"Apa yang terjadi Bun?" Tanya Aretha sesaat setelah menginjakkan kakinya di dalam kediaman orangtuanya. Ibu sambungnya—Rachma—tengah menangis tersedu dalam pelukan nenek Aretha.
"A-adik kamu." ucap ibunya tersedu.
"Tadi pagi Bunda Farhan berangkat sama Aisyah ke sekolah." Ucap neneknya menjelaskan. "Tapi saat Bunda kamu jemput dia di sekolah, gurunya bilang kalau Farhan udah pulang di jam istirahat karena ada yang jemput."
"Maksudnya? Siapa yang jemput Farhan? Apa Bunda tanya sama guru sekolahnya?" tanya Aretha bingung. Bagaimana bisa guru sekolah mengijinkan Farhan—yang baru saja duduk di kelas satu SD—pulang begitu saja tanpa meminta ijin pada orangtua anak itu sebelumnya.
"Gurunya bilang, wanita paruh baya." Neneknya kembali menjawab. "Ibu gurunya mempercayakan Farhan pada wanita itu karena wanita itu tahu jelas silsilah keluarga kita. Bahkan katanya dia juga menunjukkan foto yang lagi sama kamu." ucap neneknya lagi yang membuat Aretha ingin memaki seketika. Dan Aretha melakukannya.
"Sialan!" umpatnya yang membuat Husna yang baru saja masuk di belakangnya menepuk bahunya dari belakang.
"Hati-hati kalo ngomong!" tegur sahabatnya itu. "Om dimana?" tanya Husna lagi pada tantenya.
"Om pergi ke kantor polisi untuk melapor bersama dengan guru Farhan." Tutur neneknya lagi.
"Percuma." Jawab Aretha singkat. "Retha pikir Retha tahu siapa orangnya." Aretha lantas merogoh ponsel di sakunya dan berniat untuk menghubungi ayahnya. Namun sebelum ia melakukannya, ia melihat pop up pesan masuk dan kemudian membukanya.
Pesan yang bersumber dari nomor yang tidak dikenal itu mengiriminya sebuah video. Aretha langsung mengunduh video tersebut dan dugannya tidak meleset. "Sial!" umpatnya lagi seraya memegang ponsel dengan begitu eratnya sampai buku jarinya berubah putih.
"Siapa?" tanya Husna seraya meraih ponsel Aretha. Mata gadis itu terbelalak kala melihat isi video yang dikirim oleh nomor yang tidak dikenal. "Sialan!" pada akhirnya Husna pun turut mengumpat.
Aretha mengambil kunci mobil dan berjalan setengah berlari menuju mobilnya. Mengindahkan Husna yang terus memanggilnya. Aretha mencoba menghubungi ayahnya untuk memberitahukan keberadaan Farhan, sayangnya ayahnya tidak juga mengangkat panggilannya. Dengan kecepatan yang masih bisa ditolerir, Aretha melajukan mobilnya dengan kencang menuju kediaman Bahuwirya.
Aretha memarkirkan mobilnya secara sembarangan, menyelipkannya diantara jejeran mobil-mobil mewah yang ada di kediaman Bahuwirya. Sepatu kets yang digunakannya membuatnya bisa berlari tanpa menimbulkan suara. Belum dua puluh empat jam dia bersumpah tidak akan menginjakkan kakinya lagi ke rumah itu dan dia sudah mengingkarinya. Dengan kemarahan yang tak ia tahan, ia mengabaikan pandangan orang-orang yang menatapnya dengan sorot terkejut. Rambut panjangnya berkibar seiring langkahnya yang cepat.
"Keluarga sialan!" umpatnya saat melihat keluarga baru ibunya terlihat sedang menyantap makan siang dengan santainya.
"Oh, halo anak tiri. Kupikir kamu tidak akan kembali." Sindir Tuan Bahuwirya dengan keramahan yang membuat Aretha jijik.
"Katakan dimana adikku! Berani-beraninya tangan kotormu itu menyentuhnya!" teriaknya marah.
"Ayolah, kami tidak melakukan apa-apa pada adikmu. Bahkan mungkin dia sedang bermain dengan adikmu yang lain." ucapnya seraya melirik ke lantai atas yang Aretha duga merupakan kamar adik tirinya yang lain berada.
"Lepaskan dia! Bagaimana bisa kalian melibatkan anak kecil sepertinya. Dasar b*****t!" desisnya kasar.
"Perhatikan ucapanmu atau kau tidak akan melihat adikmu lagi." Ucap Bahuwirya lagi.
"Kalau kau berani menyentuhnya, aku bersumpah kau juga tidak akan pernah melihat putra kesayanganmu lagi." Ancam Aretha dingin.
"Tidak perlu sampai mengancamku seperti itu. Kau akan melihat adikmu saat akad nanti." Lanjutnya yang membuat Aretha mengernyit.
"Akad? Apa maksud..." Sesuatu yang berbau menyengat menyergap hidung Aretha.
Sial! Geramnya dalam hati. Kenapa ia bisa tidak menyadari kalau semua ini hanya jebakan? Pikirnya marah sebelum kemudian kepalanya terasa benar-benar pusing dan semuanya berubah gelap.
"Bawa dia dan kunci di atas. Perintahkan perias masuk dan meriasnya. Tapi jangan sampai dia terbangun. Jika dia bangun. Bius lagi!" Perintah Bahuwirya dengan dingin.
*****
"Semuanya sudah selesai." berita itu membuat Alfatih mengangkat kepalanya. "Mereka sudah membawa mempelai pengganti ke dalam rumah." Lanjut sang asisten yang dijawab Alfatih dengan senyuman. Ternyata Bahuwirya melakukan apa yang ia sarankan semalam.
Alfatih jelas menyadari bahwa sosok Aretha adalah sosok yang pemberani. Gadis itu bukan gadis yang bisa dengan mudah ditaklukan sekalipun oleh uang. Sifatnya jelas sangat jauh berbeda dengan adik dan juga ibu kandungnya. Namun berani bukan berarti tidak memiliki kelemahan. Dan orang-orang serakah itu tidak menyadari kelemahan Aretha.
Ya, kelemahan Aretha adalah keluarganya sendiri. Hanya karena Aretha tidak dekat dengan adik tiri satu ibu, tidak berarti gadis itu tidak dekat dengan adik tiri satu ayahnya. Dan Nyonya Apsarini melupakan poin itu. Sampai kemudian Alfatih membisikkan saran itu pada Bahuwirya yang tanpa menunggu lama berhasil membawa adik tiri Aretha ke kediamannya.
Ketika Bahuwirya berpikir bahwa Aretha bisa menjadi pengganti Talitha yang pergi dan menyelamatkan keluarganya. Maka Bahuwirya salah. Karena Alfatih menginginkan Aretha untuk dirinya sendiri. Untuk menjadi pengantinnya. Persetan dengan Talitha yang hilang. Jika suatu saat gadis itu kembali, Alfatih akan memikirkan itu nanti. Kenapa pula dia harus memikirkan hal-hal yang tidak perlu disaat ia harusnya menjadi pengantin yang berbahagia sebentar lagi.
Pengantinku. Tunggu calon suamimu. Ucap Alfatih dalam hati.
Mendadak ide untuk menikah dan menjadi seorang suami terdengar menantang bagi Alfatih.
***
Aretha terbangun. Kepalanya pening dan tengkuknya terasa berat. Ia mencoba mengerjap namun tidak mengenali dimana ia berada. Matanya terasa sulit untuk terbuka.
Farhanz!
Mengingat adiknya membuat kesadaran Aretha kembali sepenuhnya. Ia mencoba bangun namun kepalanya kembali terasa berdenyut sakit. Suara pekikan, larangan dan suara-suara asing lainnya menggema di kepalanya. Apa dia sedang bermimpi? Tanyanya dalam hati.
"Anda seharusnya tidak bangun secara tiba-tiba." Ucap seseorang dengan nada panik yang membuat Aretha menoleh seketika. Seorang wanita berusia sekitar empat puluhan menatapnya dengan mimik cemas
"Anda siapa?" Aretha balik bertanya. Ia ingin menggosok matanya yang terasa berat. Namun tangan wanita itu menahannya.
"Anda tidak boleh merusak riasannya. Kalau tidak Tuan Bahuwirya akan marah." Pinta wanita itu panik.
Aretha mengerutkan dahi. Riasan? Tanyanya bingung. Riasan apa yang dimaksud wanita itu. Dan Aretha akhirnya menyadari kalau kemeja lengan panjang dan celana jeans yang tadi dipakainya sudah berganti menjadi rok batik berwarna coklat tua dan kebaya berwarna putih.
Ya Tuhan. Siapa yang menelanjanginya dan mengganti pakaiannya tanpa seijinnya? Jeritnya dalam hati.
Aretha hendak turun dari tempat tidur. Namun wanita itu kembali menahannya. "Pelan-pelan, Nona." Pintanya halus namun dibalas Aretha dengan pelototan.
Tak lama pintu terbuka. Aretha dan wanita perias itu menoleh secara bersamaan. Seorang wanita muda berusia tiga puluhan masuk ke dalam diikuti sosok yang tidak ingin Aretha lihat. "Mama sudah memintamu secara halus. Jangan salahkan Mama kalau semua ini terjadi. Mama hanya ingin kamu menggantikan Talitha, itu pun hanya sementara. Setidaknya sampai dia kembali." Ucap Nyonya Apsarini dengan tatapan memelasnya. Bukannya menjawab Aretha hanya memandangnya dengan jijik. "Kami akan membebaskan adikmu jika kamu melakukan apa yang kami minta. Dan ini." Wanita yang telah melahirkannya itu itu menyerahkan sebuah map kulit di hadapan Aretha. "Tanda tangani itu sebagai surat perjanjian. Dan kau akan melihat adikmu saat akad nanti."
Aretha menarik map itu dan membukanya dengan itu dan membukanya dengan kasar. Matanya membaca dengan cepat. Semakin lama ia membaca perutnya semakin mual. "Apa maksudnya ini?" Tanyanya kasar. Bahkan ia menepis tangan wanita yang menyentuh rambutnya.
"Kamu tidak punya pilihan, Aretha. Adikmu ada di tangan kami. Tandatangani itu, menikah dengan Alfatih Dzakir dan adikmu akan kembali padamu." Ucap ibunya lagi, kali ini dengan nada memaksa.
Aretha merasa airmatanya menggenang. Bukan karena sedih. Namun karena marah. Bagaimana bisa wanita di hadapannya ini menjebaknya dengan sedemikian rupa? Demi apa? Demi harga dirinya dan suami barunya. Aretha menatap wanita yang sudah melahirkannya dengan kebencian yang dalam.
Perjanjian itu berisi bahwa Aretha Syazani Nasir akan menjadi Istri Alfatih Dzakir sampai waktu yang tidak ditentukan. Dan pasal-pasal lain yang berisi bahwa Aretha harus menuruti kemauan Alfatih, menjadi bagian keluarga pria itu dan akan muncul di publik jika diperlukan. Aretha mendengus jijik. "Pikirkan adikmu, Aretha." Ucap wanita itu lagi.
"Lalu siapa yang akan menikahkan kami? Suami Anda yang kaya raya itu?" tanya Aretha dengan nada menantang.
"Kau pikir siapa lagi?" tanya ibunya dengan nada ketusnya.
"Tidak. Dia bukan ayahku dan tidak akan pernah menjadi ayahku." Tolak Aretha lagi. Sekalipun pernikahan ini hanya berlangsung sementara—sampai adiknya kembali—namun Aretha tidak mau memberikan kehormatan yang seharusnya menjadi milik ayahnya menjadi milik pria lain yang bahkan tak pernah ia anggap ada.
"Tenang saja. Kalau kau memang ingin ayahmu yang menjadi wali nikahmu. Itu bisa terjadi. Toh dia dan ibu tirimu dalam perjalan kesini untuk menjemput putra dan putri tersayang mereka." Ucapan bernada sinis itu muncul dari wanita tua yang tak lain adalah nenek Aretha sendiri.
Aretha menarik kasar bolpoin di tangan wanita itu. Sekalipun ia tidak percaya dengan ucapan dua wanita yang ada di hadapannya, ia akan melakukan semua ini dengan adiknya. Tenang saja, ia akan melakukan pembalasan nanti. Pikirnya dalam hati.
Jangan pikir ia akan melakukan semuanya dengan sukarela.
Alfatih, atau siapapun pria b******k itu harus bersiap untuk hidup dalam neraka. Karena Aretha tidak berniat untuk membuat hidup pria itu nyaman. Sebagaimana pria itu sudah mengusik kehidupan nyamannya.
"Dimana ponselku! Aku harus memberitahukan anak buahku kalau aku baik-baik saja, kan?" ucapnya dengan nada menyindir seraya membubuhkan tandatangan nya di atas kertas bermaterai itu. "Dan aku lapar! Bawakan aku makanan!" Perintah Aretha setelah melempar map dan bolpoin dengan kasar. Jika kalian pikir Aretha akan bersikap lemah, maka kalian salah. Aretha akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Dan berjuang itu perlu tenaga bukan? Jadi ia harus mengisi tenaganya terlebih dulu.