Satu Hari di Villa 2

956 Kata
Mbok Marwan ini istrinya Pak Marwan. Rumah mereka tidak jauh dari villa. Di kawasan rumah penduduk di Desa Songgokerto. Pijatan tangannya bikin nagih, nggak kalah sama di spa yang sering di kunjungi oleh Bu Hesti dan Delia. Justru malah lebih terasa pijatan tangan Mbok Marwan. Wanita sepuh yang masih suka memakai kebaya kutu baru dan jarik batik. "Iya, Ma," jawab Delia. Setelah itu ia hanya menjadi pendengar percakapan ketiga laki-laki di sana. Apalagi kalau bukan bicara tentang bisnis. Barra memang jagonya kalau bicara tentang seluk beluk dunia usaha. Sementara Samudra hanya sesekali menimpali. Bukannya tidak paham sama sekali, karena dia sedikit banyak tahu karena sejak kecil hidup dalam lingkungan keluarga pebisnis. Dia juga memiliki darah bisnis dari kedua orang tuanya. Hanya saja dia lebih tertarik untuk menjadi dokter. Profesi yang mendedikasikan diri untuk membantu orang yang bermasalah dalam bidang kesehatan. Delia kembali masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Dia memakai daster bercorak polkadot warna toska sebatas lutut. Rasa gamang dan takutnya berada dalam satu kamar dengan Barra kian terkikis. Toh dua bulan bersama, pria itu cukup anteng. Tentu saja tidak berselera karena yang dia cintai hanya Cintiara. Buktinya ketika melihat dirinya hanya memakai dalaman saja, pria itu memilih pergi meninggalkannya. Padahal Delia sebenarnya sangat ketakutan waktu itu. Selesai makan kantuknya datang, karena faktor kelelahan juga. Menunggu beberapa menit lagi untuk rebahan sudah tidak tahan. Jika Samudra tahu habis makan langsung tidur, pasti dirinya kena tegur. Barra masuk kamar setelah Delia terlelap. Istrinya tidur miring menghadap ke dinding seperti biasanya. Enam puluh hari ini, belum pernah sekalipun Delia tidur menghadap dirinya. Betah sekali tubuhnya miring ke satu arah saja. Beberapa saat lamanya Barra memandang wanita yang telah pulas dengan selimut menutupi kakinya. Setelah itu perlahan Barra merebahkan diri di sebelah Delia. Terlentang menatap langit-langit kamar. Namun getar ponsel di atas nakas membuatnya menoleh dan meraih benda itu. Pesan masuk dari Cintiara. Menanyakan keberadaannya. [Aku liburan ke Songgoriti bersama keluarga mertua.] [Nginap?] [Iya.] [Benarkah kamu nggak pernah menyentuhnya, Barra?] Barra menghela nafas panjang, kemudian mengabaikan pesan itu dan mengembalikan ponsel ke tempatnya semula. Diabaikannya benda pipih yang terus berpendar. * * * Kabut senja turun melayang menyelimuti kawasan Songgoriti. Di kejauhan lampu-lampu penduduk dan lampu kota Batu sudah menyala. Menampilkan pemandangan apik, kelap-kelip lampu yang berbaur panorama senja dengan rona jingga di langit sebelah barat. City light. Hawa dingin menyusup, sweater warna merah jambu membalut tubuh langsing Delia. Rambutnya tetap saja dibiarkan terurai. Dia asyik berbicara dengan adiknya di bangku semen yang ada di halaman villa. Menghadap ke sebelah barat, menyaksikan rona jingga yang kian memudar di telan gelap malam. Twilight. "Mbak, kapan mau punya bayi?" Pertanyaan mendadak dari Nira yang membuat Delia melongo. "Masa iya mau honeymoon terus? Ayolah, mama udah kangen banget pengen gendong bayi lagi. Cucunya tentu saja." Delia yang berdebar-debar hanya menjawab pertanyaan itu dengan senyuman. Kedua lengan makin erat memeluk tubuhnya sendiri. "Kok senyum doang, sih? Dua bulan sudah cukuplah untuk bersenang-senang. Aku juga pengen punya keponakan tau. Apalagi kalau cewek, pasti lucu." Nira terus saja berbicara tanpa peduli debaran hebat yang ada dalam benak sang kakak. Ketiga bersaudara itu sebenarnya gadis-gadis periang. Mereka selalu ceria disegala suasana. Tapi Nira yang paling jahil di antara kedua saudaranya. Hanya keadaan yang membuat Delia berubah. Namun sudah terlihat mulai ceria lagi saat di pacuan kuda tadi pagi. "Mbak, kok diam sih?" tanya Nira lagi. Jika Samudra tahu, pasti Nira sudah kena tegur kalau dia mendesak sang kakak. "Tapi Mas Barra cool banget, ya? So sweet deh!" Delia kembali tersenyum. Cool karena memang tidak menyukainya. Dia punya kekasih yang sangat dicintainya. Ah, Nira hanya tidak peka dengan apa yang terjadi dalam hubungan pernikahan kakaknya. "Ayo, masuk. Aku mau shalat Maghrib terus urut." Delia bangkit dari duduknya dan diikuti oleh sang adik. Selesai shalat, Delia memeriksa ponselnya. Ada beberapa pesan masuk dari Mei. Temannya itu menanyakan kabarnya. Mei memang teman yang benar-benar care padanya. Sekarang saja jarang bertemu setelah dia melahirkan. Kemarin-kemarin masih sering menyambangi Delia ke rumah. Malam itu papanya mengajak untuk dinner di luar. Tapi Delia memilih tinggal di villa karena badannya terasa kecapean setelah lumayan lama terguncang di atas punggung kuda. Mbok Marwan juga sudah menunggunya. Lagian masih ada lebihan menu makanan tadi siang. "Mas, aku mau bikin mie instan. Kamu mau dibikinin sekalian apa makan sama ayam panggang tadi. Biar aku angetin di microwave?" tanya Delia pada Barra yang berdiri di teras dapur sambil menatap angkasa malam. "Sama kayak kamu saja," jawab laki-laki itu kemudian masuk ke dapur dan duduk di kursi ruang makan. Delia mulai memasak mie instan rasa soto ayam dua bungkus, setelah memastikan dua benda itu tidak kadaluarsa. Di rak makanan selalu tersedia makanan sejuta umat itu untuk berjaga-jaga kalau mereka kelaparan dan malas untuk keluar. Dua mangkuk mengepulkan asap beraroma khas soto yang membuat mulut tak sabar untuk menyantap, apalagi dalam situasi dingin begini. Mereka berdua makan tanpa percakapan. Tepat setelah mencuci mangkuk, Mbok Marwan datang. Delia langsung mengajak naik ke kamarnya. Karena biasanya dia langsung ketiduran setelah dipijat. "Pakai kain saja, Mbak. Biar enak. Ada kain nggak? Kalau nggak ada biar si mbok ambilin jarik di pondok." "Nggak usah, Mbok. Saya punya kain pantai." Delia mengambil benda itu dari lemari. Kemudian pergi ke kamar mandi untuk melepaskan pakaian. Satu jam kemudian Mbok Marwan pamitan pulang pada Barra yang duduk sofa luar kamar. "Saya pulang dulu, Mas. Mbak Delia-nya sudah tertidur." "Iya, Mbok. Makasih." Barra segera beranjak ke kamar. Tak ada lelaki normal yang tidak terkesiap melihat posisi tidur Delia yang hanya terbelit kain sebatas d**a hingga setengah paha. Mengekspos kulit putihnya yang baik batu pualam. Apalagi jika perempuan itu istrinya. Penampilan Delia menggugah satu sisi lain dalam dirinya. Terlepas adanya perasaan cinta atau pun tidak. Barra menghampiri, kemudian menyelimuti istrinya yang tengah tidur dengan pulas. * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN