Rene membaca berbagai informasi yang terlambat pada ponselnya. Ada banyak sekali pesan dan miss call. Yang membuat Rene geram, Julian membalas pesan-pesan dari para lelaki itu dengan, “Jangan hubungi aku lagi.”, “Kau membosankan.”, “Apa kau tidak mengerti bahwa aku sama sekali tidak tertarik kepadamu?”
Dan lain sebagainya.
Kurang ajar sekali lelaki itu, beraninya dia membobol ponsel Rene. Melakukan segala sesuatu seenaknya. Tetapi entah kenapa, sebenarnya Rene juga merasa hal itu agak lucu. Karena ia memang ingin mengatakan apa yang Julian katakan kepada orang-orang itu—seandainya saja Rene tidak teringat bahwa mereka masih cukup berguna untuknya.
Direktur JE tersebut lantas mengirim permintaan maaf kepada mereka dengan pesan template, “Sorry, ponselku sempat hilang, sepertinya ada yang iseng membalas semua pesanku. Tolong abaikan jika ada pesan yang tidak jelas.”
Tidak berapa lama balasan dari para pria itu masuk ke ponselnya dengan berbagai kalimat lega.
Rene mengabaikan mereka lagi.
Namun, tiba-tiba sebuah pesan menarik perhatiannya. Pesan itu dari ROMEO. Rene membukanya, hanya sebuah pesan singkat.
[We need to talk.] Disertai alamat sebuah apartemen.
Rene tidak mengingat satu pria pun bernama Romeo yang dikenalnya, namun nomor kontak orang itu tersimpan di ponselnya. Dan, dari tanggalnya, Rene menyadari bahwa itu pesan Julian untuknya.
Hati Rene bimbang bukan kepalang. Tidakkah lelaki itu juga memiliki keraguan besar sepertinya? Dengan semua dendam dan perselisihan di antara keluarga mereka selama ini, juga persaingan puluhan tahun di antara perusahaan mereka. Kenapa Julian tampak tidak memikirkan semua itu?
***
[Dasar kurang ajar kau membalas semua pesan untukku!”]
Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya Julian mendapati pesan masuk dari gadis pujaannya saat ia sedang berkencan di sebuah restoran Perancis. Senyuman samar menghias bibir berlekuknya.
[Saat itu ponselmu ada padaku, dan pesan-pesan mereka sangat mengganggu.]
Julian mengabaikan ocehan teman kencannya, salah seorang pemilik perusahaan interior yang akan menggunakan jasa mereka mengadakan pameran.
[Tapi bukan berarti kau boleh seenaknya membalas pesan-pesanku! Apa kau meminta orang membobol pinku? Kurasa aku harus melaporkanmu pada polisi!]
Untunglah Rene hanya menggunakan ponsel itu untuk menjalin relasi dan mencari hiburan saja. Tidak ada hal-hal penting terkait project perusahaannya di sana.
[Tidakkah kau pikir lebih menarik jika bisa memarahiku secara langsung? Temui aku.] tantang Julian.
Rene menggigit bibir bawahnya gelisah. Ini kesekian kali Julian mengajaknya bertemu. Tetapi dia tidak bisa.
Tidak!
Taruhannya terlalu besar. Dia tidak tahu apa motif Julian. Bagaimana jika lelaki itu mempermainkannya?
[No.] Jawab Rene.
Tetapi sebuah penolakan sama sekali tidak menggentarkan Julian. Lelaki ambisius yang tidak menyukai kekalahan itu sangat keras kepala dan pantang menyerah.
Julian tidak putus asa. Berkali-kali nama “ROMEO” muncul di ponsel Rene.
[Apa kau datang ke gala dinner perusahaan X?]
[NO.]
[Datanglah ke pameran media di gedung X]
[NO.]
Gara-gara tingkah saingannya tersebut, Rene terpaksa melewatkan berbagai undangan dan event serta mengutus bawahannya agar dia tidak harus bertemu Julian.
Rene begitu keras berusaha lari dari perasaannya. Dari Julian. Entah kenapa ia merasa begitu takut berjumpa lagi dengan lelaki saingannya tersebut. Padahal sebelumnya mereka telah beberapa kali bertemu dan bertikai, bahkan kadang tidak mengenal tempat. Tetapi sekarang, setiap kali ia melihat nama Julian, hati Rene menjadi gentar. Takut.
RENE TAKUT.
Hal yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Dan yang harus dia hadapi, adalah perasaannya sendiri.
[Aku tidak akan pernah menerima tawaranmu. Camkan itu baik-baik.]
Julian menatap balasan pesan Rene untuknya. Apakah gadis itu benar-benar tidak menginginkannya? Apakah seorang Julian kali ini terlalu besar kepala, dan salah menilai perasaan Rene kepadanya?
Tidak mungkin. Julian terlalu mengenal wanita untuk tahu gadis itu ada rasa atau tidak kepadanya. Lagipula, saat mereka bercengkrama di pesta ulang tahun Rene, saat putri Pradipta itu tidak melihat nama keluarganya, bukankah mereka berinteraksi dengan baik?
Julian yakin sekali itu perasaan Rene yang jujur kepadanya. Lelaki itu yakin, Rene pun merasakan getaran yang sama dengannya.
“Belakangan kau sering melamun. Apa ada gadis yang berani menolakmu?” teguran Harris, memecahkan lamunan Julian yang terpekur menatap ponselnya lama.
“Hei, bro, kapan datang?” sapa Julian kepada sepupunya yang terlihat agar berantakan seperti biasa. Ia agak terkejut menyadari Harris sudah berada tak jauh dari meja kerjanya.
“Aku sudah mengetuk pintu, sudah memanggil, tetapi sepertinya di ponselmu ada foto wanita tercantik sejagat raya, sampai-sampai kau benar-benar larut menatapnya,” sindir Harris.
“Sorry,” Julian berujar, sembari dengan cepat mematikan layar ponselnya. “Memang ada yang kupikirkan.”
Harris duduk di hadapan Julian. “Ayo ceritakan kepadaku.”
“No…” Julian menggeleng. Dia bisa menceritakan apa saja kepada Harris, tetapi tidak yang satu ini. Tidak akan ada toleransi untuk perasaannya bagi Rene di dalam keluarga mereka. “Tidak ada apa-apa.”
“Come on, Julian… aku tahu benar apa yang terjadi. Kau mengingatkanku seperti saat kau jatuh cinta pada Regina dulu. Saat aku mengunjungimu ke Amerika, kau sedang mabuk kepayang dan begini tingkahmu.”
Julian menghempaskan napasnya keras. “Jangan sok tahu!”
“Aku tidak sok tahu. AKU TAHU. Mungkin orang-orang tidak akan mengira bahwa seorang Julian bisa mendadak jadi pujangga saat jatuh cinta dan melakukan segalanya untuk wanitanya,” ledek Harris.
“Well, itu semua diatur senyawa kimia dalam otakku. Aku bisa apa?” tanya Julian pasrah.
Haris meraih pena di meja Julian dan menunjuk-nunjukkannya ke jantung Julian untuk menekankan perkataannya. “Lelaki sepertimu harus berhati-hati saat jatuh cinta, Julian. Kau tidak boleh jatuh cinta pada wanita yang salah.”
Julian menggigit bibirnya tipis, otomatis saat mendengar kata jatuh cinta, ia memikirkan Rene.
Sayang sekali, sepertinya nasehat itu datang terlambat.
***
Rene berusaha keras mengabaikan Julian dan pesan-pesan dari saingannya yang meminta Rene menemuinya tersebut. Ia tidak mengira Julian sangat keras kepala. Tetapi entah kenapa gadis itu tidak merasa muak karenanya. Rene hanya merasa resah dan khawatir. Ia tahu bertemu Julian bukan hal yang tepat untuk dilakukan.
Namun betapa pun kerasnya usaha Rene menghindari Julian, toh tidak selamanya dia bisa melakukannya.
Seperti yang terjadi malam ini.
Rene tengah bersama Alan, seorang pria ningrat yang dia jadikan tameng untuk berusaha melunturkan Julian dari benaknya. Gadis semampai itu terlihat cantik dengan dress biru ketat tanpa lengan yang dikenakannya. Sementara Alan, dia memilih memakai batik, untuk datang ke acara konser yang diselenggarakan EO miliknya itu.
Saat itulah, Rene mendapati lelaki yang sosoknya selalu menghantui kepalanya, berada di konser penyanyi luar negeri yang diselenggarakan Jehan tersebut. Si gadis cantik berrambut kemerahan sangat terkejut dan spontan membuang wajahnya saat Julian menangkap basah keberadaannya. Lelaki itu pasti tahu bahwa Rene akan berada di konser ini karena dia bertanggung jawab untuk kelancaran acaranya.
Jantung Rene berdebar, dan kepalanya berputar, berpikir cepat cara menghindari si lelaki keras kepala.
“Tunggu sebentar, aku harus bicara dengan William.” Rene menyebut nama kepala proyek event kali ini untuk sejenak meninggalkan Alan. Namun belum sempat Direktur Jehan kabur, sapaan dari sebuah suara maskulin terdengar menyapa telinganya.
“Renesty… mau ke mana?” tegur Julian, dengan nada angkuh.
Rene berhenti melangkah, berbalik. Mendapati si pria blasteran dengan seorang gadis bule yang merapat kepadanya.
“Julian,” sapa Rene dingin. Mungkin karena dia tidak ingin semua orang tahu pergolakan perasaan di antara mereka saat ini. Atau mungkin dia hanya cemburu melihat gadis cantik melingkarkan tangannya dengan bebas di lengan Julian. “Hendak mengagumi pekerjaan sainganmu?” ia mengangkat sebelah alisnya kepada lelaki itu.
Julian menarik sudut bibirnya tipis,namun tatapannya dingin dan tajam. “Tidak. Menurutku Shakira sudah basi. Aku sama sekali tidak kagum dengan keberhasilan kalian menggelar konsernya. Tapi Marissa,” dia merujuk pada gadis di sampingnya. “Penggemar beratnya. Aku hanya menemaninya.”
“Oh, kupikir kau bekerja sampingan menjadi tour guide. Mungkin mencari tambahan pemasukan untuk CU yang hampir bangkrut,” sindir Rene dengan wajah sombong.
“Kau sendiri, kenapa mengajak pamanmu? Perawatnya sedang cuti?” balas Julian, melirik sejenak pada Alan.
Mata dan bibir Rene membulat, tak mengira Julian berani menyindir sejauh itu. Ia menoleh kepada Alan yang tampak tersinggung karena namanya tiba-tiba dilibatkan dan bukan untuk hal yang menyenangkan.
Alan memang tampak lebih tua dari usianya yang baru 30 tahunan. Dia memang terlihat serius dan agak old fashion, namun menyebutnya matang jauh lebih tepat dari pada tua.
“Saya bukan pamannya,” Alan berkata, berusaha tenang walaupun tersinggung. “Saya dan Rene—“
“Oh, Alan, sudahlah, jangan dengarkan dia!” potong Rene geram. “Dia memang menyebalkan. Ayo, kita pergi,” gadis itu menggandeng tangan Alan.
Julian mengamati pemandangan itu dengan kepala membara.
“Hati-hati, Pak, jangan sampai encok karena terlalu banyak melompat-lompat.” Lelaki itu berkata kecut.
Rene memutar bola matanya, antara kesal dan sebenarnya merasa geli juga mendengar sindiran saingannya.
“Dia orang paling tidak sopan yang pernah saya tahu,” tukas Alan yang berasal dari keluarga ningrat.
“Dia memang menyebalkan. Sebaiknya tidak perlu dihiraukan,” tandas Rene berusaha menenangkan.
Ponsel wanita menawan itu bergetar dan dia mendapati lagi nama ROMEO sebagai pengirimnya.
[You look so beautiful tonight.] Rene tertegun sejenak, ia kembali menoleh ke tempat duduk Julian. Lelaki itu masih mengamatinya lekat dengan tatapan tajamnya. Jantung Rene lepas kendali sekali lagi dan ia segera membuang muka.
[Perempuan di sampingmu akan lebih senang mendengarnya.] Tanggap Rene. Ada kecemburuan yang tak bisa ia sembunyikan saat mengetikkan kalimat itu.
[Akhirnya, jawaban selain “NO”. Jadi kapan kita akan makan malam?]
[NEVER]
[Play hard to get, huh? But sooner or later you’ll be mine.]
[Keep dreaming, Romeo]
[I will. And I’ll take you to my dreamland. You’ll love it, I bet.]
Perasaan itu semakin tak terperi. Rene menghela napas teramat dalam. Sepertinya Julian mengajaknya bermain api. Tetapi Rene tidak ingin terkena baranya. Mengikuti Julian hanya akan membuat mereka sama-sama terluka.
Rene bertekad. Ia harus mengabaikan Julian. Mungkin saja lelaki itu hanya menggoda dan mempermainkan perasaannya. Direktur JE tersebut menolak untuk menyerah. Ia memutuskan mematikan ponselnya sepanjang acara, dan membiarkan Julian merasa geram dan putus asa.
***