Julian menikmati kesendiriannya di café Augusta malam ini. Ia sengaja memilih lounge yang terletak di pojok agar tidak begitu mencolok. Café adik tirinya memang tidak begitu jauh dari CU, jadi Julian bisa datang ke sana kapan saja setiap ia merasa perlu menenangkan diri sambil mendengarkan musik.
Hari ini Augusta belum terlihat batang hidungnya. Julian menikmati secangkir kopi hitam sambil membaca majalah olahraga yang disediakan di sana.
“Hei Julian, kau sendirian?” sebuah suara terdengar menyapa pria gagah itu. Julian mengalihkan pandangan ke arah suara, mendapati ada Diana di sana. Gadis itu tampak sangat seksi dengan tube dress krem yang dikenakannya. Ia memakai sepatu hak tinggi warna senada dengan anting berbentuk bulat yang cukup besar untuk dijadikan gelang.
Agak tak seimbang Diana melangkah mendekati Julian.
“Hei,” sapanya pendek. Sebetulnya Julian sedang benar-benar ingin sendirian. Ia datang ke sini pun karena ada urusan pekerjaan yang ingin dibicarakannya dengan sang adik tiri. “Augusta belum datang?” Ia memastikan kepada gadis kurus itu.
Diana mengundang dirinya sendiri dan duduk di sofa yang sama dengan Julian. Lelaki itu menghirup udara dalam dan bergeser sedikit tidak nyaman.
“Sepertinya ada kemacetan atau apa… entahlah…. Penampilannya masih sejam lagi. Tapi aku senang bisa melihatmu di sini,” ungkap Diana, memberi senyum dengan tatapan agak kosong tapi tak lepas memandang Julian. “Aku sudah di bar sejak tadi. Kenapa kau tidak menyapaku?” tanyanya. “Kau juga duduk di pojokan seperti ini, aku… baru menyadari keberadaanmu.”
Alis Julian berkedut tipis. Cara gadis itu menatap dan tersenyum kepadanya…. Lelaki itu tidak asing lagi. Pasti gadis berpakaian seksi ini menginginkan sesuatu.
“Ah, aku memang tidak memperhatikan sekitar,” ungkap Julian. “Oh, ya, bagaimana hubunganmu dengan Augusta?” Dengan sengaja ia menyebut nama adiknya.
“Oh, kami baik,” tanggap Diana pendek, tampak kurang berminat dan langsung mengalihkan pembicaraan. “Uhm, Julian, aku mau minta maaf, soal sepupuku Melly. Seharusnya tidak kubiarkan dia berbohong seperti itu… bahkan sampai menyusahkanmu,” ungkapnya kemudian. “Saat itu dia stress karena sudah mau ujian, dan merengek minta diajak ‘gaul’ katanya. Aku tidak tahu kalau dia terus membohongimu dalam waktu lama.” Sesal Diana.
“Sudahlah, aku sudah melupakannya,” Julian menanggapi enteng saja. “Lagipula aku—“
Kalimat itu tidak selesai, karena tiba-tiba saja Diana dengan agresif hendak mencaplok bibir Julian, kalau saja pria itu tidak refleks menjauhkan wajahnya dan menahan bahu Diana.
“Apa yang kau lakukan!?” tegur Julian keras
“Julian, aku sebenarnya sangat menyukaimu,” Diana tiba-tiba mengaku. “Kau jangan pura-pura tidak tertarik, aku tidak akan menuntut apa pun, kita senang-senang saja,” tawarnya.
Julian baru menyadari sesuatu. “Sepertinya kau mabuk?” tanyanya.
“Sedikit,” ujarnya. Tiba-tiba wanita itu kembali berusaha menerkam kakak Augusta tersebut.
“Hei!!” tampik Julian, berusaha menghindar sekali lagi.
Tetapi gadis itu menumpukan seluruh berat tubuhnya ke arah Julian, posisi lelaki itu yang tidak strategis membuatnya agak kesulitan menahan berat tubuh Diana yang ambruk ke arahnya.
Kepala Diana langsung tertumpu di bahu Julian. Gadis itu menoleh, hingga bibirnya sangat dekat dengan leher dan wajah kakak kekasihnya. “Julian… kau tampaan sekali…. Aku ingin…”
Saat itulah, Julian menyadari adik tirinya menghampiri mereka dengan tatapan tajam dan raut teramat geram.
“Augusta?” Julian terperangah.
Tampak benar lelaki yang disebut namanya itu geram, tanpa berkata apa pun, Augusta segera berbalik pergi.
“Ugh!” Julian mengenyahkan Diana ke samping. Gadis itu agak terpekik saat tubuhnya membentur sandaran sofa, dan tampak bingung saat melihat Augusta beranjak pergi dengan kemarahannya.
Julian mengejar adiknya hingga ke pintu belakang café.
“Hei, Augusta!!” Julian menarik bahu adiknya hingga berbalik arah menghadapnya.
Tak dinyana, saat itu Augusta langsung melayangkan tinju ke arah Julian. Untung saja lelaki itu dapat menghindarinya dan bahkan menangkap lengan adik tirinya.
“Augusta!! Hentikan! Dengarkan aku!!” tukas Julian.
“Mendengarkanmu!?? Mendengarkan apa!?” Augusta terdengar menyeramkan dan terlihat sangat agresif, dengan cepat dia berusaha keras menyerang Julian, melayangkan tinjunya kesana kemari membabi buta. “Kau sudah punya segalanya!! Ada ribuan wanita akan bersedia mengantri untuk menjadi pacarmu!! Ukh!!” Tinju Augusta hampir bersarang di perut Julian, tetapi hanya sempat mengenai pinggangnya.
“Aku tidak melakukan apa pun!” Julian berusaha menenangkan adiknya.
“Kenapa kau harus merebut satu-satunya wanita yang kucintai, hah!!? Apa tidak cukup semua orang menyukai dan mengagung-agungkanmu!!?”
“BUG!!” kali ini Augusta menyarangkan lagi tinjunya, tetapi bukan pada Julian, melainkan pada tembok. “Arrrggh!!!” lelaki itu mengerang hebat. Kesakitan. “Blug!!” Dia jatuh berlutut.
“Augusta!! Augusta!! Kau tidak apa-apa!?” Julian segera berhambur ke arah adiknya.
“Pergi!!” Augusta berusaha mendorong kakaknya mundur, lantas erangan nyeri kembali keluar dari bibirnya.
“Kita harus segera ke rumah sakit!” saran Julian yang terlihat resah. “Aku khawatir tanganmu patah!”
Augusta tak berdaya berkata apa-apa, selain menahan rasa nyeri pada kepalan tangannya sambil mengeluarkan sumpah serapah atas kesialannya hari ini.
***
“Dua jarinya mengalami retak. Harus diistirahatkan total selama beberapa minggu, dan harus melakukan control serta perawatan sesuai jadwal.”
“Beberapa minggu? Tapi aku punya jadwal manggung minggu depan!” Augusta ngotot. “Bagaimana aku bermain musik jika tidak dengan menggunakan tanganku!?”
“Saat ini tidak ada yang bisa dilakukan selain mengistirahatkan total tanganmu, dan melakukan perawatan yang diperlukan.” Terang Dokter tulang tersebut.
“Ah, sial!” rutuk Augusta.
Julian menepuk bahu adiknya. “Augusta, maafkan aku,” ia terdengar tulus dan sangat menyesal.
Augusta menatap kakaknya sejenak, kali ini sudah lebih lunak. “Sudahlah,” Ia tampak enggan. “Tidak usah dibicarakan lagi.”
Sekali lagi Julian menghela napas dalam. Merasa iba dengan adiknya. Julian tahu benar bagaimana Augusta sangat ingin tampil di festival musik tersebut. Sekarang, saat kesempatan telah datang, Augusta malah tidak bisa memehuni umpiannya itu.
Apalagi, masalah dari pertengkaran itu bukan hanya berakhir dengan retaknya jari drummer tersebut.
***
Pagi itu, suasana tenang di kediaman Nararya terusik, saat Anton membaca hadline news sebuah berita di halaman tabloid yang menarik perhatiannya saat hendak sarapan.
“Drummer Band Forever Berkelahi dengan Kakaknya yang Direktur Creative Universe Demi Artis Pendatang Baru Diana Callista”
Itu adalah judul headline yang sangat mencolok dan segera menarik perhatian Anton. Pria paruh baya itu mengeratkan rahangnya, dan menghempaskan napas kesal.
“Apa-apaan ini!?” serunya, mengejutkan Helena yang duduk di samping menyiapkan sarapannya. “Apalagi yang sudah dilakukan anakmu itu!?”
Helena membaca judul tabloid yang dipegang suaminya, ia pun sama terkejutnya.
“Tenang, Pa… tenang…” Helena berusaha menenangkan suaminya. “Jangan terlalu emosi.”
“Bagaimana bisa tenang!? Benar-benar….” Dengan geram Anton mengamati foto-foto saat Augusta berusaha memukuli Julian. “Bertha! Panggil mereka ke sini secepatnya!!’ perintahnya pada kepala pelayannya.
Bertha sejenak melirik pada Nyonya rumah yang memberikan anggukan.
Wanita berusia pertengahan 40 itu segera beranjak dari sana untuk memanggil kedua tuan mudanya.
Saat Augusta menampakkan wajahnya, sebuah tabloid melayang ke arahnya untuk menyambut kedatangannya.
“Apa-apaan ini!?” Anton melemparkan tabloid itu ke wajah anak bungsunya. “Apa kau tidak bisa melakukan sesuatu yang lebih berguna selain membuat sensasi tidak penting seperti ini!?”
Augusta menelan ludahnya, terdiam.
Anton mengamati perban yang membungkus tangan kanan Augusta yang baru dilihatnya.
“Benar-benar memalukan!! Kalian bertengkar sambil mabuk-mabukan, hanya demi seorang artis pendatang baru!”
“Kami tidak mabuk-mabukan,” bantah Julian, yang baru tiba di ruang makan. Dia masih mengenakan piyamanya.
Pria itu meraih tabloid yang berserakan di dekat kaki Augusta. Ia menepuk punggung adiknya untuk menenangkan sebelum menghampiri ayahnya.
“Hanya salah paham, masalah kami sudah selesai,” ungkap Julian. “Aku juga tidak tahu kalau dia artis atau apa,” mata tajamnya membaca saksama apa yang tertulis di tabloid tersebut.
“Siapa itu Diana?” Anton memastikan, melayangkan tatapan tajamnya pada Augusta.
“Teman dekatku,” Augusta berkata jujur.
“Memilih teman dekat saja kau tidak becus!” tuding kepala keluarga tersebut. “Ini sudah pasti tujuannya, untuk membuat sensasi agar menaikkan namanya, bukan?"
Augusta tidak berkata apa-apa.
"Kita tidak memerlukan kehebohan seperti ini," geram Johan.
"Papa," Julian berusaha menengahi. "Tidak akan ada masalah apa-apa. Jika... memang ada sesuatu, aku janji akan mengatasinya."
"Kali ini aku ingin Augusta melakukan sesuatu," Johan menatap putra bungsunya tajam. "Aku sudah lelah melihatmu hanya bermain band dan berperan kecil untuk perusahaan. Mulai saat ini, aku minta Julian untuk memberimu tanggung jawab lebih, di bawah pengawasanmu. Apalagi, dengan kondisi tanganmu itu, artinya kau tidak bisa bermain musik, bukan?"
Augusta tidak berkata apa-apa dan mengangguk dalam diam.