Satu Hari di Villa 1

1028 Kata
Cinta yang Kau Bawa Pergi - Satu Hari di Villa Sepanjang perjalanan tol Sidoarjo-Malang Delia sibuk dengan ponselnya. Dia melihat ulang video yang dikirimkan oleh sang adik. Senyum menghiasi bibirnya yang merah muda alami tanpa polesan lipstik. Di video itu Samudra memilih menjajarinya ketimbang menuruti tantangannya untuk berpacu dengan tunggangan masing-masing. Pasti kakaknya khawatir, karena baru pertama kali setelah setahun ini dirinya tidak pernah menunggang kuda. Makanya lebih memilih menjaganya daripada berlomba. "Kamu kakak yang baik, kamu anak yang berbakti, tentunya kamu akan jadi suami idaman yang sangat bertanggungjawab. Semoga kamu akan mendapatkan jodoh wanita sholehah, Mas." Doa tulus dalam hati Delia untuk Samudra, sambil menatap lekat video di layar ponsel. Apa yang dilakukan Delia tidak luput dari perhatian Barra. Walaupun laki-laki itu tengah mengemudi dan fokus pada jalan tol yang ramai oleh pengguna jalan. Namun ia tahu apa yang sedang dilakukan istrinya. Kira-kira apa tanggapan Delia jika laki-laki yang dianggapnya kakak, ternyata menyimpan perasaan padanya? Mengingat kebersamaan Delia dan Samudra di pacuan kuda tadi membuat Barra merasa tak nyaman. Pria itu kembali fokus pada jalananan. Setiap akhir pekan begini tol Surabaya- Sidoarjo-Malang memang ramai. Untuk menghabiskan libur akhir pekan yang hanya dua hari, kadang cuma sehari saja, orang-orang lebih memilih ke Malang untuk staycation melepas lelah. Hanya butuh waktu 1 jam 30 menit mereka sudah bisa terlepas dari bisingnya kota metropolitan. Menyepi sejenak menikmati suasana alam. Pak Irawan tadi sudah bilang pada Barra, kalau langsung menyuruhnya menuju ke Songgoriti saja. Di vila miliknya. Esok mereka bisa melakukan olahraga paralayang sambil menghabiskan waktu bersama. "Tidurlah kalau kamu capek." Barra membuka suara setelah empat puluh lima menit saling diam dalam perjalanan. Delia menggeleng pelan dan memperhatikan sepanjang tol. Langit di atas sana biru cerah. Awan putih yang mengapung terlihat seperti gumpalan kapas yang melayang di udara. Lagu instrumental mengalun dari head unit mobil melengkapi suasana cerah siang itu. "Hari Senin lusa, siapkan berkas kamu untuk pengajuan nikah ke KUA," kata Barra memulai bicara "Nggak usah," jawab Delia tanpa menatap suaminya. "Kita nggak perlu lagi berpura-pura dengan pernikahan ini. Tentu Mas tersiksa kita harus berusaha terlihat baik-baik saja dihadapan keluarga. Sementara ada kekasih yang tengah menunggumu, kan? Aku mau kita segera selesaikan saja pernikahan ini." Barra memandang Delia. Mungkin di antara mereka tak ada chemistry yang tercipta. Tapi perceraian baru dua bulan pernikahan bukankah itu terlalu cepat? Urusan pekerjaan sangat merunsingkan pikirannya. Barra tidak ingin terbebani dengan masalah baru dengan perceraian mereka yang tentu saja akan ditentang oleh dua keluarga. Dia tidak ingin menambah masalah sebelum projek barunya berjalan dengan baik. Karena ini akan menjadi pencapaian luar biasa setelah pernah tumbang karena kecerobohannya dua tahun yang lalu. Soal Cintiara yang terus menunggunya dan tambah posesif sekarang, Barra bisa mengatasinya. "Nanti surat keterangan akan diurus dan dibuat oleh asistenku," jawab Barra tanpa mempedulikan perkataan Delia tadi. Delia pun diam karena malas untuk bicara. Lelaki ini sama sekali tidak mengerti bagaimana harus menghargai perasaannya. Seenaknya saja dia menelepon kekasihnya padahal ada Delia di dekatnya. Pernikahan mereka hanya di atas kertas saja. "Oke, kalau itu yang kamu mau. Akan kuikuti permainanmu, Mas. Sampai kapan kamu sanggup bertahan, sementara di sana perempuanmu terus menuntut untuk kejelasan hubungan kalian. Aku nggak punya kekasih yang harus kujaga perasaannya. Jadi, bebas untukku mengikuti permainanmu," batin Delia sambil tersenyum samar. Mobil Barra mengikuti mobil depannya yang dikemudikan oleh Samudra. Memasuki halaman sebuah villa di Songgoriti, Batu-Malang. Villa dua lantai dengan arsitektur unik berkonsep klasik. Halaman depannya sangat luas dengan rerumputan menghijau yang tumbuh di sela-sela paving. Garasi di bangunan terpisah samping villa, cukup untuk menampung empat mobil. Di bagian belakang ada pondok kecil dengan bangunan permanen yang tak kalah unik. Itu tempat tinggal untuk penjaga villa. Wilayah Songgoriti memang menjadi tempat percutian favorit para wisatawan. Sejak zaman kolonial, tempat itu sudah dipenuhi oleh villa dan hotel. "Kita istirahat dulu di dalam sambil nunggu pesanan makan siang kita datang," ajak Pak Irawan pada anggota keluarganya. Dalam perjalanan tadi Bu Hesti sudah memesan menu makan siang dari restoran langganan mereka. Seorang laki-laki tua penjaga villa menghampiri dan menyalami Pak Irawan dan Bu Hesti. Mereka berbincang sejenak. Sementara yang lainnya langsung masuk ke villa setelah bersalaman dengan laki-laki tua yang dipanggil Pak Marwan. Kamar Delia dan Nira berada di lantai atas. Sedangkan kamar Pak Irawan dan Samudra ada di lantai bawah. Delia berdiri di balkon kamarnya sambil menghirup udara dingin kota Malang. Suasana sejuk dan nyaman, sambil melihat pemandangan menghijau di lembah Gunung Banyak. Jika melihat di kejauhan lagi, tampak Gunung Mahameru yang puncaknya ditutupi awan berdiri dengan gagah. Mahameru nama lain dari Gunung Semeru. Sejak dulu villa ini menjadi tempat staycation keluarga di akhir pekan. "Kamu nggak ganti baju dulu. Celanamu kena lumpur di pacuan kuda tadi." Barra menunjuk celana jeans Delia dibagian betisnya. Membuat wanita itu juga melihat ke arah yang sama. "Iya, nanti aku ganti." Mereka berdua berdiri sambil menikmati segarnya udara pegunungan, meski tengah hari hawa di sana tetap saja sejuk. Beberapa burung layang-layang tampak terbang beriringan di udara, lalu menyelinap di antara dedaunan. Songgoriti memang layak di kunjungi. Merupakan salah satu wisata legendaris di kota Batu. Tempat yang tidak membuat orang bosan untuk datang lagi ke sana. Berbeda dengan keluarga Delia, keluarga Barra lebih suka menghabiskan waktu liburan di Tawangmangu. Mereka punya satu villa di sana. Ke Malang biasanya hanya untuk berburu kuliner saja. Suara ketukan di pintu kamar membuat Delia menoleh. "Mbak dan Mas Barra, ayo turun dulu untuk makan siang. Udah ditunggu mama," teriak Nira dari luar. "Iya!" jawab Delia. "Kita makan dulu, Mas." Barra mengikuti Delia turun ke lantai bawah. Di meja oval ruang tengah villa, sudah siap hidangan ikan dan ayam bakar, ada juga sayur lodeh, dan aneka sambal. Ada juga bakso bakar dan beberapa jenis buah segar di keranjang. "Ayo, makan dulu. Biasa di Surabaya kita minum es. Di sini kita minum teh panas," ujar Bu Hesti sambil menaruh teko kaca di tengah meja. Mereka makan siang bersama-sama sambil berbincang. "Delia, badanmu nggak sakit semua. Udah lama lho nggak naik kuda?" tanya Bu Hesti pada putri keduanya. "Iya, Ma. Udah terasa pegalnya ini," jawab Delia sambil menuangkan teh hangat untuk Barra dan Samudra. "Mama udah bilang sama Mbok Marwan untuk minta urut siang ini. Kalau mau, kamu entar malem aja ya!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN