Godaan 1

948 Kata
Cinta yang Kau Bawa Pergi - Godaan Barra belum bisa terlelap. Di sebelahnya Delia masih tidur dengan pulas. Hawa dingin pegunungan sangat mendukung untuk memanjakan diri tidur lebih nyaman, apalagi tubuh Delia juga lebih relaks setelah di pijat tadi. Namun Barra yang tersiksa. Ada yang memberontak dalam diri dan membuatnya tidak bisa tidur hingga dini hari. Bangkit dari pembaringan, berdiri di pintu kaca balkon sambil menatap pekatnya malam tanpa batas, lantas berbaring lagi. Dan begitu terus berulang-ulang. Tidak munafik. Sebagai laki-laki dewasa dia menginginkannya. Kalau meminta pun itu adalah haknya, tapi ... sungguh sangat rumit. Barra keluar kamar dan menuruni tangga. Dia berhenti ketika melihat lampu ruang tengah masih menyala. Ternyata Samudra duduk sendirian di sofa. Namun pandangannya bukan pada layar televisi yang menyala dan menayangkan acara pertandingan bola. Samudra seperti sedang termenung. Apa laki-laki itu juga tidak bisa tidur seperti dirinya? Setelah diam lama di anak tangga, akhirnya Barra kembali lagi naik ke lantai atas. Masuk kamar dan kembali merebahkan diri. Lelah bangun, berbaring, miring kanan, miring kiri. Kepalanya terasa sakit seperti ada beban berat yang menusuk-nusuknya. Tentu saja ini bukan sakit kepala seperti biasanya. Ini berbeda dan Barra membencinya. Napas pria itu tersengal dan membuatnya terbangun lalu menghabiskan setengah botol air mineral yang ada di nakas. Suasana malam yang sangat hening, sunyi. Berbanding terbalik dengan Surabaya yang penuh kebisingan. Barra gelisah dan sesekali menyugar kasar rambutnya dengan frustasi. Setelah beranjak dewasa sering timbul keinginan seperti itu, tapi ini lebih parah lagi karena ada yang halal di depan mata, tapi ia tidak bisa melakukannya. Akhirnya Barra terlelap menjelang jam empat pagi. Gantian Delia yang terbangun karena merasakan tubuhnya makin kedinginan menjelang subuh. Ia menggeliat pelan, merenggangkan otot karena semalaman tidur dalam posisi yang sama, terlentang. Sejenak ia bisa merasakan punggung, tangan, kaki, terutama perutnya yang kemarin terasa kram saat menunggang kuda, kini terasa nyaman. Delia meraba tubuhnya dan kaget saat mendapati raga itu hanya berbalut kain pantai dan tertutup selimut. Akhirnya ia ingat terakhir sebelum terlelap. Mbok Marwan sedang mengurut tubuhnya dalam posisi terlentang. Tapi siapa yang menyelimutinya? Mbok Marwan atau Barra? Delia merinding. Bagaimana jika tadi malam Barra telah melihatnya? Wanita itu buru-buru turun dan memakai lagi bajunya yang dilipat rapi oleh Mbok Marwan di sofa pojok kamar. Lima menit kemudian, sayup-sayup terdengar azan subuh berkumandang dari kejauhan. Delia pergi ke kamar mandi, menyalakan heater water, supaya tidak kedinginan saat mencuci wajah dan berwudhu. * * * "Delia, kamu sudah bangun?" tanya Samudra pada Delia yang menyusulnya ke halaman depan. Wanita itu memakai hoodie tebal dan menggenggam tangannya di depan d**a. Sementara Samudra selain memakai jaket, juga memakai beanie hat atau topi kupluk penutup kepala dari bahan akrilik warna hitam. Pria yang menyembunyikan tangan di saku jaket itu memperhatikan adiknya yang mendekat. Suasana di luar masih gelap. Kabut tebal turun menutupi pemandangan lampu kota di kejauhan. Hening dan benar-benar sunyi. Jika saja ada benda jatuh, suaranya pasti terdengar keras layaknya bom atom. "Pulang jam berapa Mas tadi malam?" "Jam sebelas. Papa masih ketemuan sama rekannya. Bagaimana badanmu? Udah enakan?" "Ya, mendingan." "Sudah shalat subuh?" "Hu um." Kedua orang itu berdiri memperhatikan kabut tebal yang membatasi pemandangan. Dingin. Bahkan dalam pantulan cahaya lampu, embusan napas keduanya terlihat seperti asap yang meliuk ke udara. Samudra melihat jam tangannya. Jam lima lebih tiga puluh menit, tapi suasana masih sangat gelap. Matahari yang biasanya sudah menampakkan cahaya kekuningan kalau di Surabaya, di sini masih terhalang oleh perbukitan di kejauhan sana. "Mas suka lihat kamu enjoy saat menunggang kuda kemarin. Perubahan yang bagus, Delia. Lawan takut. Kamu harus bisa seperti dulu lagi. Ceria dan lincah." Delia mengangguk pelan. Keduanya berbincang sambil menunggu matahari muncul dari balik bukit. "Usahakan bisa berolahraga tiap hari walaupun sebentar. Seperti dulu saat kamu rajin senam. Biar bugar untuk menjaga kesehatan." "Ya, di apartemen juga ada treadmill." "Nah, itu. Bisa lari sebentar sehabis shalat subuh." Tak terasa matahari telah menampakkan diri. Kabut tebal pun perlahan mulai memudar. Pagi yang indah. Suasana mulai menghangat. Samudra sesekali memandang sang adik yang kini duduk berhadapan dengannya. Wajah putihnya tanpa sapuan bedak itu terlihat agak pucat karena menahan hawa dingin. Terkadang ia bertanya-tanya, apakah Barra sudah menyentuhnya? Pertanyaan yang sama yang pernah dilontarkan sang mama padanya dua mingguan yang lalu. Secara Delia menyaksikan sendiri bagaimana kakaknya di rudapaksa. "Mama sebenarnya khawatir, Sam. Bisa saja Delia akan kembali trauma jika Barra kasar padanya." "Ma, kenapa memaksakan perjodohan itu pada Delia?" Samudra memanfaatkan kesempatan itu untuk bertanya. Karena keputusan besar dibuat ketika Delia belum benar-benar pulih. "Karena kami melihat, Barra yang pada akhirnya bisa melanjutkan bisnis ini. Kamu sudah memilih karirmu sendiri, Sam. Setidaknya kami juga sudah mengenal baik keluarga Barra. Berteman dengan keluarga Pak Adibrata pun sudah puluhan tahun." Ini penjelasan dari mamanya. Namun Samudra tidak bisa mempercayai kalau hal itu yang menjadi alasannya. Pasti ada sesuatu yang tidak bisa mereka ungkapkan padanya. "Dulu waktu kita masih kecil, tiap akhir pekan selalu diajak ke luar kota oleh Papa. Terkadang menghabiskan waktu kita di villa ini. Mas, masih ingat waktu kita berlarian bertiga karena waktu itu Nira belum lahir." Ucapan Delia membangkitkan kenangan Samudra dan membuatnya tersenyum. Jelas saja ia ingat masa kecilnya bersama-sama adik angkat. Masa yang indah. Bagaimana ia juga harus menjaga kedua adiknya yang mulai beranjak remaja. Melia sebagai anak perempuan yang paling besar, justru mudah sekali terpengaruh dan gampang sekali percaya pada laki-laki. Yang salah satu dari mereka membuat hidupnya pun berakhir. Sementara Delia dan Nira yang periang malah terkesan dingin. Pagi itu mereka bernostalgia, bercerita dan tertawa bersama. Kenangan indah zaman kanak-kanak. "Nggak nyangka waktu cepet banget berlalu, Mas. Mbak Melia tiada, aku sudah menikah, Nira sekarang kuliah. Tinggal Mas Sam saja ini. Kerjaan mapan, usia cukup. Kapan Mas mau nikah? Banyak dokter muda cantik-cantik di rumah sakit?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN