Pengejaran

1810 Kata
“Ya?” Rene meneguk kopinya sejenak saat menerima interkom dari Ketrin, sekretarisnya. “Ada telepon dari Platinum Insurance.” Suara sengau gadis itu terdengar. “Sambungkan,” perintahnya, seraya menegakkan badannya dan mengalihkan matanya dari dokumen-dokumen itu. “Halo,” sapa gadis itu ramah. “Rene.” Satu kata itu membat Rene tertegun, sudah membuat ia menyadari siapa yang ada di telepon. “Kau…” “Julian,” nadanya sangat tenang. Sebaliknya dengan jantung Rene. “Ponselmu ada padaku.” Ah, jadi benar dugaannya… Saat kembali dari Platinum Insurance, Rene yang hampir seharian merasa linglung, baru menyadari ponselnya hilang. Saat itu dia sempat berpikir mungkin menjatuhkannya di lift saat sedang panik. Ketika Rene menghubunginya, tidak ada yang mengangkat, padahal ponselnya masih tetap dinyalakan. Ternyata apa yang diperkirakannya benar. Dan karena itulah Julian memanggilnya saat ini. “Bisa kita bertemu?” pertanyaan lelaki itu membuyarkan lamunan Rene. “Bertemu? K-kita bertemu? Sorry, tidak bisa,” gadis yang mendapat ajakan berusaha terdengar tegas. “Kenapa?” desak Julian. “Kau takut? Karena kejadian di lift?” Lelaki itu bertanya sangat tenang. Namun sesungguhnya Julian pun merasakan hal yang sama. “Ada sesuatu… antara kau dan aku…”  “Dengar, Julian! Aku berutang budi kepadamu, aku akui itu. Tetapi tidak lebih. Tidak ada apa-apa lagi. Suatu saat akan kubalas utang budimu.” Tanpa alasan yang jelas Rene panic seketika. “Kau bisa makan malam denganku. Itu cukup,” pinta Julian. Rene terkesiap. Apa telinganya masih berfungsi baik? “Makan malam? Maksudmu… kencan?” ia memastikan dengan sangsi. “Kau bisa menyebutnya begitu,” Julian mengonfirmasi. “Jangan main-main!” Walaupun berusaha tenang, Rene tidak bisa. “Aku tidak main-main,” Dan Julian memang terdengar sangat serius. “Seharian ini ponselmu sepertinya sibuk sekali. Ada banyak pesan masuk dan miss call untukmu. Kurasa kau sangat membutuhkannya.” “Aku tidak bisa bertemu denganmu,” desis Rene, kali ini terdengar cemas ketimbang kesal. “Ki-kita… tidak mungkin bertemu begitu saja.” “Aku tahu. Kau bisa datang ke apartemen baruku. Tidak ada yang akan tahu. Tidak seorang pun pernah kuajak ke sana,” tawar Julian. “What!?” si gadis mendesis/ “Kau sudah gila!? Apa yang membuatmu berpikir aku akan mengikuti kemauanmu. Kau pikir aku semurahan itu? Jika menurutmu ponsel itu bisa menjadi umpan. Think again!” kecam Rene. “Tidak. Bukan karena ponselnya,” tukas Julian tenang. “Karena kurasa… Kau juga merasakan apa yang aku rasakan.” Semua kalimat menghilang begitu saja dari bibirnya yang mendadak bisu dan kepala Rene yang mendadak tidak bisa berpikir. Saat itu pria di seberang telepon pun tidak bersuara lagi. Seakan-akan masih menunggu tanggapan Rene.  “Seebnarnya, a-apa maksudmu?” Rene berusaha terdengar tidak gugup dan tampaknya gagal. “Kau tahu apa maksudku,” ucap Julian, lembut dan yakin. Jantung Rene berdentam keras. Julian berkata begitu lembut kepadanya, seperti saat di lift. Dan, dia memang tahu jelas apa maksud Julian. Sejak kejadian di lift, kepalanya semakin sesak oleh sosok putra musuh ayahnya itu. Dia hampir tidak bisa memikirkan yang lain selain senyum mengejek dan angkuh lelaki itu, lalu ia teringat saat Julian mencuri kecupannya yang tiba-tiba, suaranya yang tenang dan mendamaikan, sentuhan hangat dan lembutnya. Rene rasanya hampir gila. Tidak ada seorang lelaki pun pernah bercokol begitu intens di benaknya seperti Julian Nararya. “Sorry. Aku tidak mengerti apa maksudmu. Aku harus pergi, masih banyak pekerjaan,” tampiknya, berusaha membohongi dirinya sendiri. Rene terburu-buru menutup telepon CEO tersebut. Ia mengeratkan rahangnya, sebagai upaya mengeraskan hatinya. Tidak. Dia tidak boleh menyerah pada hatinya. Dia harus mengenyahkan Julian dari kepalanya. Ini hanya perasaan sesaat. Aku pasti bisa melupakannya. Aku harus melupakan Julian! Demi keluargaku… Demi ayahku! Lagipula, dia seorang Pradipta dan Julian seorang Nararya. Siapa yang tahu sejauh mana ketulusan semua perbuatan dan ucapannya? Beberapa kali berinteraksi dengannya, Rene tahu pasti Julian adalah pria yang selalu memiliki maksud dari setiap perkataan dan perbuatannya. Tidak mungkin jika akan tumbuh perasaan selain benci dan dendam di antara mereka. Namun kali ini Rene harus mengakui, ada sesuatu yang memang tidak bisa dia kendalikan. Karena apa pun yang dia lakukan dan yakinkan kepada dirinya sendiri, sosok Julian Severino Nararya tidak juga kunjung menghilang dari kepalanya. *** Julian membaca satu per satu pesan di ponsel Rene. Baiklah, dia akui dia memang tidak seharusnya melakukannya. Tetapi Julian tidak bisa menahan rasa penasarannya. Gadis itu benar-benar primadona. Banyak sekali yang berharap kepadanya, dan dengan lihai Rene memanfaatkan mereka semua. Kebanyakan dimanfaatkan untuk memperluas relasi bisnisnya. Sepertinya, ponsel yang jatuh ke tangannya memang hanya sebatas ponsel untuk menjaga relasi bisnisnya dengan orang-orang tersebut. Tidak ada hal-hal yang terlalu penting di sana selain ajakan-ajakan bertemu atau basa-basi ucapan terima kasih dan pertanyaan apa kabar. Namun Rene menjaga harga dirinya cukup baik. Kalimat provokatif dari para lelaki itu ditanggapinya dingin atau malah dengan terus terang Rene menyatakan dia tidak menyukai perkataan lawannya. Dan biasanya para lelaki itu menjawab sungkan. Kalaupun ada yang tetap berperilaku menggoda berlebihan. Rene kemudian mengabaikannya cukup lama, hingga gadis itu menghubunginya lagi untuk meminta pertolongan. Julian mengulas senyuman di bibirnya. Rene memang sangat pandai mempermainkan perasaan dan memanfaatkan para lelaki. Gadis yang sangat menarik. Tetapi sepertinya gadis itu amat berhati-hati terhadapnya. Tentu saja. Bagaimana bisa keduanya berperan selain menjadi saingan dan musuh bebuyutan? Sejujurnya Julian sendiri tidak yakin dengan perasaan aneh yang menyelimutinya belakangan setiap kali kepalanya memutar memori tentang Rene. Dan, kejadian di lift seakan menyingkap tirai yang selama ini menutupi akalnya. Julian mulai menyadari perasaan asing yang selama ini ia rasakan saat mengingat sosok Renesty. Ia tertarik. Dan lebih dari itu, ia sangat peduli. Sepertinya, Julian memedulikan Rene lebih dari wanita mana pun yang dia kenal. Mungkin, perasaan ini lebih dari sekadar rasa tertarik. Dia sepertinya, mulai jatuh cinta. Ia yakin gadis itu juga merasakan hal yang sama dengannya. Dari tatapan matanya di lift, juga bahasa tubuhnya yang sama sekali tidak menolak Julian. Hanya saja, gadis itu mungkin masih berkutat dengan penyangkalannya. Berbeda dengan Julian, yang mulai merasa perasaannya telah menjebol pertahanannya. Julian beranjak. Dia memutuskan mengambil langkah. Bagaimana pun, dia seorang lelaki. Ia tahu secara teori, hatinya dan Rene tidak seharusnya berpadu. Namun Julian tidak menyukai berada dalam ketidakpastian. Ia tidak mau meragu lama-lama karena akan memakan akal sehatnya. Ia harus memastikan perasaan mereka berdua, dan setelahnya, ia akan memastikan apakah rasa yang tumbuh di hatinya ini, layak diperjuangkan. *** Julian memarkir mobilnya, memasuki gedung Jehan Enterprise yang terletak di Jakarta Pusat. Berpasang-pasang mata memandangnya kaget dan heran, tetapi tidak ada yang berani menghalanginya. Mereka hanya sanggup berbisik-bisik dan saling mencolek sambil bertanya, kenapa dia terlihat seperti Julian dari CU? Tentu saja sebagian besar tidak percaya kalau itu memang Julian. Selain wajahnya masih kurang familiar, tidak ada seorang pun yang berpikir seorang Nararya akan menginjakkan kakinya ke wilayah telarang ini. Lelaki itu melangkah dengan tenang dan pasti. Tubuh tegap dan gerakannya begitu percaya diri, begitu menguasai sekelilingnya walaupun dia berada di kandang lawan. “Selamat siang, Cantik. Di lantai berapa kantor Ibu Direktur Renesty?” tanyanya penuh pesona kepada resepsionis. “Lantai tiga…” seakan terhipnotis resepsionis itu berkata tanpa sadar. “Terima kasih,” Julian beranjak setelah menghadiahinya senyuman yang akan membuat gadis itu mimpi indah. Sekian lama terlena, barulah gadis bernama Siska itu tersadar. “Eh, yang barusan itu… siapa namanya ya?” Julian keluar dari lift dengan langkah pasti, menyusuri lorong mencari ruangan Rene. Sama halnya dengan yang terjadi di lantai dasar, beberapa orang yang mengenalinya tampak terkejut dan berbisik-bisik melihat keberadaan Julian di kantor mereka. Termasuk Ketrin, sekretaris Rene. Matanya membulat saat mengenali siapa yang datang. “Pak Julian! Anda tidak boleh masuk, Bu Direktur sedang ada tamu—“ Ketrin tidak berhasil menghalau Julian yang bergerak seperti topan, merangsek tegas, tidak terbantah. Julian bisa melihat dari kisi-kisi tirai, Rene sedang bersama beberapa tamunya. Bagus. Pertunjukannya akan menjadi lebih bagus lagi. Rene dan para tamunya segera menoleh ke arah pintu yang terbuka. Mata gadis itu melebar melihat sosok tegap Julian di ambang pintu kantornya. “Julian…” “Maaf mengganggu,” lelaki itu berkata dingin tanpa menghentikan langkahnya. Ia menatap Rene. “Kurasa kita harus bicara, Renesty.” Suara maskulinnya bergema tegas. “Apa yang mau kau bicarakan!?” sentak Rene, masih sangat terkejut melihat Julian yang memangkas jarak di antara mereka dengan cepat. “Aku sedang ada tamu. Keluar kau dari sini!” gadis itu berdiri, hendak mengusir tamu tak diundangnya. Namun sebaliknya, lelaki itu berhasil mendesak Rene hingga tersandar ke mejanya. “Kau gadis kurang ajar! Bisa-bisanya kau menggunakan cara licik untuk mendapatkan sponsor kami. Apa kau tidak punya harga diri!?” bentak Julian, membelakangi para tamu Rene yang terlihat bingung dengan situasi yang terjadi. “Jaga ucapanmu!!” kecam Rene. “Aku tidak mengerti apa maksudmu!” Julian mengeluarkan ponsel Rene dari balik jasnya. “Kurasa ini milikmu,” bisiknya, mengukir senyum asimetris menggoda di bibirnya. Rene sejenak tertegun. Ia mengamati ponsel itu dan kondisi di sekelilingnya. Jadi Julian melakukan semua ini hanya demi mengembalikan ponselnya? Benar-benar tidak bisa diduga. Rene meraih ponsel itu, dan dia bisa merasakan usapan menggoda telapak Julian yang lembut di punggung tangan dan ia bahkan berani meremasnya saat menyerahkan ponsel itu. Rasanya jantung Rene terkena setrum ribuan volt yang membuat napasnya hampir putus. “Aku tidak akan memaafkan perbuatanmu, Renesty. Kau akan rasakan akibatnya nanti!” kecam Julian, kembali dengan suara keras. Rene berusaha mengendalikan raut dan perasaannya. Sangat tidak adil karena Julian yang membelakangi para tamu masih tersenyum menggodanya sementara Rene harus bersusah payah memasang wajah marah dan dongkol. “Hei, bung! Kau tidak boleh kasar kepada perempuan!” sergah seorang tamu, menarik bahu Julian. Sontak Julian mendorong dadanya kasar. “Sebaiknya kau jangan ikut campur,” Julian menunjuk dan menatap garang. “Dia ini bukan perempuan. Dia ini ular betina.” “Kurang ajar!” desis Rene, mengecam. “Cepat pergi dari sini atau aku akan memanggil keamanan!” “Tidak perlu repot-repot,” tandas Julian tajam, dia mencondongkan wajahnya kepada Rene. “Kita harus bicara,” bisiknya “Baca pesanmu.” Ia lalu menjauhkan diri dari Rene dan bicara dengan suaranya yang menggema. “Aku juga sudah mau pergi.” Julian berbalik menatap para tamu Rene. “Berhati-hatilah, dia gadis licik.” “Jaga ucapanmu!” kecam Rene geram. “Dasar lelaki barbar!!” Julian melemparkan tatapan sinis kepada Rene, ia lalu meraih sebuah pajangan dan membantingnya. “Itu, baru barbar!” Lelaki tersebut berbalik keluar dari sana, meninggalkan ketegangan di tengah ruangan. “Apa itu Julian Nararya dari Creative Universe? Aku baru tahu dia tidak punya tata krama,” ungkap salah seorang tamu. “Hampir saja perusahaan kami akan memberikan project ini kepada CU. Untunglah kurasa keputusan memilih Jehan lebih tepat.” Para tamu masih melebah membicarakan perilaku Julian yang anarkis sementara Rene berusaha menenangkan jantungnya untuk alasan yang berbeda. Ia melirik ponselnya di atas meja. Kita harus bicara… ia teringat kembali kata-kata Julian. Baca pesanmu. Rene menelan air liurnya dengan sangat galau. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN