Julian terburu-buru turun dari mobilnya dan melangkah seraya merapikan jasnya. Tidak lama, ia lantas tertegun saat melihat Direktur Jehan Enterprise juga berada di depan gedung kantor Platinum Insurance. Kejut tampak berhasil menghiasi raut cantik gadis itu saat melihat saingannya di sana.
Tanpa dikomando, keduanya menggerakkan kaki mereka lebih cepat memasuki gedung.
“Pak Teguh ada!?” cetus keduanya bersamaan, kepada resepsionis.
Resepsionis itu memandang keduanya bergantian. “Mohon tunggu sebentar,” katanya, menekan sebuah nomor, heran dengan begitu antusiasnya mereka. “Halo, Pak Teguh ada di tempat?”
“Apa yang kau lakukan di sini?” desis Rene kepada Julian.
“Alasannya mungkin sama denganmu, bukan?”
“Kau… mau mencuri sponsor kami?”
“Ha! Tidak salah? Bukankah terbalik? Sepertinya kau mulai memata-matai kami, ya?”
“Apa kalian sudah punya janji?” tanya resepsionis itu, lebih sering melirik Julian.
Keduanya tampak bingung. Rene bersuara, “Belum, tapi… aku membawakan tawaran menarik—“
“Aku bertemu Pak Teguh di sebuah acara dan dia memintaku langsung datang ke kantor,” bohong Julian, memasang senyum meyakinkan.
Resepsionis itu tersipu sejenak karena senyum Julian, dan berujar kepada Rene. “Biasanya Pak Teguh tidak menerima tamu tanpa janji. Apa kalian datang bersama?”
“Tidak!” tampik keduanya, lantas saling melemparkan lirikan mengecam.
“Kalau begitu, silakan naik ke lantai lima,” katanya kepada Julian. “ Anda sebaiknya temui sekretarisnya untuk membuat janji terlebih dahulu.” Resepsionis tersebut memberikan tag VISITOR kepada mereka.
Keduanya terburu-buru menghampiri lift, dan berebut masuk ke dalamnya, Rene yang sudah berhasil masuk terlebih dahulu, segera menekan tombol untuk menutup pintu lift. Namun Julian akhirnya berhasil masuk sambil mendengus kesal. Mereka lalu saling menyenggol untuk menekan tombol angka lima dan berbagi tatapan sinis.
“Sebaiknya kau pulang saja. Kau tidak akan mengalahkan proposal kami,” tukas Julian percaya diri, menatap tas kerja Rene.
“Cih,” sinis Rene, “tidak usah banyak bicara, dasar lelaki murahan.”
“Ha! Bukan aku yang datang mengandalkan belahan dadaku,” sahut Julian tidak kalah sinis, mengamati kulit putih Rene di balik kerah blusnya.
“Dan bukan aku yang akan merayu sekretarisnya agar diijinkan masuk terlebih dahulu.”
Rene yakin itu yang akan Julian lakukan nanti.
“Semua sah dalam peperangan.”
“Kalau begitu, kau jangan komplain karena aku satu-satunya yang memiliki belahan d**a di antara kita!” tandasnya, membusungkan dirinya kepada Julian menantang.
Julian mengeratkan rahang dan menahan diri untuk menelan ludah saat mendapati keindahan di hadapannya. Tatapan Julian terpasung pada mata Rene. Lama berlalu keduanya hanya terdiam saling memandang. Gravitasi tiba-tiba berubah, bukan lagi ke dasar bumi melainkan kepada satu sama lain. Rene dan Julian merasa setiap sel dalam tubuh mereka berreaksi ganjil.
Lift berdenting. Perhatian keduanya segera teralih pada pintu lift yang terbuka. Dan sekali lagi keduanya berlomba mencari ruangan Teguh.
“Ah!” Julian terkesiap saat menemukannya terlebih dahulu.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang gadis molek berpenampilan rapi menawan.
Julian sekali lagi memulas senyumnya menawan yang selalu berhasil meluluhkan gadis mana saja.
“Saya Julian, dari Creative Universe, ingin menemui Pak Te—“ ucapan Julian tidak selesai karena Rene tiba-tiba menyalip dan menyenggolnya keras.
“Saya Renesty dari Jehan Organizer, bisakah saya bertemu dengan Pak—“
“Apa kau tidak bisa mengantri? Dasar barbar!” rutuk Julian, tidak bisa menahan diri.
“Diam! Aku sedang bicara!” desis Rene kepada Julian, sekali lagi keduanya bertatapan tajam, dari kejauhan genderang perang ditabuh semakin lantang.
“Maaf, jika kalian ingin bertemu dengan Pak Teguh, beliau baru saja pergi.”
“Kemana!?” Rene dan Julian menoleh dan bertanya bersamaan kepada sekretaris itu.
“Ada pertemuan di luar kota. Baru saja, yang mengenakan jas cokelat, kurus.”
“Yang agak berjanggut?” tanya Rene, menyebut seorang pria yang tadi sempat berpapasan dengannya.
“Benar. Mungkin kalian bisa membuat janji—“
Kedua saingan itu tidak menunggu ucapan sekretaris Teguh menyelesaikan kalimatnya.
Mereka bergegas menuju lift dan sekali lagi saling berebut masuk. Adegan di awal tadi terjadi lagi. Dengan tegang Rene mengamati angka di atas pintu, dan mengetuk-ngetukkan sepatunya tidak sabar.
“Berhentilah mengetuk-ngetuk hak sepatumu,”Julian memerintah.
Rene mendelik, memangnya dia akan mendengarkan Julian?
Lampu indikator menunjukkan angka dua saat tiba-tiba saja lampu lift meredup dan terdengar suara berderak. Lift berhenti mendadak.
Julian tertegun. Sepertinya mati lampu, dan lift jadi berhenti. Sial! Kenapa harus di saat penting seperti ini? Dia akan kehilangan Teguh dan… Julian melirik Rene. Harus terjebak dengan gadis sombong itu!
Alis Julian terpaut saat matanya mulai menangkap ada hal yang tidak beres.
“Tidak! Apa liftnya macet!? Tidak…! Keluarkan aku dari sini! Aku harus keluar dari sini!” panik Rene. “Buka pintunya!! Buka pintunya!!” ia menggedor pintu lift dan menekan-nekan tombol.
“Rene, kau tidak apa-apa?” desis Julian resah saat dilihatnya gadis itu termegap. “Rene, kau tidak apa-apa?” Terlepas bagaimana gadis itu selalu terlihat tenang, Rene tampak sangat panik, dan itu mengejutkan Julian.
Rene menggeleng-gelengkan kepalanya, menekan-nekan tombol membuka pintu tidak sabar. “Kenapa pintunya tidak mau terbuka? Tidak…! Aku harus keluar! Toloong!! Tolooong!!” serunya tak terkendali.
Sepertinya Rene mengalami panik.
“Rene, tenanglah! Hanya mati lampu, tidak akan lama. Nanti pasti terbuka lagi.” Julian berusaha menarik lengan Rene agar berhenti menggedor-gedor pintu lift yang mereka tumpangi.
Rene memang berhenti memukuli pintu lift itu, tetapi raut tegang dan paniknya malah semakin kentara.
Gadis itu menggeleng-geleng seraya memegangi dadanya. “T-tidak… tidak… aku tidak bisa bernapas!” Wajah Rene memucat dan suaranya bergetar. “A-aku harus keluar! Tidak! Aku harus keluar!!”
“Hei, Rene, tenanglah…!” Julian pun mulai agak panik, khawatir sesuatu terjadi pada saingannya tersebut.
Si gadis cantik mulai terlihat lemas, ia bersandar pada sisi lift, dan terus menggelengkan kepalanya. “A-aku tidak bisa… bernapas…” lirihnya, dengan d**a bergerak cepat. “Aku… tidak..” Rene merasakan dadanya semakin sesak dan berat, kepalanya ringan dan tubuhnya lemas. “Tidak…” Ia merosot ke bawah.
Dengan tanggap Julian menyanggah Rene, dan mendudukkannya perlahan di lantai lift.
“Rene, kau harus tenang. Tenang… tidak apa-apa, tidak akan terjadi apa-apa,” Julian berucap, berusaha menenangkan. “Kau bisa bernapas, tenanglah. Do it slowly. Take your breathe, inhale… exhale… calm down… ya, lakukan perlahan saja,” bisiknya, saat Rene tak lagi bersuara dan sepertinya berusaha keras mengikuti petunjuk Julian.
Namun Rene terus menggelengkan kepalanya. Keringat dingin mulai meretas porinya. Seluruh tubuhnya lemas, kesemutan.
“I can’t…” lirihnya, setengah putus asa.
“Yes you can, Rene! Bertahanlah, kau gadis yang kuat… tidak ada yang perlu membuatmu khawatir di sini.”
Julian lantas membiarkan gadis itu bersandar kepadanya, sebelah tangannya meraih bahu Rene, meremasnya. “Now close your eyes, tenangkan dirimu, ayo… Ada aku di sini, aku akan menemanimu… tidak perlu takut…”
Rene berusaha mengikuti kata-kata Julian. Ia menutup matanya dan berusaha menenangkan diri. Julian terus memberikan instruksi kepadanya.
“Bernapaslah dengan perlahan, tidak perlu terburu-buru. Bernapaslah hingga ke perutmu, benar, seperti itu, Rene. You’re doing great. Inhale… exhale… rasakan udara masuk ke paru-parumu, ke tubuhmu. Semua baik… rasakan perutmu naik… dan turun… bernapas lagi perlahan… semuanya akan baik-baik saja… bagus… Kau bernapas dengan sangat baik,” Julian mengusap kepala Rene lembut.
Dapat terlihat raut wajah Rene kini sudah lebih tenang.
“Bayangkan saat ini kau berada di tempat favoritmu, tempat yang bisa membuatmu merasa relaks, damai… dan tenang. Kau bisa membayangkannya?”
Rene mengangguk perlahan, Julian tersenyum lebih lega.
“Dan bernapaslah lebih lega, lebih dalam. Kau di tempat luas, udara berlimpah di sekitarmu. Kau bernapas dengan tenang dan baik… Kau baik-baik saja, Rene…”
Rene bisa merasakan kepanikan itu berangsur menghilang. Suara Julian begitu mendamaikannya.
“Kau sedang membayangkan apa?” tanya Julian lembut.
“Padang bunga… yang sangat indah…” bisik Rene.
“Bagus sekali,” Julian kembali tersenyum tipis. Suara Rene pun sudah lebih tenang.
Julian kini terdiam, mengamati raut Rene yang mendamai. Garis panik sudah pergi dari kecantikan gadis itu. Tinggallah Julian, menatap Rene lekat. Gadis ini memang sangat menawan. Julian bisa merasakan hatinya berdesir aneh dan jantungnya berdebar lincah.
“Sekarang tenangkanlah dirimu. Aku bersamamu, aku akan memastikan kau baik-baik saja…” Julian menyentuh pipi Rene lembut.
Gadis itu perlahan membuka matanya, tatapannya lalu beradu dengan tatapan lembut lelaki itu. Rene menyentuh telapak Julian di pipinya.
“Thank you…” lirihnya lembut. Julian membalas dengan senyuman yang sama.
“Aku mau…” Rene hendak berusaha berdiri, tetapi Julian menahannya.
“Kau masih lemas,” Julian mengingatkan. “Tunggulah sebentar, istirahat dulu.” Lelaki itu terdengar sangt khawatir. “Sekarang tenangkanlah dirimu. Mungkin sebentar lagi, liftnya akan menyala.”
Rene mengangguk. Lantas keduanya hanya bertatapan semata sekian lama, dan perlahan tapi pasti gravitasi antara mereka bekerja lagi. Julian merasakan sesuatu dalam diri gadis itu menariknya, tanpa terelakkan, Julian mendekatkan wajahnya kepada Rene.
Rene pun merasakan sensasi yang sama. Penolakan sama sekali tidak terlintas di kepalanya.
Seandainya lampu tidak kembali menyala, suara lift tidak kembali terdengar dan bergerak. Entah apa yang telah keduanya lakukan.
“Sudah menyala,” Julian tersentak, spontan mendongak menatap lampu yang menyala.
Kalimat itu menyadarkan mereka dari suasana yang terasa asing bagi mereka.
“I-iya,” Rene melepaskan dirinya dari Julian dan berusaha berdiri. Telapak hangat lelaki itu juga otomatis melepas sentuhannya.
“Kau bisa berdiri?” Julian masih bertanya dengan intonasi lembut, membantunya.
Rene mengangguk agak kikuk. Tetapi ia mulai merasa tak nyaman dengan perhatian Julian.
Pintu lift lalu berdenting dan terbuka. Rene dengan terburu-buru dan tanpa berkata apa-apa keluar dari sana. Mereka sudah pasti kehilangan Teguh, tetapi Rene merasa ia harus segera pergi dari situasi ini.
Direktur JE itu sempat mendengar pria saingannya memanggil. Namun, dia tidak tahu entah apa yang lelaki itu inginkan. Dengan resah Rene memilih terus berjalan. Berusaha berlari dari perasaan asing yang semakin tebal menyelimuti hatinya.