Part 7

1637 Kata
Alfatih telah mengenakan setelan jas putih dengan benang-benang perak yang menghiasi kelepak jas nya. Tampak semakin gagah dengan wajah tampannya. Ia sudah merapikan jambangnya dan kini terlihat lebih segar dan rapi—meskipun sebenarnya dia selalu terlihat rapi. Rambutnya yang hitam dan lebat sudah ditata sedemikian rupa menggunakan minyak rambut mahal beraroma musk yang segar. Neneknya duduk di sampingnya. Memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya yang berkeriput. Alfatih ikut menepuk tangan itu menenangkan. Ia sangat mencintai neneknya, melebihi dirinya sendiri. sekalipun pernikahan bukan hal yang ingin dia lakukan, namun ia tak kuasa untuk menolak permintaan wanita yang sudah membesarkannya itu terlebih mereka memiliki alasan yang jelas untuk melakukannya. Ya, Alfatih tidak ingin menikahi Talitha. Bukan hanya karena dia tidak mencintai wanita itu, namun karena memang menikah tidak pernah ada dalam kamusnya. Hanya karena selama ini dia dikenal sebagai pengusaha yang dingin dan tidak berperasaan, tidak berarti dia tidak ingin menikah tanpa cinta. Sama seperti manusia normal pada umumnya, Alfatih pun ingin kehidupan rumah tangganya bahagia. Menikah dengan wanita yang ia cintai dan juga mencintainya dan memiliki keturunan yang ia dan istrinya inginkan untuk mereka didik dan besarkan dengan penuh cinta. Bukan dengan kekayaan dan rasa dingin serta sikap tak acuh satu sama lain. Namun keinginan Alfatih itu harus pudar kala sebuah kejadian malang menimpa keluarganya. Namun kini, ia berubah pikiran. Setelah mengubah pengantin wanitanya, Alfatih merasa bahwa kehidupan rumah tanggannya akan cukup berwarna dan menyenangkan. Mereka sudak memasuki area rumah keluarga Bahuwirya. Calon keluarga barunya itu tampak menyambutnya di depan pintu rumahnya yang lebar dan beratap tinggi. Ya, secara terpaksa mereka harus melakukan prosesi akad pernikahan di rumah alih-alih melakukannya di gedung seperti rencana mereka semula. Namun Alfatih tidak mempermasalahkan itu, yang penting pengantin wanitanya ada dan siap untuk ia nikahi. Orang-orang berpakaian mahal dengan penampilan elegan itu memberikan Alfatih sapaan ramah yang memuakkan. Menyambut Alfatih dan keluarganya layaknya mereka adalah tamu kehormatan—dan faktanya memang Alfatih tamu kehormatan keluarga Bahuwirya. Karena uang dan kuasanya akan membuat keterpurukan finansial keluarga itu kembali bangkit sebentar lagi. Mereka terus berjalan melewati tengah rumah menuju halaman belakang dimana akad akan dilangsungkan. Karena ini adalah acara privat yang hanya mengundang beberapa orang penting, tentu saja suasananya lebih tenang daripada pernikahan pada umumnya yang seharusnya diramaikan oleh tamu undangan. Hanya ada beberapa kursi dan tentu saja meja hidangan yang panjang yang berisikan menu makanan yang sudah disiapkan oleh keluarga Bahuwirya. Mereka tetap tidak ingin acara ini terlihat jelek dimata tamu-tamu undangan yang terpercaya. Namun Alfatih bisa pastikan semuanya akan berbeda dengan resepsi yang akan mereka lakukan nanti. Meskipun bukan pesta yang mengundang ribuan tamu. Tapi dipastikan tak kalah mewah karena tamu undangannya adalah orang-orang penting yang bagi kedua keluarga. Dan karena sebagian tamu mengenal wajah calon istrinya, maka hal ini harus dilakukan. Karena memang Wiryawan sangat suka memamerkan kecantikan istri dan anak tirinya itu ke khalayak umum. Penghulu sudah duduk di kursinya. Di sampingnya ada seorang pria yang Alfatih kenal dari foto yang didapatnya semalam merupakan ayah kandung dari pengantin wanitanya. Tuan Baskara Nasir. Alfatih meminta asistennya untuk membawa pria itu ke sebuah ruangan karena ia ingin bicara empat mata dengan calon ayah mertuanya itu. Pria yang mengenakan jas berwarna hitam itu digiring oleh pria bertubuh kekar yang sepertinya disewa Bahuwirya untuk menjaganya agar pria itu dia tidak melarikan diri. "Maaf karena membuat keadaan ini tidak nyaman untuk Anda, Tuan." Alfatih memandang pria paruh baya itu dengan tatapan ramah dan mengulurkan tangannya dengan sopan. "Saya Alfatih Dzakir." Sejenak Alfatih bisa melihat keraguan di wajah pria di hadapannya, namun pada akhirnya pria itu mengulurkan tangannya dan menyambut tangan Alfatih. "Baskara Nasir." Ucap pria itu dengan genggaman tangan yang kuat. "Saya sudah tahu tentang Anda. Meskipun tidak terlalu banyak." Lanjutnya dengan jujur. Tentu saja, di kalangan sesama pengusaha nama Alfatih Dzakir sudah dikenal dengan sifat kejam dan tangan dinginnya. Dan hal itu pastinya juga sampai ke telinga calon ayah mertuanya ini. Alfatih mempersilahkan Baskara untuk duduk dan bahkan menawarkan pria itu minuman seolah ia adalah tuan rumahnya. Namun Baskara menggelengkan kepala menolak tawaran Alfatih dan hanya memilih untuk duduk. Meminta Alfatih untuk mengemukakan apa yang ingin dikemukakannya dengan cepat. Dan mereka terlibat perbincangan yang alot sampai Bahuwirya mengetuk pintu dan mengatakan kalau sudah saatnya akad dimulai. "Panggil pengantin wanitanya keluar!" Perintah Bahuwirya terdengar pelan, namun sampai ke telinga Alfatih dan Baskara. Baskara sudah duduk kembali di samping penghulu. Dan Alfatih duduk di seberangnya. Mereka hanya terhalang meja putih persegi yang sudah dilapisi taplak rajutan berwarna senada. Pintu sebuah ruangan terbuka. Seorang perempuan cantik mengenakan kebaya putih pas badan dengan rok sepan batik berwarna coklat berjalan diiringi seorang wanita yang mengenakan gamis dan kerudung berwarna abu perak. Matanya yang cantik namun selalu sinis itu kini tampak menatap tajam ke arah Alfatih. Bukannya marah dengan sikap menantang Aretha, Alfatih malah mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum menggoda ke arahnya. Ya Tuhan, Alfatih sudah banyak melihat wanita cantik selama hidupnya. Namun entah bagaimana, melihat gadis yang mengenakan kebaya putih pas badan yang menonjolkan lekuk-lekuk tubuhnya yang molek membuat Alfatih tak bisa berpaling. Bagian leher kebaya yang Aretha kenakan sebenarnya tak terlalu rendah namun tetap menunjukkan tulang selangkanya dan sebagian kulit bahunya yang tampak putih. Sementara rambut hitamnya yang Alfatih tahu panjang dan bergelombang kini disanggul cantik di atas tengkuknya, berhiaskan tiara yang indah dan menunjukkan lehernya yang jenjang. Jujur, Alfatih penasaran akan bagaimana rasa leher itu di lidahnya. Dan ingin tahu bagaimana wangi tubuh gadis itu di penciumannya. Mempelai penggantinya kini sudah duduk di samping kirinya. Tampak kaku dan tegang. Alfatih menoleh dan melihat bulu-bulu halus berwarna keemasan menjalar di sepanjang rahang, dan leher gadis itu. Bahkan bagian tengkuknya pun tampak berbulu halus dan tampak menggiurkan untuk disentuh. Alfatih suka gadis berbulu. Baginya mereka terlihat seksi dan menggoda. Ia lagi-lagi tersenyum m***m. Tak peduli pada pandangan orang lain yang ada disana. Toh yang ia mesumi juga calon istrinya. Dan akan menjadi istrinya yang sah sebentar lagi. Hanya dalam hitungan menit saja. Pak penghulu berdeham. Dia mengucapkan beberapa kalimat singkat tentang khutbah nikah. Dan kemudian semuanya dimulai. Alfatih meraih tangan Baskara Nasir dan setelah beberapa kalimat, ia mendengar dengungan kata 'Sah' memenuhi ruangan. Aretha Syazani Nasir resmi menjadi istrinya. Ia tertawa dalam hati. Tak memedulikan pandangan orang-orang yang menatapnya dengan bingung. Lupakan adat dan budaya. Karena memang pernikahan ini tidak mengikuti rangkaian adat dan budaya seperti seharusnya. Hanya sekedar tukar cincin sebagai simbolisasi. Dan sejenak ia mendapatkan kenikmatan untuk mencium kening Aretha. Tidak ada yang namanya sungkeman atau rentetan upacara lain. Setelah berhasil melepaskan diri dari Alfatih, Aretha hanya memeluk wanita berkerudung abu yang Alfatih tahu merupakan ibu sambungnya. Dan juga memeluk Baskara sang ayah. Tidak ada airmata haru yang biasanya terjadi antara pengantin dan orangtua. Hanya sekedar bisikan-bisikan yang mereka lakukan. Absurd. Tapi memang seperti itulah faktanya. "Sekarang, dimana Farhan!" nada dingin itu muncul dari mulut istrinya yang cantik yang terarah pada Bahuwirya dan istrinya. Hanya butuh beberapa menit, sosok bocah kecil yang Alfatih tahu merupakan adik bungsu Aretha dari ayahnya dan ibu sambungnya muncul dengan senyum lebar di wajahnya seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan dengan cerianya bocah itu berlari dan memanggil kedua orangtuanya. "Kak Retha?" tanya bocah itu dengan kepala mendongak memandang Aretha. "Kakak cantik banget." Puji bocah itu dengan kekaguman khas anak-anak. "Iyakah?" tanya Aretha dengan nada lembut yang jauh berbeda dengan nada yang digunakan gadis itu pada keluarga ibunya. Bocah kecil bernama Farhan itu menganggukkan kepala. "Cantikan mana Kak Retha sama Bunda?" tanya Aretha dengan nada menggoda. "Hari ini, cantikan kak Retha." Jawab bocah itu yang mendapat hadiah cubitan dan juga kecupan di kedua pipinya yang membuat Alfatih iri melihatnya. Aretha kembali memandang Bahuwirya dan istrinya. "Biarkan mereka pulang." Perintahnya dengan nada dinginnya lagi. Bahuwirya hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban. Aretha memandang Baskara dan istrinya kemudian kembali tersenyum. "Retha akan pulang nanti, setelah semua ini selesai." ucapnya yang dijawab anggukkan pasangan suami istri itu. Tatapan Aretha tidak beralih dari pasangan suami istri dan bocah berusia tujuh tahun yang digiring pergi meninggalkan keluarga Bahuwirya. Setelah ketiga orang itu menghilang dari pandangannya, Aretha baru memandangnya—untuk pertama kalinya—setelah mereka menjadi sepasang suami istri. "Semuanya udah beres kan?" Tanya Aretha dengan nada yang sama dinginnya seperti yang gadis itu gunakan pada Bahuwirya dan istrinya. Alfatih hanya menganggukkan kepalanya. Dan tanpa pamit, Aretha berbalik dan berjalan menjauh tempat akad. Kembali masuk ke dalam rumah dengan langkah yang cepat secepat yang bisa dilakukan gadis itu dengan rok batik ketatnya. Tanpa gadis itu tahu Alfatih mengekorinya dari belakang tanpa suara. Aretha masuk ke dalam kamar yang Alfatih tahu merupakan tempat dimana gadis itu disekap sebelumnya. Gadis itu mengangkat roknya sampai ke atas lutut dan berlari menuju jendela masih tanpa menyadari keberadaan Alfatih di belakangnya. Saat Aretha sibuk memandangi kepergian kedua orangtuanya, Alfatih memilih untuk mengunci kamar itu tanpa suara. "Mereka akan selamat sampai tujuan, jangan khawatir." Bisik Alfatih yang membuat Aretha menegang seketika. Ia tidak menyadari pria itu sudah berdiri di belakangnya. Bahkan punggungnya kini sudah menempel di d**a pria itu. Dan bibir pria itu begitu dekat dengan daun telinganya. Napas pria itu terasa hangat di leher Aretha yang mau tak mau membuat Aretha bergidik seketika. "Wangimu, seperti bayi." Bisik pria itu lagi seraya menyentuhkan hidungnya ke leher Aretha dan menghirup wangi tubuh Aretha. Aretha menyikut perut pria itu dengan keras sehingga pria itu mengaduh dan terpaksa mundur selangkah menjauh. Bukan karena sakit, namun lebih karena terkejut sebab Alfatih tak menyangka kalau Aretha akan bersikap sekasar itu padanya. "Ups, maaf. Aku sengaja." Ucap Aretha tanpa sedikitpun rasa bersalah. "Tak apa, aku masih bisa menerimanya." Jawab Alfatih dengan santainya. "Jangan harap kau bisa menyentuhku semaumu, Tuan. Seperti yang kau tahu—dan aku yakin kau tahu." Ucapnya dengan nada sinis. "Kalau aku menikahimu karena terpaksa. Dan mengingat surat perjanjian yang kalian buat, aku yakin kalau kau juga mengetahui semuanya. Jadi tidak usah berpura-pura menjadi suami yang manis di hadapanku karena aku tidak membutuhkannya." Lanjut gadis itu dengan sinisnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN