Setelah pertemuannya tempo hari dan melihat secara langsung kondisi Maureen yang tampak kurang sehat, Mike pun lebih sering menyempatkan waktu untuk bertemu atau sekedar makan siang bersama. Seperti yang mereka lakukan hari ini. Berbeda dari hari sebelumnya Mike selalu mendatangi Maureen atau menjemputnya di apartemen Ramli, tapi kali ini Mike justru meminta Maureen datang ke kantornya.
Sebagai publik figure tentu saja Maureen selalu berjaga-jaga setiap kali ia hendak pergi kemanapun termasuk ke kantor dimana Mike bekerja. Bukan karena ia tidak ingin dikenali oleh orang lain tapi karena akhir-akhir ini para pemburu berita tengah menyorot kehidupan pribadinya dimana ia kembali diterpa gosip tengah berhubungan dengan aktor papan atas Daniel Pramudya lawan mainnya di salah satu iklan minuman isotonik. Maureen memang beberapa kali sempat pergi bersama Daniel, tapi bukan untuk berkencan melainkan untuk membahas beberapa pekerjaan lainnya yang akan mereka garap bersama, salah satunya film romansa yang akan segera mereka bintangi bersama. Sebagai salah satu cara untuk menjalin kedekatan di antara keduanya, mereka pun beberapa kali bertemu namun bukan hanya mereka berdua saja, tapi juga dihadiri manager masing-masing.
Maureen awalnya menganggap berita itu sebagai salah satu trik pasar untuk menjerat hati penonton agar mereka semakin percaya jika Maureen dan Daniel benar-benar pasangan di dunia hiburan dan di dunia nyata. Namun nyatanya hal itu juga yang membuat Maureen akhirnya di kejar-kejar oleh pemburu berita yang membuat hari-harinya semakin membosankan.
Dari awal ia keluar rumah, Maureen sudah menyadari ada sebuah mobil yang sangat di kenalinya terus mengikuti kemanapun Maureen pergi. Mobil itu merupakan salah satu mobil stasiun televisi gosip yang selalu membahas kehidupan artis hingga ke akar-akarnya. Maureen kurang menyukai bagaimana cara kerja mereka yang selalu mengikutinya secara diam-diam, termasuk yang mereka lakukan saat ini. Namun kali ini Maureen tidak perlu bersembunyi seperti biasanya karena saat ini ia tidak sedang menemui Daniel, melainkan Mike kakaknya.
Keluar dari mobil, Maureen pun segera masuk ke dalam sebuah gedung tinggi dimana Mike berada. Namun baru saja ia melangkah maju menuju resepsionis, tiba-tiba salah satu kru gosip tersebut menghadang langkahnya.
"Selamat siang Mbak Maureen." Ucapnya, hingga membuat langkah Maureen terhenti.
"Boleh wawancara sebentar."
"Nanti saja ya, saat ini saya sedang buru-buru." Maureen menolak dengan halus, tidak lupa ia pun selalu tersenyum ramah meski sejujurnya ia mulai merasa kesal dan terganggu.
"Sebentar saja, Mbak. Gak lama kok," Kru tersebut kembali mencegat Maureen ketika ia hendak melanjutkan langkahnya.
"Apa benar saat ini Mbak Maureen tengah dekat dengan Daniel pramudya? Bukankah Daniel sudah memiliki seorang kekasih? Bagaimana tanggapan Mbak Maureen mengenai para netizen yang menuduh Mbak sebagai perusak hubungan mereka?"
Maureen memang pernah mendengar berita tersebut, dimana Daniel pernah menjawab pertanyaan mengenai siapa sosok kekasihnya di salah satu acara televisi. Sialnya saat itu Daniel justru menjawab ia tengah dekat dengan seorang wanita namun bukan dari kalangan artis. Hal tersebut sontak menimbulkan pro dan kontra, dimana saat itu mereka sudah resmi menandatangani kontrak kerja. Dan karena hal itu juga Maureen di serang pemburu berita dan warganet, bahkan diantaranya ada yang menghujat Maureen dan menyebutnya sebagai perusak hubungan orang lain.
"Lain kali saya jawab, saat ini saya sedang buru-buru. Maaf ya." Maureen tetap menolak dengan halus. Ia pun mengabaikan para wartawan dan kembali melanjutkan langkahnya untuk menemui Mike.
Bukan pemburu berita namanya jika ia tidak bisa mendapatkan apa yang mereka mau. Mereka terus mengikuti Maureen dan merong-rongnya dengan berbagai pertanyaan hingga membuat Maureen kesulitan berjalan.
Di tengah kondisi seperti itu, Maureen justru tiba-tiba merasakan kepalanya pusing dan pandangannya mulai kabur. Sebisa mungkin ia tetap berusaha bersikap tenang dan sesegera mungkin ia pun menuju lift agar cepat sampai ke tempat dimana Mike berada. Namun sayangnya sebelum ia sampai ke pintu lift, Maureen sudah terlebih dulu tidak sadarkan diri. Ia tidak lagi ingat apapun, hanya saja sebelum ia benar-benar tidak sadarkan diri Maureen sempat melihat sekelebat bayangan seorang lelaki yang berlari menghampirinya. Maureen mungkin sedang berhalusinasi, tapi bayangan wajah Barry begitu jelas terlihat sebelum akhirnya ia pingsan.
Perlahan Maureen membuka mata. Satu hal yang mengusiknya yakni langit-langit ruangan yang nampak begitu asing dengan aroma menyengat yang membuatnya semakin merasa mual dan pusing. Maureen meringis kesakitan begitu ia mencoba menggerakan tangan, dimana ia merasa kebas dan sakit. Maureen menoleh dan mendapati sebuah selang infus sedang menempel di tangannya. Hal itu membuat Maureen menghela lemah dan seakan meyakinkan dirinya jika ia benar-benar tengah berada di rumah sakit. Maureen ingat sekarang, rupanya saat itu ia benar-benar tidak sadarkan diri di saat para pemburu berita tengah mengejarnya. Maureen hanya bisa menghela nafas dalam-dalam, sebab hal itu akan semakin membuat ia dicari dan bisa saja kini ia menjadi trending topik dengan hastag Maureen tidak sadarkan diri.
"Udah sadar?"
Pintu ruang rawat terbuka dan Mike muncul di sana dengan wajah khawatir.
"Mana yang sakit?"
Mike semakin mendekat dan duduk di tepian ranjang.
"Berapa kali aku bilang, jangan bekerja terlalu keras. Apalagi yang kamu cari, uang? Atau ketenaran? Semua itu sudah kamu dapatkan saat ini. Kenapa masih menyiksa diri dengan bekerja seperti tiada hari esok." Meskipun dengan nada pelan, Maureen tau kakaknya itu tengah mengutarakan kekesalannya.
Maureen bangkit duduk, matanya menatap Mike dan tersenyum samar.
"Aku cuman kecapean biasa aja, bukan karena terlalu banyak kerja."
"Terus kalau begitu kenapa bisa sampai pingsan?"
"Manusia itu gak akan selamanya sehat, begitu juga aku. Mungkin sudah waktunya aja aku sakit, setelah sekian lama aku sehat dan baik-baik aja."
Mike menghela nafas mendengar ucapan Maureen.
"Berhenti dari dunia hiburan, kamu tidak akan memiliki privacy lagi jika kehidupanmu terus dikelilingi para pemburu berita."
Sadar akan hal itu, Maureen pun sedikit was-was akan kondisi terakhirnya dimana ia pingsan disaat wartawan tengah mengikutinya.
"Siapa yang bawa aku ke rumah sakit? Wartawan itu gimana?"
"Untung saat itu Barry datang tepat waktu, jika tidak aku gak tau lagi apa yang akan terjadi sama kamu."
"Apa?! Barry?!" Maureen menatap Mike dengan syok.
"Iya, dia yang membawamu ke rumah sakit dan dia juga yang menghubungiku setelah kamu ada disini."
Jantung Maureen bergemuruh kencang, rupanya apa hal terakhir yang dilihatnya sebelum jatuh pingsan bukan hanya sekedar halusinasi belaka. Tapi itu nyata, lelaki itu benar-benar Barry.
"Dimana dia sekarang?" Tanya Maureen.
"Dia langsung pergi setelah aku datang."
Meskipun merasa sedikit lega karena Barry langsung pergi setelah Mike datang, namun hal itu justru membuat Maureen dilanda rasa cemas.
"Maureen!"
Suara lain muncul membuat Maureen dan Mike menoleh bersama ke arah pintu dimana seorang lelaki berkaos putih dan jeans hitam menatapnya dengan tatapan khawatir. Ia melangkah cepat menghampiri Maureen dan Mike, sementara Maureen hanya bisa tersenyum samar pada lelaki itu.
"Ramli." Ucap Maureen pelan.
"Berapa ratus kali aku bilang, jangan pernah keluar tanpa aku. Dan lihat sekarang, kamu pingsan!" Ucap Ramli dengan nada kesal. Melihat bagaimana ekspresi Ramli yang membuat Maureen meringis, Mike justru tersenyum dengan melipat kedua tangan di dadanya seakan ia bersekongkol dengan Ramli dan membenarkan apa yang diucapkan lelaki itu.
"Marahin aja, dia memang keras kepala!" Ucap Mike.
Mendengar ucapan Mike sontak Maureen menatapnya dengan tatapan tajam, "Siapa yang menyuruhku datang ke kantor?!" Maureen balik menyerang.
"Gara-gara itu juga kan, aku jadi diburu wartawan. Coba kalau jemput aku seperti biasa, aku gak mungkin pingsan."
"Iya, iya. Aku salah." Mike mengaku.
Mereka bertiga memang sudah saling mengenal dengan baik. Begitu juga dengan Mike dan Ramli. Karena selama ini Maureen bekerja di bawah naungannya dan juga karena Ramli memperlakukan Maureen dengan sangat baik, hal itu juga yang membuat Mike mempercayakan Maureen pada Ramli.
"Berhubung Ramli sudah ada disini, aku harus kembali ke kantor dulu. Ada beberapa pekerjaan yang harus dikerjakan."
"Perasaan disini siapa sih yang gila kerja?! Aku atau siapa?" Sindir Maureen.
"Sebentar sayang, nanti aku balik lagi kesini sekalian jemput." Mike mengusap puncak kepala Maureen dengan sangat lembut.
"Ram, gue titip anak ini ke lo ya. Nanti keluar dari rumah sakit biar gue aja yang temenin."
"Oke."
Seperginya Ramli, kini hanya tinggal Maureen dan Ramli saja di ruangan itu. Menyadari lelaki itu menatapnya kesal, Maureen hanya bisa meringis.
"Dia belum tau?" Tanya Ramli, ia pun duduk di samping tempat tidur menggantikan Mike.
"Siapa? Barry?"
"Bukan. Mike."
"Oh,, sepertinya belum. Lagi pula hasil pemeriksaan belum keluar."
"Kalau begitu biar aku ambil duluan hasil pemeriksaanya."
Maureen mengangguk. Cepat atau lambat kehamilannya akan diketahui oleh Mike, tapi untuk saat ini Maureen masih merasa belum siap untuk memberitahunya. Entah sampai kapan, Maureen pun tidak tau pasti.
"Ren, sebelum kehamilan kamu semakin besar dan awak media menyadarinya gimana kalau kita menikah saja."
Maureen menatap datar sebelum akhirnya ia tertawa dengan cukup keras.
"Apa? Kita menikah? Kamu bercanda!" Maureen kembali tertawa hingga ia merasa perutnya sakit.
"Aduh, perutku sampai sakit." Keluhnya sambil mengusap perut dengan sebelah tangan.
Ramli tersenyum tipis melihat ekspresi Maureen yang justru menertawakan keseriusannya.
"Kita bisa menikah hanya untuk menutupi kehamilanmu saja. Bukan menikah sungguhan."
Tawa Maureen seketika lenyap, ia menatap Ramli dengan tatapan serius.
"Maksudnya?" Tanya Maureen, minta penjelasan.
"Kamu tidak mungkin hamil tanpa memiliki seorang suami, terlebih kamu ini publik figur. Kemanapun kamu pergi mereka akan terus mengikuti dan mencari tau ayah dari bayi yang kamu kandung saat ini."
"Jika kamu tidak ingin kembali rujuk dengan Barry, menikah denganku adalah satu-satunya cara untuk menutupi kehamilanmu." Lanjut Ramli.
"Tapi itu bukan solusi, justru akan menambah masalah."
"Kita udah kenal lama, Ren udah saling kenal dari awal kamu mulai merintis karir di dunia hiburan. Apa lagi yang tidak aku tau dari kamu, begitu juga sebaliknya. Apa lagi yang kamu ragukan? Kalau kita bisa hidup satu atap bersama, kenapa kita gak bisa hidup dalam satu ikatan pernikahan?"
Maureen menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Diraihnya tangan Ramli dan digenggamnya lembut.
"Aku tau, selama ini hanya kamu yang benar-benar peduli dan mengerti bagaimana kondisiku. Tapi, bagiku menikah bukan hanya tentang hidup bersama dan tinggal satu atap aja. Kita juga butuh sesuatu yang lebih kuat dari itu. Aku masih trauma hidup dengan hanya bermodalkan nekat, hingga akhirnya aku terjebak dan berakhir menyedihkan."
Ramli menatap lekat kedua bola mata Maureen.
"Kamu lelaki baik, sudah sepantasnya kamu pun memiliki seorang pendamping yang baik juga. Bukan wanita seperti aku." Maureen menatap Ramli dengan tenang, bibirnya tersenyum tipis.
"Kita adalah teman, sampai kapanpun akan menjadi teman. Gak lebih."
Sesaat setelah Maureen berbicara seperti itu, untuk kesekian kalinya Ramli harus kembali menerima kenyataan. Karena sampai hari ini Maureen tetap menganggapnya hanya sebatas teman, tidak lebih dari itu.