Part 5

1486 Kata
Aretha dan Husna sedang membahas proposal yang sahabat sekaligus sepupunya itu berikan pada Aretha kemarin sore. "Semuanya udah deal. Yang pentingnya udah masuk list dan yang kurang cocok menurut Mba Tri juga udah direvisi. Dan setelah crosscheck harga, semuanya juga udah cocok." Ucap Husna seraya menunjuk poin yang diubah oleh kliennya itu. "Gimana, fix kita eksekusi?" tanya Husna saat dilihatnya Aretha berpikir. Beberapa saat kemudian, Aretha menganggukkan kepala dan menandatangani proposal dari Husna. Mereka saling menyandarkan tubuh di atas sofa, merasa bahwa beban menegangkan yang biasa terjadi sebelum eksekusi proyek sudah sedikit berkurang. Argumen sebelum deal proyek memang selalu memakan waktu dan seringkali membuat kesal hingga tak jarang mereka memerlukan obat penurun tekanan darah tinggi. Bukan obat dalam artian bahan kimia, melainkan kegiatan lain yang membuat ketegangan mereka berkurang. Entah itu makan-makan, menonton atau sekedar berjalan-jalan. Aretha dan Husna sedang membahas film yang ingin mereka tonton di apartemen yang mereka huni bersama kala telepon di meja Aretha berbunyi. "Ya?" tanyanya yang ia tahu merupakan sambungan dari resepsionis di pintu depan kantor kecil mereka. "Ada tamu nyari Mba, saat saya tanya janji mereka bilang mereka keluarga Mba." Ucap Dini sang resepsionis yang baru tiga bulan ini bekerja dengan Aretha. "Keluarga?" Aretha memandang Husna yang balik menjawab dengan kedikkan bahu dan bibir mencibir. "Siapa?" tanyanya pada resepsionisnya lagi. "Ibu Rini, Mba." Jawab Dini lagi dengan nada tak yakin. Aretha mengerutkan dahi, membuat Husna yang duduk di sofa memandangnya dengan tanya. "Siapa?" bisik sahabatnya itu lirih. "Saya gak ada janji sama dia dan juga gak ada perlu sama dia. Jadi suruh aja dia pergi." jawab Aretha dengan dinginnya. "Tapi Mba..." sebelum Dini sempat menjawab, Aretha sudah menutup teleponnya. "Siapa?" tanya Husna lagi saat melihat ekspresi kesal di wajah Aretha. Sahabatnya itu mendekat dan kini duduk di kursi seberang meja Aretha dengan wajah penasaran. "Orang asing." Jawab Aretha dengan santainya. Namun tak lama setelahnya, ia malah mendengar keributan di luar dan pintu ruangannya yang dibuka paksa. "Ada apa ini?" tanya Aretha kesal pada dua orang wanita yang ada di depannya. Siapa lagi kalau bukan ibu kandung dan neneknya. "Apa yang kalian lakukan disini?" tanyanya dengan amarah yang meledak. Ia memandang Dini yang balik memandang Aretha dengan wajah kemerahan seolah hendak menangis. "Saya sudah mencoba menahan mereka, Mba." Ucap Dini dengan wajah memelas. "Tapi mereka memaksa." Lanjutnya dengan airmata yang mulai menetes. Aretha memandang gadis berusia dua puluh satu tahun itu dengan dingin sebelum mengedikkan kepalanya dan memintanya keluar dari ruangannya. Dengan airmata berderai, gadis itu menutup pintu ruangan Aretha. Membiarkan empat wanita saling memandang dingin selama beberapa saat. Husna yang tampak terkejut saat melihat tamu Aretha kembali bergerak dan berdiri di samping Aretha yang masih duduk di kursi putarnya. Tangan gadis itu menyentuh bahu Aretha dan meremasnya pelan. Sementara matanya tak beralih dari pasangan ibu dan anak yang kini memilih duduk di sofa tanpa menunggu ijin sang pemilik. "Tempat ini cukup bagus." Komentar Mahiswara, nenek Aretha. "Tapi hanya 'cukup', tidak sampai pada titik mengesankan." Lanjut wanita itu lagi yang dijawab Aretha dengan dengusan. "Saya tidak perlu penilaian Anda, Nyonya Mahiswara. Memangnya Anda ini siapa? Pegawai Disnaker? Atau seorang designer interior?" ejek Aretha yang membuat wajah wanita berdarah Jawa-Rusia itu memerah. "Dan kalau boleh tahu, hal apa yang membuat anda berdua datang ke gubuk saya yang tidak mengesankan ini?" sindirnya. "Kau pasti tahu apa maksud kedatangan kami." Ucap Nyonya Mahiswara lagi. "Kurasa otakmu cukup cerdas untuk bisa menduganya." Aretha memandang wanita itu dengan tatapan dingin, namun sudut mulutnya terangkat dan menunjukkan senyum mengejek. "Apa ini masih ada kaitannya dengan pertemuan kita kemarin?" tanyanya yang dijawab anggukkan sang nenek. "Ini berarti bahwa adik kembar tersayangku masih belum kembali." Ucapnya dengan nada menyindir. "Kenapa? Apa kalian kekurangan tenaga untuk melakukan pencariannya? Atau kalian kekurangan uang untuk membayar orang untuk mencarinya?" tanyanya masih dengan nada menyindir yang membuat kedua wanita di depannya memandangnya marah. "Bisa jadi opsi kedua." Ucap Aretha lagi dengan nada datarnya. "Tapi kenapa kalian malah datang kemari? Kenapa kalian tidak datang ke kediaman calon cucu menantu Anda dan memintainya tolong. Dari gosip yang saya dengar—tentunya dari sumber yang terpercaya—tidak lain dan tidak bukan dari Nona Talitha Davina Bahuwirya, kalau calon suaminya itu adalah seorang multi billionaire. Jadi kenapa kalian tidak datang padanya, memeras uangnya, dan membayar banyak orang untuk menemukan cucu dan putri kesayangan kalian? Saya jelas tidak bisa mendonasikan harta saya untuk melakukan pencarian sia-sia pada orang yang dengan sengaja melarikan diri, kan?" tanyanya dengan nada mengejek. "Kau tahu bukan itu maksud kedatangan kami kemari." Ucap Nyonya Mahiswara lagi. "Apa? Apa yang Anda inginkan? Menjadikan saya mempelai pengganti?" tanya Aretha dengan nada sinisnya. "Duduk di pelaminan dan menikah dengan pria yang seharusnya menjadi adik ipar saya? Untuk apa? Apa keuntungannya untuk saya?" tanya Aretha dengan nada menyindir. "Berapa yang kamu mau?" tanya Nyonya Apsarini, ibu kandung Aretha. Aretha meletakkan kedua sikunya di atas meja, menautkan kesepuluh jemari tangannya dan menyangga dagunya disana. Ia memandang wajah ibu dan neneknya bergantian dengan sorot mengejek sebelum berkata. "Berapa yang Anda bisa berikan untuk saya?" tanyanya dengan nada menantang. "Berapapun yang kamu mau!" jawab Nyonya Mahiswara dengan angkuhnya. Aretha mengulum senyum dan menoleh pada Husna. "Menurut loe, berapa banyak yang bisa gue minta dari mereka?" tanyanya ingin tahu. Husna balik memandang Aretha dengan dahi berkerut dan mengedikkan bahunya. "Sebanyak yang loe butuh?" ucapnya balik bertanya. Aretha menganggukkan kepala. "Sebanyak yang gue butuh." Ucapnya mengulang pernyataan Husna. Ia kemudian kembali memandang kedua wanita yang masih duduk dengan anggun di sofa beludru miliknya. "Sayangnya, Nyonya Apsarini Ningrum Bahuwirya dan Nyonya Mahiswara Lituhayu, saya tidak membutuhkan uang dari kalian." Jawabnya seraya mengedikkan bahu. "Jadi, saya rasa saya harus menolak tawaran kalian untuk menjadikan saya mempelai pengganti. Kecuali.." Aretha dengan sengaja menggantung kalimatnya. "Kecuali apa?" tanya Nyonya Apsarini penuh harap. "Kecuali Anda mau menggantinya dengan jantung putra Anda." "Itu tidak masuk akal!" Sanggah Nyonya Apsarini cepat. "Apanya yang tidak masuk akal?" Aretha balik bertanya. "Apa Anda lupa dengan permintaan Anda sendiri. lantas Anda pikir itu masuk akal?" dengusnya jijik. "Kenapa? Tubuh untuk tubuh, itu baru barter yang adil. Bukan begitu?" tantang Aretha yang membuat kedua wanita itu murka. "Perlu Anda ketahui, sekalipun saya tidak berharga, tidak berarti bagi Anda berdua. Setidaknya saya adalah anak yang berharga untuk Ayah dan Bunda saya. Jadi hentikan omong kosong ini dan pergilah." Usir Aretha pada kedua wanita yang masih saja mematung di tempatnya. "Kau akan menyesal!" desis Nyonya Mahiswara dengan tatapan penuh amarah. "Benarkah?" tanya Aretha seraya tersenyum mengejek pada neneknya. "Apa yang harus saya sesali? Menjadi istri dari orang kaya? Atau tidak diakui oleh ibu dan nenek kandung saya sendiri?' tanyanya sinis. "Saya rasa saya tidak perlu menyesalinya karena keduanya hanya hal fiktif di kepala saya." Lanjutnya dengan dingin yang kembali dibalas tatapan dingin oleh kedua wanita yang kini melangkah meninggalkan ruangan tanpa mendapatkan apa yang diinginkannya. "Apa-apaan itu?" tanya Husna saat pintu ruangan Aretha ditutup dengan kasar oleh dua tamu yang tak pernah diundangnya. Aretha menjatuhkan punggungnya ke punggung kursi dan memejamkan matanya. Jantungnya kembali berdebar kencang dan tubuhnya kembali berkeringat dingin. Husna yang melihat sahabat sekaligus sepupunya itu memucat bergerak cepat untuk mengambil air hangat dari dispenser yang ada di ruangan Aretha. "Loe oke?" tanya Husna khawatir seraya meletakkan gelas ke tangan Aretha yang bergetar. Aretha membuka matanya dan memadang Husna. Memilih menghabiskan air hangat di tangannya sebelum menjawab pertanyaan sahabat sekaligus sepupunya itu. Aretha menceritakan semua kejadian yang dialaminya saat ia mengantarkan amplop yang diminta oleh keluarga baru adik kembarnya. "Gila! Bener-bener gila itu namanya!" ucap Husna dengan emosi yang tidak ia sembunyikan. "Hellow, setelah mereka buang loe dan gak pernah anggap loe ada, mereka seenaknya aja gitu minta tolong sama loe? Iya kalo permintaan mereka itu masuk akal, lah ini?" Husna memandang sahabatnya dengan tatapan ngeri dan kemudian menggelengkan kepala. "Jangan mau Tha! Jangan pernah mau!" Aretha terkekeh dan menganggukkan kepalanya. "Lagian siapa juga yang mau. Kenal juga sama si Alfatih kagak. Loe pikir aja pake akal sehat, buat tipe si Talitha yang gak mau hidup susah kenapa juga dia harus lari saat dikawinin sama cowok kaya raya? Di detik-detik terakhir pula. Kalo bukan karena si Alfatih punya masalah, menurut loe si Talitha yang punya masalah?" tanyanya ingin tahu yang balas dijawab Husna dengan dahi mengernyit bingung. "Itu juga sih, kok gue gak kepikiran kesana." Ucap gadis itu mengiyakan pemikiran Aretha. "Apa mungkin itu cowok punya kelainan yang baru aja kembaran loe tahu? Misalnya dia itu b**m atau PK atau malah homo?" tanya Husna ngeri yang dijawab Aretha dengan tawa. Namun berjam-jam setelahnya, "Tha, Farhan menghilang." Nada gugup ibunya membuat Aretha mengerutkan dahi. "Maksud Bunda?" tanya Aretha bingung. "Adik kamu, Tha. Dia hilang dari sekolahnya." Ucap Bunda Rachma dengan suara panik dan terisak. "Farhan?" tanya Aretha tak percaya. "Bun, tenang dulu Bun. Jelasin pelan-pelan. Retha gak ngerti." Bujuk Aretha kala ibunya berusaha menjelaskan dengan suara sengaunya yang terdengar seperti gumaman tak jelas di telinga Aretha. Karena turut merasa panik, Aretha pada akhirnya memilih untuk keluar dari tempat kerjanya dan pergi ke kediaman orangtuanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN