Beradu Ide

1539 Kata
“Love me or hate me, I’m in your mind!” kutip Alicia, saat Rene sekali lagi mencaci maki Julian di depan wajahnya. Mereka tengah berada di sebuah café bergaya Italia, menikmati sore yang agak mendung. Meja-meja dominan kosong, tapi ada beberapa orang yang tampak bercengkrama di kafe eksklusif tersebut. “What are you trying to say?” sinis Rene. “It’s not love. Not even close! Aku hanya sangat geram, bagaimana mungkin lelaki seperti itu muncul dalam hidupku! Aku tidak bisa mengingat satu hal baik pun darinya!” “Selain tubuhnya gagah? Wajah tampannya? Tatapan tajamnya serta senyumannya yang seksi? Oh, come on…” Sekali lagi Rene merasakan sesak di dadanya saat visualisasi dari semua yang Alicia sebutkan menjelma di kepalanya. “I don’t know what are you talking about,” tampiknya. “Oh, yes you are…” Alice tidak percaya. “Lagipula, kalau aku harus jujur, Rene… malam itu saat di pesta ulang tahunmu, aku bisa melihat kalau kau sangat menikmati waktu bersamanya. Kalian tertawa bersama, berdansa bersama, bahkan memenangkan banyak permainan bersama. Kau terlihat sangat senang bersamanya, aku bahkan sempat berpikir saat itu, jangan-jangan kalian akan terus menjadi pasangan. Karena kurasa, kalian sebenarnya sangat cocok dengan satu sama lain.” “Shut… up!!” kesal Rene, memutar bola matanya. “Dia itu penipu!! Kau masih memujinya untuk itu?” “Bukan begitu,” bantah Alicia. “Hanya saja, terkadang aku berpikir, tidak adil bagimu harus menanggung dendam ini.” Rene menatap Alicia heran. “Apa maksudmu?” “Rene… sudah hampir 30 tahun… dan kurasa, kalau kalian tidak terlahir dari keluarga kalian saat ini, kalian sebetulnya can get along well,” Alicia mengemukakan pendapatnya. Rene mendengus. “Aku tidak ingin berandai-andai. Alicia, aku tidak punya waktu,” katanya tegas. “Aku harus fokus pada masalah yang lebih nyata. Apa yang harus kulakukan untuk memenangkan taruhanku dengannya? Ini taruhan yang sangat besar. Jika aku kalah… perusahaan bisa hancur!” Alicia tersenym tipis, berusaha memahami posisi sahabatnya. “Jadi kau belum mendapat ide untuk acara itu?” “Aku punya banyak ide,” tandasnya angkuh. “Aku hanya masih merasa… sepertinya masih kurang. Here and there, this and that… I don’t know,” Rene mengangkat bahunya, menghembuskan napas resah. “Belum lagi ini event hari ibu yang pertama kali kami gelar. Ah! Nararya sialan!!” sekali lagi dia merutuk lelaki yang membuatnya hampir mati kutu. Hampir. Masih belum. “Oke, oke, calm down now. Look, kita cari topik lain, ok? Bukankah kau mengajakku bersantai untuk menghilangkan penat? Mungkin kau bisa mengalihkan pandanganmu ke belakang. Ada seorang pria super tampan yang sedari tadi mengamatimu.” Kedua alis Rene terjungkit. Ia memutar kepalanya dan mendapati seorang pria gagah di tempat duduknya, tersenyum menggoda dan mengacungkan segelas kopi ke arahnya. Rene memberikan sedikit saja tarikan di sudut bibirnya dan memutar wajahnya lagi. “Yeah,” ujarnya bosan. “What’s wrong, Dear? He’s gorgeous.” “Kalau begitu, kau saja yang dekati dia.” “Tapi dia tertarik kepadamu,” decak Alice. “Oh, Mario juga mengirim salam untukmu.” “Mario?” “Ya. Atasanku yang baru. Yang kukenalkan saat gathering.” Rene menatap heran. “Bukankah kalian berkencan?” tanyanya pura-pura tak menyadari niat Mario kepadanya. Alice tertawa hambar. “No. Kami hanya datang bersama. Apa kau tidak memperhatikan di pesta itu kami sibuk dengan mangsa kami masing-masing? Mario mungkin sudah memangsamu seandainya kau tidak menjadi weirdo sepanjang gathering. Jadi pendiam, kabur-kaburan, sinis. Dasar moody!” “Mood-ku hancur gara-gara Nararya terkutuk itu.” “Bukan hanya saat gathering itu, Rene! Kau membiarkan lelaki tampan seperti yang di belakangmu itu menganggur begitu. Pasti ada yang salah dengan kepalamu.” “Listen, Alice.” Rene mengeluarkan smartphonenya, menunjukkan layar berpendar. 15 pesan baru dan 11 misscall, “Aku sedang tidak punya waktu untuk semua ini. Apalagi gangguan baru.” Alice mengembangkan senyum penuh arti. “Are you really Rene that I know? Kau jarang melepaskan mangsa begitu saja. Dan kulihat, sepertinya dia kelas kakap. Begitu juga Mario. Kau tidak tahu betapa beruntungnya Mario mengejarmu.” “Aku hanya… sedang tidak punya waktu untuk itu semua. Saat ini, kepalaku full oleh taruhan dengan Julian.” Rene menghela napas. “Dan… masalah perjodohan.” “Apa? Perjodohan siapa?” hampir saja Alicia tersedak saat mendengar perkataan sahabatnya. “Aku,” Rene mengibaskan rambut gelisah. “Papa berpikir untuk menjodohkanku dengan seseorang yang… ideal.” “Dan kau setuju? You, Rene? A modern woman with a million options?” Mata Alicia membulat tak percaya. “Masalahnya rumit, Alice. Kau pasti tahu tanggung jawab yang kuemban untuk keluargaku.” Setelah sekian lama. Baru kali ini Alice kembali melihat Rene tampak resah dan tidak meremehkan masalah. Alicia mencondongkan tubuhnya ke arah Rene. “Menurutmu, apa yang akan diselenggarakan oleh CU?” “Mana aku tahu. Yang pasti, kurasa mereka tidak akan mengadakan acara konser musik. Karena mereka sudah merebut acara akhir tahun kami. Lagipula, siapa yang akan mengadakan acara konser musik untuk hari ibu, benar, kan?” Rene tiba-tiba tertegun. Benar sekali! Kenapa tidak terpikirkan sama sekali olehku! Batinnya. “Ah! Aku harus pergi!” Binar kembali tampak di wajah Rene/ “Kau mau kemana?” tanya Alicia, saat melihat sahabatnya berdiri tiba-tiba. Rene tersenyum penuh kemenangan. “Ada medali yang harus kurebut,” katanya percaya diri. =//= “Call me,” wanita itu tersenyum menggoda, saat ia menyerahkan kartu namanya kepada Julian. CEO Romeo Kreasi itu memulas senyum sekadarnya, lalu mengamati kartu nama di tangannya setelah wanita bernama Cindy tersebut pergi. Saat ini Julian tengah melihat-lihat venue yang akan digunakan untuk event mereka nanti. Event yang mereka rebut dari Jehan. Venue tersebut memang sangat bagus, demikian juga dengan system keamanannya yang terbilang ketat. Dan saat Julian membaca proposal yang mereka curi, harus dia akui Jehan memiliki konseptor acara yang brilian—dan dia dengar ide itu datang dari Rene sendiri. Tetapi sekarang, Julian tengah dibelit bingung. Ide mengenai event hari ibu belum mereka dapatkan. Apalagi, dengan bodohnya ia malah memutuskan hari ibu yang hanya berselang satu minggu dari tahun baru sebagai ajang persaingan mereka. Menyelenggarakan dua event besar dalam jangka satu minggu tidak akan mudah. Belum lagi bersaing dengan berbagai event lain yang lebih identik dengan bulan Desember seperti perayaan Hari Natal semakin membuat frustasi. Saat kembali ke kantornya, Julian segera menggelar rapat dengan stafnya terkait rencana event hari ibu tersebut. “Yang pasti, acara untuk hari ibu bukanlah konser musik, karena FUNtastic sudah pasti akan sibuk dengan persiapan tahun baru. Tetapi seminar, juga akan terasa membosankan.” Julian mengungkapkan kehendaknya. “Jadi aku berpikir mengenai pesta rakyat. Ya, yang bisa melibatkan banyak orang. Awalnya aku memiliki ide untuk mengadakan one day seminar untuk ibu karir akan baik dan membiarkan RMK yang menanganinya. Tetapi aku mengubah pikiranku.” Julian mengedarkan pandanganya pada orang-orang yang mendengarkan saksama di kursinya masing-masing. “Acara seperti itu tidak bisa menjadi acara besar dan spektakuler. Membuat acara seru hari ibu bertema tujuh belasan akan lebih seru!” binar itu tampak di mata cokelat terang Julian yang memimpin rapat. “Misalkan lomba untuk ibu dan anak. Lomba membaca puisi hari ibu, jalan santai keluarga, atau lomba membuat hadiah untuk ibu. Kita harus menggandeng sponsor besar yang akan diuntungkan dengan acara seperti ini. Kita akan mengadakannya di lapangan terbuka, mengundang ribuan orang untuk datang. Semua orang punya ibu. Kita hanya harus mengingatkan mereka bahwa membahagiakan ibu itu mudah, hanya dengan menyisihkan sedikit waktu bagi mereka, melakukan kegiatan bersama dengannya. Bergembira bersama.” Para staf mengangguk-angguk mendengarkan ide Julian tersebut. “Kurasa ide itu bisa dipakai,” kata Harris yang juga akan mengeksekusi acara tersebut. “Kurasa kita tinggal membuat konsep acaranya lebih rinci. Tapi apakah acara seperti ini akan mendapatkan keuntungan yang besar? Maksudku, jika kau menyebutnya pesta rakyat, artinya kita yang harus memberikan hadiah, dan bukan mereka yang membeli tiket, ‘kan?” “Tentu saja. Jika kita bisa mengelolanya dengan baik. Mencari rekanan dengan target sesuai. Aku sangat optimis dengan rencana ini. Carikan data sponsor yang potensial, Harris.” Julian tersenyum yakin. “Baiklah,” ungkap Julian. “Aku akan mempertaruhkan segalanya untuk rencana ini. Dan kita akan memenangkannya,” Mata Julian tampak mengilat tegas dan antusias.   *** “Konser hari ibu? Rene, akan sangat sulit karena, kau tahu tanggal itu berdekatan dengan Hari Natal dan tidak lama dari tahun baru. Mungkin mereka sudah banyak yang menyusun rencana akhir tahun untuk kedua acara itu.” Di JE, Rene juga menggelar rapatnya dengan stafnya. Dia benar-benar terlihat serius merencanakan acara Hari Ibu tersebut. “Yang kita butuhkan adalah promosi yang baik, dan pengisi acara yang baik! Kita hiasi acara ini dengan selebritis dan anak mereka. Apa kau tidak melihat sekarang ini banyak putra putri selebritis yang mulai menjual? Kita tujukan acara ini untuk kebersamaan ibu dan anak, dengan pengisi acara pasangan ibu dan anak. Kita undang selebritis yang memiliki fanbase yang besar dan loyal.” “Kita harus mencari sponsor yang potensial,” Rene mengungkapkan hal yang sangat penting. “Kurasa aku tahu siapa,” Rudy, sang Account Executive bicara. “Aku mendengar sebuah perusahaan asuransi baru ingin mempromosikan jaminan kehamilan yang akan mereka luncurkan dan berencana mengadakan grand launching saat hari ibu nanti. Kurasa kita bisa memanfaatkan peluang ini?” Rene tersenyum. “Nice. Biar aku sendiri yang melobi.”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN