"Udah siap rupanya," Seru Mureen dengan wajah berseri begitu ia melihat hidangan yang tersaji di atas meja makan, yakni nasi padang pesanannya.
"Udah dari tadi." Jawab Ramli tanpa berani memandang langsung ke arah Maureen.
"Tadi mandi dulu, gerah banget." Setelah mencuci kedua tangannya, Maureen pun mulai menyantap menu makan malamnya dengan begitu lahap, berbanding terbalik dengan Ramli yang sudah tidak berselera meski awalnya ia merasa sangat lapar. Pasalnya setelah melihat Maureen keluar dari kamar mandi dengan kondisi tubuh half naked, Ramli tidak bisa mengendalikan hatinya. Bagaimanapun juga ia adalah laki-laki normal, meski selama ini banyak yang menganggapnya tidak normal hanya karena ia tidak pernah mempunyai seorang kekasih. Karena hal itu juga yang menjadi pertimbangan Maureen tinggal dirumah Ramly, karena ia pun beranggapan Ramli tidak normal seperti gosip yang beredar selama ini. Dengan kata lain ia merasa aman karena Ramli tidak akan berbuat aneh padanya.
"Ren, apa kamu tidak berniat untuk memberitahu Barry tentang kehamilanmu ini?" Ramli membuka pembicaraan setelah beberapa waktu lalu mereka diam.
Seperti dugaan Ramli, Maureen hanya menggeleng lemah sebagai jawaban.
"Lalu bagaimana nasib bayimu nanti?"
Maureen menoleh dan menghela lemah, "Dia akan tetap bersamaku." Jawabnya.
"Iya, tapi bayi itu perlu tau siapa ayahnya."
Maureen tidak langsung menjawab, ia tau akan hal itu dan karena hal itu juga ia sempat berpikir untuk menghilangkan si bayi karena ia merasa tidak siap jika suatu hari nanti anaknya akan bertanya siapa sosok ayahnya.
"Coba pikirkan baik-baik, jika kalian tidak ingin kembali rujuk setidaknya kalian harus saling terbuka dan mau membesarkan anak itu bersama."
Meskipun Ramli tau Maureen bisa bertahan hingga saat nya melahirkan nanti, namun tidak menutup kemungkinan kondisi mental Maureen akan memburuk dan mengalami baby blues pasca melahirkan seperti yang sering terjadi pada sebagian banyak wanita karena kurangnya mendapat perhatian.
"Akan aku pikirkan nanti, saat ini aku belum siap memberitahunya."
Dalam hati kecil Maureen merasa menyesal karena pertemuannya dengan Barry tadi siang justru tidak menemukan titik terang apapun. Ia justru bersikeras dengan mengatakan ia tidak hamil. Sungguh jawaban yang di sesalinya saat ini.
"Jangan tunggu hingga kandunganmu besar, lebih cepat lebih baik."
Maureen hanya menggumam pelan.
Keduanya kembali melanjutkan makan malam, meski kini Maureen tidak lagi berselera setelah Ramli membahas perihal kehamilannya.
"Apa kamu benar-benar tidak ingin rujuk? Maksudku menikah lagi dengan Barry?" Tiba-tiba Ramli kembali bertanya. Pertanyaan yang membuat Maureen menatapnya dengan tatapan datar, namun sedetik kemudian ia tersenyum samar. Senyum yang terlihat di paksakan.
"Gak perlu dijawab kalau kamu gak mau." Ralat Ramli. Meskipun hubungan mereka bisa dibilang dekat, namun Ramli tau batasan-batasan yang harus ia tau dan mana yang tidak.
"Jika kamu sudah bertanya, artinya kamu sangat ingin tau. Benar kan?" Maureen meneguk air putih di gelas hingga tersisa separuh dan mengusap bibir dengan punggung tangannya.
"Iya, tapi aku tidak akan memaksa kalau kamu tidak ingin memberitahu alasannya."
"Saat ini menikah sudah kuanggap sebagai hal penting dalam hidupku, yang harus dipikirkan dan direncanakan dengan baik. Tidak hanya cukup bermodalkan cinta, lalu aku mau menikah. Tidak seperti itu." Maureen menggeleng cepat.
"Aku pernah gagal dan aku tidak ingin kembali gagal untuk kedua kalinya terlebih dengan orang yang sama."
Usai berkata seperti itu, Maureen bisa melihat Ramli menganggukan kepalanya pertanda lelaki itu mengerti dengan penjelasan singkat darinya.
"Dan untuk kehamilanku ini, aku sangat bersyukur meski kehadirannya benar-benar di waktu yang tidak tepat. Seharusnya ia hadir disaat aku masih berstatus sebagai istri Barry, tapi." Maureen menjeda kalimatnya dan tersenyum samar.
"Tapi, ya sudah lah! Tidak ada yang perlu disesali, anak salah satu rezeki juga kan?"
"Iya." Ramli membenarkan.
"Rezeki gak baik kalau di tolak."
Ramli hanya tersenyum tipis melihat Maureen yang tengah mengusap perutnya yang masih rata. Jika wanita itu benar-benar tidak ingin kembali rujuk dengan Barry, bukankah itu salah satu pertanda baik untuknya?
Ia bisa kembali mendekati Maureen dan mengutarakan perasaannya yang selama ini ia pendam sendiri.
Selesai makan malam, mereka berdua masuk ke kamar masing-masing yang terletak saling bersebrangan. Kamar yang ditempati Ramli tentu saja kamar utama, sementara kamar yang ditempati Maureen kamar tamu yang sudah di sulap Ramli dengan sedemikian rupa agar Maureen merasa nyaman dan betah tinggal di kediamannya.
"Kenapa baru mengunjungiku?!" Keluh Maureen begitu ia bertemu dengan seorang lelaki yang berparas hampir serupa dengannya. Ya, lelaki adalah Michael atau yang sering dipanggil Mike, kakak Maureen.
"Aku sibuk, sayang." Balas Mike, dengan senyum khas yang memperlihatkan lengsung pipit di kedua pipinya.
"Ada banyak sekali proyek yang harus aku kerjakan selama sebulan ini dan baru selesai minggu kemarin. Jadi aku baru sempat menemuimu hari ini."
"Gak pernah telpon, gak pernah kasih kabar. Kakak macam apa itu?!" Ucap Maureen asih dengan nada kesal, karena hampir sebulan lebih Mike tidak menemuinya dan sangat sulit dihubungi.
"Aku janji mulai hari ini aku akan sering menemuimu."
Maureen hanya mendengus, mendengar ucapan Mike. Mereka berdua bertemu di salah satu cafe dimana mereka sering menghabiskan waktu bersama. Mike dan Maureen memang memiliki kesibukan masing-masing, Maureen bekerja sebagai publik figure, sementara Mike bekerja sebagai pengusaha. Meski begitu di tengah kesibukan yang mereka jalani, keduanya selalu menyempatkan diri untuk bertemu dan menghabiskan waktu bersama seperti yang mereka lakukan saat ini.
"Bagaimana pekerjaanmu? Aku lihat akhir-akhir ini kamu jarang sekali muncul di acara on air."
Meski jarang bertemu bukan berarti Mike tidak memperhatikan adik semata wayangnya itu. Ia selalu mencari tau acara atau kegiatan apa yang sedang dilakukan Maureen, termasuk menontonnya di berbagai acara televisi.
"Aku memang mengurangi jadwal pekerjaanku, dan lebih memilih acara off air saja." Jawab Maureen dengan mulut penuh salad buah yang sebelumnya telah dipesan.
"Baguslah kalau begitu, jangan terlalu sibuk dan pilih-pilih pekerjaan yang tidak begitu capek."
Maureen mengangguk samar karena hal itu juga yang tengah dilakukannya saat ini. Mengingat kondisinya saat ini yang tengah berbadan dua, Maureen benar-benar memilih setiap pekerjaan yang ada. Tidak seperti biasanya, ia akan selalu menerima setiap tawaran kontrak kerja dan tidak jarang ia sering mendapat julukan penggila kerja.
"Masih tinggal di rumah Ramli?" Tanya Mike.
"Iya, aku masih tinggal bersama Ramli di apartemennya." Maureen memang sempat memberitahu Mike perihal kepindahannya dan tinggal sementara di kediaman Ramli. Meski awalnya Mike menolak dan tidak mengizinkan, namun setelah Maureen mencoba meyakinkan dengan berbagai alasan akhirnya Mike menyetujui dengan syarat Maureen tidak tinggal lebih dari dua bulan di kediaman Ramli. Dan saat ini ia sudah tinggal lebih dari sebulan.
"Sebaiknya kamu segera mencari tempat tinggal baru, atau kamu bisa tinggal di apartemenku."
"Aku akan segera mencari tempat tinggal baru, secepatnya."
Maureen segera menolak ajakan Mike, selain karena ia tidak mau tinggal bersama Mike juga karena Maureen tidak ingin kakaknya itu tau tentang kehamilannya.
"Kenapa repot-repot cari tempat tinggal baru, kamu bisa tinggal di tempatku. Disana lebih aman dan wartawan tidak akan bisa mengikutimu karena tempat tinggalku memiliki sistem keamanan yang sangat bagus."
Bukan hanya apartemen Ramli, apartemen Mike pun memiliki keamanan yang sangat ketat, cocok untuk ditempati Maureen.
"Aku tidak mau tinggal di tempatmu, terlebih karena kamu sering membawa wanita-wanita ke sana."
Mike tertawa cukup keras begitu Maureen mengutarakan alasannya tidak mau tinggal di kediamannya.
"Aku tidak mau setiap malam pendengaranku di kotori dengan suara-suara aneh, yang mengerikan." Sindir Maureen. Kebiasaan Mike membawa wanita ke kediamannya bukan hanya sekedar isapan jempol semata, lelaki itu memang sering berganti pasangan dan hanya menjadikan mereka sebagai teman untuk bersenang-senang saja. Dibalik tampangnya yang tampan, Mike memang memiliki kebiasaan buruk yaitu sering mempermainkan wanita.
"Aku tidak pernah lagi membawa wanita ke rumahku, jadi kamu bisa tinggal disana dengan aman dan damai."
"Aku tidak percaya!" Cibir Maureen.
"Oh iya, beberapa waktu lalu Barry sempat bertanya padaku dimana tempat tinggalmu dan aku memberikan alamat apartemen Ramli."
"Kenapa kamu memberitahunya?!"
"Dia bilang ada sesuatu yang sangat penting. Soal apa?"
Maureen tidak langsung menjawab, ia justru menghela lemah dan menghempas tubuhnya pada sandaran kursi. Rupanya Mike yang memberitahu tempat tinggalnya pada Barry. Pantas saja lelaki itu tau ketika Maureen pergi ke rumah dukun bayi karena saat itu Barry tengah berada di area apartemen untuk memastikan keberadaanya dan karena hal itu juga akhirnya Barry mengikuti Maureen diam-diam.