Alfatih hanya membalas ucapan sinis Aretha dengan senyuman. Pria itu memilih untuk duduk di atas tempat tidur. Menopang tubuhnya dengan meletakkan kedua tangannya di kedua sisi tubuhnya dan menyilangkan kaki. Matanya dengan sengaja memandang Aretha dari atas ke bawah dengan tatapan menilai. "Kamu cantik." Komentar pria itu dengan senyum di wajahnya.
Aretha mendengus mendengar ucapan pria yang kini sudah berstatus sebagai suaminya itu. "Tentu saja, tidak perlu repot mengingatkan. Kamu bukan yang pertama kali mengatakan itu." jawabnya dengan santainya. Gadis itu duduk di atas meja rias, dengan sengaja memunggungi cermin sementara kedua tangannya terlipat di depan d**a sehingga bukit kembarnya yang indah terlihat semakin menonjol dan seksi untuk dipandang. "Memangnya pria sepertimu mau menikahi dia seandainya dia jelek?" tanya Aretha dengan nada mengejek.
"Pria sepertiku?" Alfatih mengangkat sebelah alisnya.
"Ya, pria sepertimu. Dan orang-orang seperti kalian." Jawab Aretha dengan nada menghina. "Orang-orang yang lebih mengutamakan nama baik diatas segalanya. Para penggila hormat." Cela Aretha lagi yang membuat Alfatih tersenyum dan mengangguk membenarkan.
"Ya. Kurasa kau benar." Jawabnya kemudian. "Tapi istriku," Alfatih kembali bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat dengan perlahan. Aretha masih menunjukkan sikap santainya, padahal sebenarnya ia merasa takut pria yang kini berstatus suaminya itu melakukan hal yang diluar nalar. "Meskipun yang kau katakan itu benar, tapi tidak seluruhnya benar." Alfatih mengulurkan tangan dan memegang kedua sisi lengan atas Aretha. Mengangkat tubuh Aretha supaya Aretha ikut berdiri di hadapannya.
Tubuh Aretha yang ia rasa sudah tinggi ternyata tak setinggi dugaannya. Karena ia masih harus mendongakkan kepala supaya bisa bertatapan langsung dengan mata pria itu. "Kau mungkin mengira pernikahan ini dilakukan hanya sekedar untuk menjaga nama baik. Tapi sebenarnya, lebih dari itu. Lambat laun kau akan mengerti." Lalu dengan lancangnya pria itu mengusap rahang dan leher kiri Aretha dengan punggung tangannya.
Kepalanya mendekat, berbisik di telinga Aretha. "Tapi kau tenang saja, pria sepertiku ini adalah pria yang menganut paham monogami. Aku pria yang setia yang menginginkan satu istri seumur hidupku. Jadi, kalau kau berpikir setelah ini semuanya selesai. Kau salah. Jadi bersiaplah untuk terkurung bersamaku selamanya." Ucapnya lalu dengan gerakan cepat mengecup belakang telinga Aretha.
Aretha membelalak dan mendorong perut pria itu dengan penuh tenaga. Sayangnya tenaganya kalah kuat jika dibandingkan tenaga Alfatih.
Kedua tangan pria itu kini menahan pinggang Aretha, menariknya mendekat sehingga bagian bawah tubuh mereka bertemu. "Aku bahkan sudah terangsang hanya dengan melihatmu." Bisiknya lagi seraya menggigiti daun telinga Aretha. Aretha menelan salivanya karena gugup. Terperangkap antara tubuh pria itu dan juga meja rias. Aretha berusaha berontak. Kedua tangannya mencoba mendorong tubuh Alfatih. Ia bahkan memukuli pria itu supaya pria itu supaya Alfatih menjauh. Namun bukannya mundur. Pria itu malah mengangkat tubuh Aretha dan menjatuhkannya ke atas tempat tidur, menindih tubuh mungil Aretha dengan tubuh besarnya. Aretha menggeliat, risih saat merasakan sesuatu yang menonjol di bawah sana menekannya. Dan Aretha jelas sangat tahu apa itu.
Rok sialan! Umpatnya kesal. Kalau saja ia memakai celana, ia bisa saja menendang pria itu. Tapi rok sepan itu menyulitkan pergerakannya.
"Lepaskan atau aku akan berteriak!" Perintah Aretha disela rontaannya. Bukannya melepaskan Aretha. Pria itu malah meraih kedua tangan Aretha dan mengangkatnya sampai kedua tangan kecil Aretha berada di atas kepala. Aretha masih saja berusaha melepaskan diri, namun yang didapatnya malah pegangan tangan yang semakin kuat. "Lepaskan aku, b******k!" Perintah Aretha lagi. Namun seringai pria itu semakin tampak menakutkan di mata Aretha.
"Setidaknya, biarkan aku mengetahui bagaimana rasa istriku." Ucap pria itu lagi.
"Apa maksudmmmpppp...." Pria itu membungkam mulut Aretha sebelum Aretha sempat mengeluarkan umpatan lain.
Manis. Itulah rasa pertama yang Alfatih rasakan saat kecupan pertamanya mendarat mulus di bibir ranum Aretha. Lembut dan kenyal. Alfatih melanjutkan penjelajahannya. Gadis itu diam, tidak melawan, tidak juga membalas ciumannya.
Pilihannya dua. Istrinya itu berusaha menolaknya, atau memang belum pernah melakukannya. Yang berarti Alfatih merupakan yang pertama bagi Aretha. Dan ia bangga karena itu.
Alfatih masih memegang kedua tangan Aretha di atas kepalanya menggunakan satu tangannya. Sementara tangan kanannya kini turun dan memegangi rahang gadis itu. Mengusapnya lembut, menarik dagu Aretha supaya gadis itu membuka mulutnya. Dan berhasil. Aretha membuka mulutnya dan Alfatih memasukkan lidahnya. Mencari lidah Aretha dan menggodanya. Gadis itu terkejut pada awalnya, namun Alfatih terus menggodanya. "Balas aku." Pintanya pelan. Lalu ia kembali mencium Aretha dan gadis itu mulai membalasnya meskipun terasa ragu-ragu. Alfatih tersenyum dalam hati. 'Aku akan melatihmu supaya kau menjadi liar, Sayang.' janjinya dalam hati.
Aretha terkejut. Ini untuk pertama kalinya seseorang menciuminya dengan begitu intens. Namun bukannya jijik, Aretha justru merasa semakin penasaran. Lidah pria itu membelitnya, dan Aretha merasa geli. Tubuhnya bahkan terasa merinding dan tergelitik. Sesuatu yang panas terasa menjalar di tubuhnya. "Balas aku." Perintah itu terdengar begitu seksi di telinga Aretha. Ketika Alfatih kembali menciumnya, ia melakukan apa yang pria itu lakukan padanya. Jika Alfatih menghisap, maka ia juga menghisap. Jika Alfatih menggigit, maka ia balas menggigit, dan jika Alfatih menjilat dan membelit, ia melakukan hal yang sama.
Suara erangan terdengar, dan Aretha tidak tahu itu suara siapa. Tangan pria itu kini sudah tak lagi memegangi tangannya. Bibir pria itu juga kini mulai turun ke rahangnya, menciumi bagian belakang telinga dan lehernya. Aretha menggelinjang karenanya. Geli, nikmat dan ingin lebih di saat bersamaan. "Ahh..." Desahnya saat Alfatih menjilati belakang telinganya. Dan tangan pria itu juga terasa meraba dadanya. "Apa yang kau mmmhhh.." Aretha menggigit bibirnya, mencegah suara yang hendak lolos dari mulutnya saat mulut pria itu menciumi dadanya yang masih terbungkus rapi kebaya. "Henti aaahhh..." Aretha lagi-lagi mendesah karena mulut pria itu sudah kembali ke lehernya dan menjilat serta menggigit kecil disana.
"Aku sudah tidak sabar." Geram pria itu. Wajah pria itu kini begitu dekat dengan wajahnya. Aretha bisa melihat mata hitam milik pria itu. Alis tebal dan bulu mata lentik pria asing yang kini sudah menjadi suaminya itu. Dan rambut hitam lebat yang tadinya tersisir rapi itu kini sudah berubah kacau. Apa itu ulahnya?
Aretha tiba-tiba sadar dan mendorong pria itu dengan sekuat tenaga. Alfatih yang tidak siap akhirnya terjatuh dan mendaratkan bokongnya di lantai yang dingin. "Apa yang kau lakukan? Kau mencoba menggerayangiku?" Aretha memperhatikan pakaiannya. Dan hebatnya, kebayanya masih utuh. Mengingat kancing pakaiannya memang berada di belakangnya. Sementara pria itu? Dua kancing teratasnya sudah terbuka dan memperlihatkan bulu-bulu hitam yang cukup banyak. Aretha lagi-lagi terbelalak lebar. Apa itu juga ulahnya? Demi Tuhan, jika memang itu ulahnya ia merasa malu sendiri.
Bagaimana bisa dia bersikap se agresif itu?
Pria itu bangkit dan menyeringai ke arah Aretha. "Kau tahu, bercinta rasanya akan lebih luar biasa dibanding tadi." Ungkapnya dengan sebuah senyuman m***m terukir di wajahnya. Aretha kembali tebelalak.
"Itu tidak akan pernah terjadi." Tolak Aretha .
"Hmm... Awalnya kau memang akan menolak. Tapi setelah tahu rasanya, aku janji kalau kau akan ketagihan." Pria itu memandang cermin merapikan pakaiannya dan rambutnya lalu tersenyum lagi ke arah Aretha. Aretha yang sudah duduk tegak kembali menegang. "Apa kau tidak ingin keluar?"
Aretha menggeleng. "Tidak. Aku tidak berkewajiban untuk keluar."
"Tapi kau wajib hadir ke acara resepsi, Sayang." Aretha berjengit mendengar kata 'Sayang' dari mulut pria itu. "Itu sudah termasuk dalam kata 'muncul di depan publik' seperti yang tertera dalam kontrak.
"Aku tahu." Geram Aretha.
Pria itu mendekat dan mengusap kepala Aretha. "Kalau begitu, beristirahatlah. Siapkan tenaga untuk malam nanti." Bisiknya dengan suara menggoda.