitkan lagi rasa percaya dirinya. Delia menatap sang kakak dengan ragu. "Mas temani!" kata Samudra lagi. Membuat Barra tidak suka mendengar dan melihatnya. Namun ia pun tidak bisa mencegah. Di hadapan keluarga, yang mereka tahu itu hanya bentuk perhatian seorang kakak pada adiknya yang pernah mengalami depresi. Apalagi Samudra adalah seorang dokter yang paham dengan keadaan Delia. "Ayo!" ajak Samudra lagi ketika melihat Delia masih ragu. Antara ingin mencoba dan takut. "Kamu bisa. Nanti Mas yang jagain." Gadis yang memakai celana jeans dan blouse warna putih itu menatap sang kakak. Untuk memastikan bahwa ia akan aman untuk kembali mencoba. "Ayo, Sayang. Dicoba dulu. Jika kamu takut, bisa berhenti!" Bu Hesti mendekat dan menyemangati putrinya. "Atau Barra mau nyoba juga?" tanya wanita itu pada sang menantu. Barra yang biasa olahraga futsal atau bersepeda itu tersenyum pada mama mertuanya. "Nanti saja, Ma," jawabnya sopan. Badannya juga belum benar-benar pulih dari meriang. Sisa masuk angin masih membuat tubuhnya terasa pegal. "Jangan kalau Barra, dia baru sembuh. Padahal kita masih mau ke Malang juga," ujar Pak Irawan membela menantunya. "Okelah, Delia saja sama Samudra. Ayo, mama mau lihat kamu seperti dulu, Delia!" Setelah diam berpikir, akhirnya Delia mengangguk. Samudra mengajaknya masuk arena dan menemui petugas di sana. Satu kuda warna cokelat dipilih Delia, sedangkan Samudra memilih si hitam manis. "Tarik napas dulu, buang. Lakukan lagi!" Samudra menyuruh Delia melakukan hal itu hingga beberapa kali. Kemudian membiarkan sang adik mengelus kuda yang sangat gagah. Setelah Delia mengangguk, Samudra membantunya naik ke atas pelana kuda. Awalnya Delia tegang. Kemudian mulai rileks dan enjoy. Samudra mengendalikan tali kekang kudanya sambil terus memperhatikan sang adik. "Kamu oke?" Delia tersenyum. Samudra melihat tak ada lagi wajah tegang seperti permulaan tadi. Bahkan Delia sangat menikmati setelah selesai putaran pertama. Lima belas menit kemudian, Delia mulai lincah dan berani membuat kuda itu berlari satu putaran, kemudian berhenti mendekati Samudra. Tampak kepuasan terlihat di wajah cantik Delia. Dan gadis itu merasakan kebebasan dari suatu perasaan yang membelenggunya selama ini. "Kamu hebat!" puji Samudra. "Aku mau nyoba lagi, Mas." "Hati-hati, kamu baru memulainya hari ini!" "Hu um." Kembali kuda itu di pacu untuk berjalan, agak cepat, kemudian berlari kencang membawa tubuh Delia yang ikut terguncang di atas punggung kuda. Rambut hitamnya yang dibiarkan terurai, terbang diembuskan angin. Bu Hesti dan Nira tepuk tangan kegirangan. Mereka turut bisa merasakan kebebasan Delia. Pak Irawan diam memperhatikan dengan netra yang mulai berkabut. Dia bisa melihat lagi putrinya yang dulu. Melihat keceriaan yang mulai terbit pada diri Delia. Nira mengambil ponsel dan merekam aktifitas kedua kakaknya. Sementara Barra melihat Delia dengan rasa yang berbeda, antara takjub bercampur tidak suka melihat interaksi antara istrinya dan Samudra. "Oke, Delia. Cukup untuk hari ini. Kita bisa mencobanya lagi lain hari!" Samudra mengejar Delia dengan kudanya. Meminta sang adik untuk berhenti. "Kejar aku, Mas!" Bukannya berhenti, Delia memacu kudanya lagi. Mereka sempat berkejaran dan berhenti setelah dua kali putaran. Napas Delia tentu saja ngos-ngosan dan keringat membasahi wajah dan tubuhnya karena sudah lama tidak berolahraga berat. Namun ia bisa tertawa bahagia ketika berjalan keluar arena. Delia disambut pelukan oleh sang mama dan adiknya, kemudian Pak Irawan. Barra mendekat, saling berpandangan dengan sang istri. "Mas Barra, peluk Mbak Delia juga dong! Nggak usah malu," teriak Nira. Membuat Barra yang semula ragu lalu meraih juga tubuh Delia dan mendekapnya. Tubuh yang sempat membuatnya tidak bisa tidur malam itu. Pelukan pertama setelah hampir dua bulan ini menikah. Entah itu pelukan apa? Terpaksa atau memang rengkuhan yang ikhlas. Samudra yang berdiri dengan kedua tangan di masukkan dalam saku celana tersenyum melihat hal itu, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain untuk menetralisir perihnya hati. * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN