Laju mobil melambat ketika Ganesha berbelok ke arah perumahan Griya Riatur Residence. Ternyata rumah masa depan Ganesha dan Nelly dulu ada di perumahan mewah ini. Arimbi menarik napas lega. Karena dengan begitu jarak antara rumah dan tempat kerjanya menjadi lebih dekat. Ayahnya memang baru membuka minimarket wiralabanya di daerah ini.
Dan kebetulan dirinyalah yang mengurus minimarket baru ini. Sania, kasir minimarket sedang cuti karena baru melahirkan. Dan selama Sania cuti, dirinyalah yang menggantikan tugas Sania menjadi kasir minimarket. Arimbi sudah menjalani tugas barunya ini selama dua minggu.
Ganesha membunyikan klakson dua kali kepada Satpam yang berjaga di pos depan perumahan. Salah seorang dari Satpam yang tengah berjaga, mengangkat tangan dan mempersilakan Ganesha melanjutkan perjalanan.
Mobil pun kembali melaju dan berangsur melambat ketika mereka tiba di jalan Kemuning nomor sembilan belas. Ganesha menghentikan kendaraan. Namun ia tidak mematikan mesin mobil di depan rumah mewah berpekarangan luas itu. Sepertinya mereka telah tiba di tempat tujuan.
Arimbi mengamati fasad rumah yang akan menjadi tempat tinggalnya dengan pandangan kagum. Rumah Ganesha ini sangat luas dan asri. Berbeda dengan rumah-rumah di kanan kiri dan juga rumah-rumah lain yang desainnya seragam. Ganesha telah merombak desain asli rumahnya. Menilik luasnya rumah ini, Ganesha pasti menggabungkan dua buah rumah menjadi satu. Alhasil rumah ini menjadi yang paling luas dan megah dibanding rumah-rumah di sekelilingnya.
Dua minggu yang lalu, kala Arimbi dan ayahnya melewati perumahan ini, ia pernah membatin. Orang-orang seperti apa yang tinggal di perumahan mewah ini selain para pejabat dan artis-artis? Siapa yang menyangka kalau dua minggu kemudian dirinya juga akan tinggal di sini. Rahasia alam semesta memang mengejutkan.
Sebenarnya dirinya sendiri bukanlah orang yang kekurangan. Malah bisa dikatakan lebih dari cukup. Ayahnya mempunyai lima belas unit minimarket wiralaba yang tersebar di beberapa wilayah ibukota. Dulu ayahnya sendiri yang mengelola minimarket-minimarket tersebut. Namun setelah memasuki usia pensiun Arimbi yang mengambil alih. Ingatan ayahnya sudah tidak seteliti dan segesit dulu lagi.
Dua minggu lalu Arimbi pernah iseng-iseng bertanya pada ayahnya, sewaktu mereka melewati perumahan Griya Riatur ini. Arimbi menanyakan pada ayahnya, apakah ayahnya tidak ingin memiliki satu unit rumah dari sekian banyak rumah mewah di perumahan ini.
Arimbi ingat, dua minggu lalu ayahnya menggeleng tegas. Ayahnya bilang, untuk apa ia memaksakan diri membeli sesuatu yang tidak benar-benar perlu hanya demi memuaskan ego. Lebih baik uangnya diputar lagi. Dan jadi duit lagi. Begitulah prinsip ayahnya yang notabene adalah seorang pedagang sejati. Uang diputar menjadi uang lagi.
Lamunan Arimbi buyar saat mendengar Ganesha menelepon seseorang. Dari pembicaraan yang ia dengar, ternyata Ganesha menelepon penjaga rumah yang selama ini merawat dan membersihkan rumahnya. Ganesha meminta sang penjaga untuk memberikan kunci rumah padanya.
Selama Ganesha menelepon, Arimbi kembali memperhatikan bangunan luas yang ada di depannya. Senyum Arimbi tersungging ketika pandangannya membentur taman luas nan subur di pekarangan rumah. Semesta kali ini pun kembali berpihak padanya. Karena rumah ini memiliki taman yang sangat luas untuk bercocok tanam. Dari dulu impian Arimbi adalah memiliki taman sendiri. Dengan demikian hobbynya berkebun dapat tersalurkan.
Rumah masa depannya dengan Seno, yang kini ditempati Seno bersama Nina, juga memiliki kebun. Hanya saja tidak semewah dan seluas rumah ini. Rumah yang dibeli Seno lebih sederhana. Terletak di kawasan perumahan yang cukup elit. Namun belum sekelas perumahan Griya Riatur Residence ini.
Selama menunggu sang penjaga rumah mengantarkan kunci, Arimbi memperhatikan lebih detail rumah yang nantinya akan ia tinggali. Rumah Ganesha ini berkonsep natural dan membumi. Material-materialnya sebagian besar terbuat dari kayu. Termasuk pagarnya yang berukiran rumit dan antik.
Satu hal yang membuat Arimbi bertambah senang adalah, banyaknya jendela-jendela kaca ukuran besar yang menghadap langsung ke taman bunga. Sungguh selain mewah, rumah ini benar-benar seleranya sekali.
Beberapa saat kemudian, sebuah sepeda motor berhenti di depan pagar. Sang pengendara adalah seorang pria paruh baya yang buru-buru membuka pintu pagar lebar-lebar agar Ganesha bisa memarkir mobilnya di garasi samping. Ganesha memajukan kendaraan dan memarkir mobil dengan rapi. Setelahnya Ganesha menutup ac, mengatur persnelling pada posisi P, barulah ia mematikan mesin mobil.
"Ayo turun. Ini rumahmu sekarang." Teguran Ganesha memupus lamunan Arimbi. Arimbi menjawab dengan anggukan. Setelahnya ia bergegas turun dari mobil dan mengekori langkah Ganesha.
"Ini kunci rumahnya, Pak Esha. Kebun sudah saya dan rapikan, dan rumah juga sudah istri saya bersihkan. Telepon saja saya kalau-kalau Pak Esha atau Ibu membutuhkan sesuatu. Saya permisi dulu. Mari."
Pria paruh baya yang dipanggil Pak Ridwan itu memberi serenceng kunci pada Ganesha sebelum berpamitan. Arimbi menanggapinya dengan senyum ramah seraya mengucapkan terima kasih.
"Ayo kita masuk ke dalam." Ganesha memasukkan kunci pada pintu rumah. Memutarnya ke kanan dua kali, dan pintu pun terbuka lebar. Arimbi melongok ke dalam, dan ia pun kembali terpukau. Dari fasad luar, penampakan rumah ini sudah sedemikian artistik. Ternyata di dalamnya lebih spektakuler lagi.
Ruang tamunya terkesan elegan dan klasik dengan sentuhan material kayu dan warna dominan coklat tua serta krem. Lantai terlihat asri dengan serat-serat kayu yang disusun sesuai alurnya.
Bagian plafonnya perpaduan antara kayu jati dan juga gipsum berwarna putih bersih. Ada empat buah jendela-jendela kaca dengan ukuran besar yang menghadap langsung ke taman. Ada juga arena foyer yang mengatur sirkulasi udara dan juga cahaya. Kesan yang Arimbi dapatkan adalah rumah ini memberikan kehangatan dan kenyamanan dibalik kemewahannya.
"Kamu suka rumahnya?"
"Gila aja kalau rumah seperti istana begini saya tidak suka." Arimbi membatin.
"Baguslah kalau kamu suka. Berarti kamu tidak gila."
Ganesha ngeloyor masuk ke dapur. Ia haus. Arimbi yang ditinggal melongo. Mengapa Ganesha bisa membaca isi hatinya? Padahal tadi ia hanya membatin saja. Sepertinya mulai hari ini ia harus menghilangkan kebiasaannya membatin. Karena ia menduga Ganesha bisa membaca isi hatinya. Bisa gawat kalau ia mengata-ngatai Ganesha dalam hati, sementara objek ghibahannya bisa mendengar bukan?
Setelah bayangan Ganesha tidak terlihat, Arimbi melanjutkan tur di rumah yang akan ditempatinya. Seperti yang dikatakan oleh Pak Ridwan tadi keadaan rumah sudah dalam keadaan bersih dan rapi. Arimbi melanjutkan langkah melewati foyer dan ruang tamu. Hingga ia tiba di depan dua buah pintu yang saling berdampingan. Arimbi menduga ruangan dibalik pintu itu adalah kamar tidur.
"Masuk... jangan... masuk... jangan..."
"Masuk saja. Ngapain kamu maju-mundur terus?"
"Eh kodok... kodok..." Arimbi terlonjak kaget. u*****n Ganesha dari arah punggungnya mengagetkannya.
"Astaga, Mas Esha ngagetin." Arimbi menepuk-nepuk pelan dadanya.
"Manget-manget makan nasi pakai ayam goreng." Arimbi mencoba menghilangkan rasa kagetnya.
Tuk!
Sebuah sentilan mendarat di kening Arimbi.
"Baru juga makan rendang, sekarang kamu sudah kepingin makan ayam goreng."
Astaga, Ganesha menganggapnya rakus rupanya!
"Saya bukan benar-benar pengen makan nasi dan ayam goreng, Mas." Arimbi buru-buru membantah.
"Itu cuma kalimat perumpamaan atau pengandaian. Alias adagium, analogi, metafora atau--"
"Sudah! Tidak usah dibahas lagi. Saya mengerti maksudmu." Ganesha mengibaskan tangannya ke udara.
"Saya akan ke kantor. Ada beberapa hal yang harus saya urus. Kamu tinggal di sini saja."
Ganesha merogoh ponsel dari sakunya. Mengetik sesuatu dengan cepat. Sejurus kemudian Arimbi merasa ponselnya bergetar. Ada notifikasi masuk di ponselnya.
"Itu chat dari saya. Saya memberimu nomor ponsel Pak Ridwan dan Bu Darsih istrinya. Jadi, nanti kalau kamu membutuhkan apa-apa, kamu boleh memanggil salah satu dari mereka. Tergantung kebutuhanmu itu apa. Mereka berdua tinggal di depan kompleks ini. Sebentar," Ganesha mengangkat tangannya. Mencegah Arimbi yang ingin berbicara. Ponsel di tangannya bergetar.
"Ya, Nelly. Oke. Sebentar lagi saya akan tiba di sana." Ganesa memindai jam di pergelangan tangannya.
"Tidak sampai. Paling lama lima belas menit lagi saya sudah tiba di sana." Setelah mengakhiri pembicaraan Ganesha menyelipkan poselnya di saku bagian dalam jas.
"Kamu ingin mengatakan apa tadi?" Ganesha kini memfokuskan pandangan pada Arimbi.
"Anu, Mas. Kalau kita menggunakan jasa Pak Ridwan atau Bu Darsih, bukannya nanti rahasia kita akan ketahuan?" Arimbi menyuarakan kekhawatirannya.
"Tidak akan." Ganesha menggeleng tidak sabar.
"Pak Ridwan dan istrinya itu bisa dipercaya. Saya sudah mengenal keduanya sejak lama. Ada yang ingin kamu tanyakan lagi? Saya sedang ditunggu orang soalnya."
"Iya, ditunggu Nelly 'kan?" batin Arimbi.
"Kamu benar. Nelly memang sedang menunggu saya. Kami sedang berkerjasama untuk satu proyek besar."
Mampus! Benaknya terbaca lagi!
"Meskipun kita sudah sepakat untuk tidak saling mencampuri urusan satu sama lain, saya ingin meminimalisir kesalahpahaman. Makanya saya menjelaskannya padamu."
Ganesha memindai jam tangannya sekali lagi. Ia benar-benar sudah tidak sabar ingin bertemu dengan klien-klien potensialnya.
"Barang-barang pribadi saya bagaimana? Masa saya tinggal di sini dengan beberapa helai pakaian saja?" Arimbi bertanya langsung saja. Ganesha sedang terburu-buru. Itu artinya Ganesha ia tidak punya waktu untuk menunggunya menata kalimat-kalimat sopan ala istri-istri teraniaya di sinetron ikan terbang.
"Kosmetik, alat-alat mandi dan barang-barang pribadiku bagaimana?" Arimbi tanpa sadar membatin lagi.
"Semua yang kamu sebutkan itu sudah lengkap. Ada di meja rias, lemari dan kamar mandimu. Saya juga telah menyiapkan beberapa pakaian baru untukmu. Tapi kalau kamu ingin mengambil beberapa barang lamamu, boleh saja. Tapi usahakan ambil yang perlu-perlu saja. Nanti dikira kedua orangmu saya tidak mampu membiayaimu."
"Baik, Mas." Arimbi mengangguk. Ia jadi takut membatin karena Ganesha bisa mendengar suara hatinya.
"Kamu gunakan saja mobil saya yang satunya lagi di dalam garasi. Jangan gunakan mobil lamamu. Kembalikan mobil itu pada ayahmu. Kamu sudah menikah sekarang. Jadi sudah menjadi kewajiban saya untuk mengambil alih tanggung jawab ayahmu untuk menafkahimu. Jaga nama baik saya."
"Oke. Saya tidak akan membawa mobil lama saya karena memang ayah saya yang membelikannya. Tapi saya akan membawa motor saya. Motor itu saya beli dengan hasil keringat saya sendiri. Tidak dibelikan oleh ayah saya."
"Kamu menggunakan motor selama bekerja, Arimbi? Jangan naik motor lagi. Berbahaya." Ganesha menggeleng tegas. Resiko berkendara dengan sepeda motor sangat tinggi. Lalai sedikit saja, bisa celaka.
"Saya sudah biasa mengendarai motor sejak saya SMA, Mas. Lagi pula, saya tidak akan berkendara jauh-jauh. Minimarket ayah saya yang baru, lokasinya tidak begitu jauh dari sini. Saya akan mengecek minimarket dengan mengendarai motor saja mulai besok." Arimbi tetap dengan keinginannya.
"Nanti." Ganesha mengangkat tangan kanannya. Setelah saya pulang nanti kita bicarakan kembali. Saya pergi sekarang saya telah ditunggu oleh klien.
"Oleh Nelly juga," batin Arimbi dalam hati.
"Benar. Oleh Nelly juga."
"Heh, Mas ini seperti pawang hati saja. Bisa membawa isi hati orang."
Daripada membatin, Arimbi menyuarakan saya isi hatinya. Daripada terbaca oleh Ganesha lagi. Lebih memalukan bukan?
"Siapa yang pawang hati?" Ganesha berkacak pinggang. Yang benar saja dirinya disamakan dengan seorang pawang.
"Kamu itu niatnya membatin, tapi kalimatnya ikut kamu ucapkan. Saya jadi mendengarnya, Rimbi. Makanya saya tahu. Bukan karena saya punya kekuatan batin membaca isi hati orang."
Hasemeleh, keucap rupanya. Pantes.