Aldo dan Melly

2070 Kata
“Aku sudah memecatnya tanpa pesangon dan mengenakan denda karena melanggar kode etik perusahaan. Berkencan dengan orang CU bahkan membocorkan rahasia perusahaan. Kami juga tidak memberikan rekomendasi atas hasil kerjanya selama ini dan memblacklist-nya dari semua perusahaan rekanan JE. Biar tahu rasa dan jadi pelajaran bagi yang lain jika sampai dekat-dekat dengan siapa pun dari CU!!” terang Rene menggebu, dengan memasang wajah judes saat menceritakan apa yang telah dia lakukan pada Patty, staf tender yang memberi akses hingga proposal mereka bisa dicuri perusahaan saingan. Saat ini Rene tengah makan siang dengan Alicia, sahabatnya. Sedari tadi, gadis yang biasanya tenang terkendali itu, terus merepet kesal karena berbagai kejadian belakangan ini.  “b******k orang-orang CU itu, aku semakin mengerti kenapa keluarga kami tidak bisa akur. Tidak ayah, tidak anaknya, menyebalkan semua!" semprotnya pada Alicia yang mendengarkan dengan sabar. “Yang namanya Julian itu tampan, ya?” ujar Alicia tiba-tiba, kepada sahabatnya sejak SMU itu. Perkataannya langsung dihadiahi Rene kecaman dari matanya. “Dia lelaki paling menyebalkan yang pernah kutahu!” Direktur CU itu menampik keras. “b******n, menjijikkan,” imbuhnya, berusaha memuaskan kekesalan hatinya sembari memutar-mutar cup es kopinya dengan kedua telapak tangannya. Alicia menghela napas, setelah sedari tadi diam saja, akhirnya ia angkat bicara. “Rene, tidakkah menurutmu persaingan tidak sehat ini sudah harus diakhiri? Sampai kapan kalian akan saling mendendam. Apalagi sekarang sampai saling taruhan segala. Kalau kau kalah bagaimana?” gadis yang bekerja sebagai manager PR di sebuah perusahaan promotor musik itu terdengar cemas dan berusaha menyadarkan sahabatnya. “Apa yang akan ayahmu katakan kalau dia sampai tahu apa yang terjadi?” Rene yang tak pernah gentar dengan tantangan, kini memasang raut penuh tekad. “Dengar, Alicia. Aku tidak akan kalah. Kau harus berpikir positif! Ingat dengan kekuatan pikiran!” gadis itu mengetuk-ngetuk pelipisnya menggunakan telunjuk yang rapi dengan polesan kuku warna lavender. “Si Julian itu yang akan berakhir menjadi pelayan pribadiku! Lihat saja, aku akan membuatnya sengsara!” “Dan jika dia juga berpikir sama, berharap menang dengan menggunakan kekuatan pikiran, bagaimana?” cela Alicia. “Yang pasti, salah satu dari kalian akan kalah dan mempermalukan diri sendiri. Kemungkinannya: fifty-fifty. Bisa dia yang kalah, atau lebih buruk, YOU! Kau yang akan jadi his personal maid! Oh my God…” gadis itu memutar matanya dramatis. “Aku tidak bisa membayangkan! Seorang Renesty—” “Shut-up!” tukas Rene gusar, berusaha memukul lengan Alicia yang berhasil menghindarinya. “Pokoknya, aku tidak akan kalah! Aku tidak pernah membenci siapa pun seperti aku membenci Julian Severino Nararya. He’s the worst person ever!” ingatannya melayang kembali pada ciuman pertamanya yang direnggut paksa. Ya. CIUMAN PERTAMA! Terlepas Renesty seorang gadis sempurna dengan segala yang dimilikinya, atau betapa banyak daftar lelaki yang mengantri menjadi kekasihnya, serta berebut mencuri perhatiannya, bahkan dengan sabar menjadi korban tarik ulurnya, Rene TIDAK pernah memberikan ciuman pertamanya kepada siapa pun. Tidak juga pernah menjadi kekasih siapa pun. Rene selalu memandang rendah lelaki sebagai makhluk tidak berakal yang hanya menjadi hamba nafsu. Dengan sedikit kecerdasan ia bisa mengacungi siapa saja. Tetapi, Rene punya sebuah sisi lain. Yah, anggaplah sisi dirinya yang naif dan pemimpi, korban fiksi dan ilusi. Ia pernah membaca sebuah cerita yang sangat menyentuh hatinya tentang cinta pertama, ciuman pertama yang dibawa hingga mati. Sebuah kisah yang membentuk mimpi dalam benak Rene. Ia hanya ingin menjadi milik seorang lelaki. Pilihan hatinya yang sempurna menurut mata fisik dan batinnya. Pada saat itulah, Rene hendak memberikan ciuman pertamanya. Penuh kesan, di tempat yang tepat, waktu yang tepat, dengan orang yang tepat. Dan Rene masih tidak pernah punya kekasih karena dia tidak pernah menemukan pria sempurna itu. Tetapi sekarang, bukan saja ciuman pertamanya direnggut paksa oleh seorang pria di luar kehendaknya, tapi yang lebih parahnya lagi, dia juga adalah musuh besarnya: Julian Severino Nararya. Lelaki dari keluarga terkutuk itu sudah menghancurkan mimpi yang dia jaga seumur hidupnya hingga dia berusia 25 tahun ini. Rene sungguh tidak mengira impian sakralnya hancur oleh lelaki dari keluarga Nararya. Lelaki yang lebih hina dari bakteri penyebab sakit perut! Ukhh!! Direktur Jehan tersebut bisa merasakan perutnya melilit lagi karena muak hanya dengan mengingat kejadian saat di kantor musuh besarnya. Nah, benar kan? Mengingatnya saja Rene langsung mual dan sakit perut! Benar-benar bakteri pathogen! “Hei, kau baik-baik saja?” tegur Alicia, melambai-lambaikan telapaknya di hadapan wajah Rene, saat melihat sahabatnya tampak pucat dan geram tetapi tidak bersuara tersebut. “Tentu saja,” Rene tertegun, dan segera menyeruput kopinya. “Rene, aku tidak pernah melihatmu gelisah seperti ini. Apa ada sesuatu?” Alicia memastikan. Rene meletakkan gelasnya sedikit gugup. Gadis itu memang tidak menceritakan semua yang terjadi di kantor Julian, termasuk bagaimana lelaki itu seenaknya merampas ciuman pertamanya. Tetapi, jika dia harus kalah dan menjadi pelayan Julian!? Lebih baik Rene mati! Atau kabur keluar negeri, atau operasi plastik agar mirip Natalie Portman. Itu jauh lebih baik. Pikiran melantur karena kalutnya terhenti saat dering ponselnya menyentak lamunan Rene. Ia melirih layar yang berpendar. Ayahnya. Hh… Rene menghempaskan napasnya. Ia tahu benar apa yang hendak ayahnya bicarakan. “Halo Pa,” sapa Rene. “Kenapa perusahaan b*****t itu bisa memenangkan tendernya!? Dan kenapa aku harus tahu dari orang lain!? Apa kau mengira dengan menyembunyikannya kau bisa menutupi semua dariku!?” tanpa tedeng aling-aling Johan Pradipta memborbardir putrinya. “Jawab, Renesty!!” “Iya, Pa! Nanti aku jelaskan, sebenatar lagi aku pulang, aku sedang berusaha menangani beberapa masalah,” terang Rene. Alicia mengamati Rene, yang selalu berubah seperti seorang bawahan saat bicara dengan ayahnya. Samar-samar ia mendengar ultimatum Johan agar putrinya itu pulang tepat waktu dan harus punya alasan bagus atas kekalahannya dari saingan berat mereka. “Ck!” Rene mematikan sambungan dengan geram. Raut wajahnya berpikir dalam dan penuh tekad. Ia akan melakukan apa saja untuk memenangkan taruhan ini. Julian harus mendapatkan balasannya. Dan lihat saja, Creative Universe akan mati. Biarkan keluarga koruptor itu kembali miskin seperti dahulu. "Aku harus segera pulang, harus menghadiri persidangan," keluh Rene, mengingat ultimatum ayahnya. Alicia tersenyum simpati. "Oke, aku masih mau di sini dulu. Biasa, jemputan datang terlambat." "Hhh, cobalah lebih mandiri tuan putri," seloroh Rene yang ditanggapi tawa oleh Alicia. Rene segera meraih cup kopinya dengan terburu-buru, namun saat dia berdiri dan berbalik, tak sengaja gadis itu bersirobok dengan seorang pria yang berjalan ke arahnya. Gadis itu terpekik pelan, dan matanya membulat saat melihat kopi di tangannya tumpah mengotori kemeja pria di hadapannya. "Ah, sorry1 Sorry!" dengan sungkan Rene buru-buru meminta maaf. Dia meraih tisu di atas meja dan mengusapkannya pada pakaian pria itu. "It's okay, it's okay," pria itu meraih tisu dari tangan Rene. "Biar kulakukan sendiri," katanya. Rene masih mengamati segan beberapa saat sebelum mulai mengamati wajah pria di hadapannya. Ternyata dia tampan juga. Rambutnya agak ikal dan tubuhnya tinggi, sedikit kurus tetapi terlihat cerdas dengan kacamata mode yang terpasang di wajahnya, sekaligus terlihat sedikit pemberontak dengan jaket kulit yang dikenakannya. "Maaf ya, aku tidak sengaja," Rene berujar, kali ini suaranya dibuat agak manja menggoda. Lelaki itu mengangkat wajahnya, menatap Rene dan tersenyum ramah. "Aku tahu. Tidak masalah. Aku masih beruntung kau minum es kopi dan bukan kopi panas." Rene tersenyum lega. Dia mengulurkan tangannya mengajak berkenalan. "Rene." Lelaki itu menyambutnya. "Aldo." Keduanya lantas saling bertukar senyum manis. Alicia memperhatikan pemadangan tersebut dan memutar matanya, lantas menyibukkan diri bermain ponsel di tangannya pura-pura tidak tahu. *** “Taruhannya sebesar itu?” Mata Augusta melebar sebelum dia tertawa, saat mendengar apa yang terjadi antara kakak tirinya dan putri Johan Pradipta. Ketiganya tengah makan siang di sebuah café milik Augusta, sekaligus tempat lelaki itu biasa mengisi acara. “Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan jika kita sampai kalah,” Harris menangkupkan sebelah telapak tangan ke wajahnya sendiri. “Kakakmu ini memang gila! Gila! Dan dia tidak bisa diingatkan!” “Kita pasti menang!” tandas Julian percaya diri. “Buktinya, kita berhasil merebut tender terbaik mereka sejauh ini, bukan?” “Kau menggunakan cara licik,” Harris berseloroh. “Dan ingat siapa yang sudah berhasil mencuri proposalnya,” kali ini pria itu dengan bangga menepuk dadanya. “Itu karena dia sudah membuat Yudha membelot dari kita!” sekali lagi Julian mengemukakan alasan yang menjadi pembenaran perbuatannya. “Gadis kurang ajar itu…” Seketika ingatan melayang lagi kepada Rene, dan hatinya terusik. Ia tidak suka bagaimana perasaannya belakangan, saat mengingat gadis itu yang membuatnya tergoda. “Nah, Augusta, bagaimana? Sekarang kau tertarik bergabung dengan kami?” tanya Harris, membuyarkan lamunan Julian dari Rene.. “Hahaha, tidak, terima kasih,” pria yang baru saja lulus kuliah itu angkat tangan. “Aku sudah menikmati jalanku menjadi seorang musisi.” “Album! Album! Cepat keluarkan albummu! Sudah kubilang aku bisa memodali album perdanamu,” ujar Julian, meninju lengan gempal adiknya. “Tidak, Julian. Aku sudah bertekad akan mendapatkan produser album dengan kemampuanku.” “Ya. Cepatlah, ayah mulai tidak sabar denganmu,” Julian berujar pada adik seayahnya tersebut. Julian dan Augusta memang terlahir dari ibu yang berbeda, dengan kepribadian yang berbeda juga. Meskipun demikian, Julian dan Augusta merupakan adik kakak yang kompak. Hal itu karena Julian sudah lama tidak merasakan kasih sayang ibunya, dan telah menganggap ibu tirinya seperti ibunya sendiri. Julian adalah raja pesta dan sangat pandai bersosialisasi, Augusta hanya sibuk dengan musik dan hobinya sendiri. Dia juga jarang hadir ke pesta-pesta. Sekalinya datang, Augusta hanya tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan musik saja. Tetapi Augusta selalu mendatangi berbagai konser musik yang digelar. “Hei, bukankah saat kau kuliah kau sempat ditawari menjadi gitaris sebuah band ternama?” tanya Harris kepada Julian. “Ya. Saat itu manajernya melihatku di sebuah festival dan menawariku bergabung. Nah.. musik itu hanya hobiku, not my passion,” tukas Julian, mengibaskan telapak lebarnya di hadapan wajahnya, lantas menumpukkan lengannya di bahu Augusta. “My brother here yang akan jadi musisi legendaris suatu saat,” dia menepuk-nepuk bahu adiknya. Augusta menyeringai. “Kau b******n sial paling beruntung yang pernah kutahu,” tukasnya sambil tertawa. “Apa kau tidak berpikir menggelar event musik hebat?” Julian memastikan. “Selalu ada tempat untukmu, Bro.” “Hei, kalau aku mau, aku bisa melakukannya sebelum kau kembali dari Amerika,” elak Augusta. “Aku lebih senang seperti ini. Slow… Lagipula, malas rasanya selalu melaporkan ini dan itu kepada Ayah.” Pemuda itu memang tampak seperti pribadi yang sederhana dan idealis. Sepertinya tidak pernah ada sesuatu pun yang mengusiknya. Ayah mereka sering kali marah dengan sikap santai Augusta. Namun, Julian kerap kali membela adik tirinya itu. Apalagi, café yang dibuat adik tirinya juga terbilang cukup ramai. Setidaknya Augusta bukannya tidak berbisnis sama sekali. Karena itu juga lah, semua tanggung jawab terkait Creative Universe jatuh ke tangan Julian. Tampaknya, Augusta asyik-asyik saja dengan dunianya. “Tapi hati-hatilah kalau kau sampai kalah, Julian,” Haris sekali lagi mengingatkan. “Ini akan menjadi dosa besar yang tidak akan terampuni oleh Paman.” Perkataan Haris meresap ke benaknya. Julian tidak akan main-main. Ini pertempuran yang sangat serius. “Augusta, Hei…!!” Tiba-tiba dua orang gadis menghampiri mereka. Gadis yang menyapa Augusta berperawakan tinggi langsing dengan rambut menjuntai hingga ke dadanya. Ia tampak cantik mengenakan dress rajutan hitam ketat sebatas pahanya. “Hei, Diana!” sapa Augusta. “Oh ya, perkenalkan, ini kakak dan sepupuku.” Gadis bernama Diana dan temannya, Melly, ternyata pengunjung setia café tersebut. Dari cara bicaranya, Diana sepertinya memiliki kedekatan khusus dengan Augusta. Gadis yang bernama Melly juga menyalami Harris dan Julian. Mata gadis itu melebar sejenak melihat tampilan eksekutif muda itu. “Aku Melly,” dari suaranya, gadis berkulit sangat putih itu terdengar agak manja. “Julian.” Lelaki itu menggerakkan matanya memindai dari atas ke bawah, dan naik kembali ke wajahnya untuk membagi senyum. Melly tampak agak tersipu. Gadis bernama Melly itu mengenakan flowery baby doll yang feminism dengan riasan sangat tebal, seperti hendak melakukan pemotretan majalah. Wajahnya tergolong cantik dan kulitnya sangat mulus. Tetapi dari pembawaannya, tampaknya gadis itu masih muda. “Masih kuliah?” tanya Julian, saat Melly memilih duduk di sampingnya dan mereka bercengkrama bersama.. “Baru lulus,” ungkap Melly. “Oh, mau kerja dimana?” Julian tertarik dengan senyum malu-malu Melly. “Belum tahu. Kenapa? Apa di tempatmu ada lowongan?” gadis itu menatap sungguh-sungguh dengan mata polosnya. “Walaupun ada, tetapi aku tidak akan membiarkanmu masuk ke sana,” jawab Julian enteng. “Kenapa?” gadis bernama Melly itu terlihat bingung. “Karena aku tidak boleh pacaran dengan rekan sekantor,” ungkap Julian. Melly tertegun sejenak sebelum tersipu semakin malu. Sementara Harris memutar matanya. “Ck! Broo….” Erangnya, mendengar gombalan Julian itu. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN