Chapter 9 Siasat Baru.

1607 Kata
"Bukan urusanmu," Ganesha melirik sekilas pada Seno. Setelahnya ia melanjutkan makannya dengan santai. Ganesha memperlakukan Seno seperti mahkluk tak kasat mata. "Dijawab saja kenapa sih, Mas? Susah amat?" dengkus Seno dongkol sembari menarik sebuah kursi. Ia kemudian menyendok nasi dan duduk di samping sang ibu. Ia berpura-pura ingin makan juga. Padahal ia hanya ingin memata-matai hubungan Arimbi dan Ganesha. Apakah benar mereka sungguh-sungguh bahagia seperti yang ditampilkan keduanya pada saat resepsi kemarin malam? Atau hanya hanya akting belaka untuk mengelabuhi orang-orang. "Pertanyaanmu tidak membutuhkan jawaban. Kamu sudah tahu jawabannya. Kamu itu cuma ingin mengusik kebahagiaan orang saja. Jadi untuk apa kujawab? Buang-buang napas saja," sahut Ganesha dingin. Seno melirik abangnya sekilas melalui sudut mata. Seperti inilah karakter asli Ganesha. Dingin dan tanpa basa basi. Banyak orang mengatakan bahwa berbicara lebih dari lima menit dengan Ganesha, akan membuat mereka insecure. Takut kalau-kalau Ganesha akan menguliti dosa-dosa mereka. Hal itu juga yang kerap dikeluhkan oleh mantan-mantan pacar Ganesha, Nelly dan Menik dulu. Berpacaran dengan Ganesha, serupa dengan aksi tanya jawab Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa di pengadilan. Di mana setiap Ganesha membuka mulut, kesalahan-kesalahan mereka lah yang akan ia bahas. Ganesha akan terus menuntut jawaban, sehingga mereka pun sibuk membela diri. Wanita mana yang tahan terus menerus diinterogasi? Hal inilah yang membuat Nelly dan Menik akhirnya meminta putus. Abangnya ini tidak belajar dari kesalahan rupanya. "Mas orangnya tidak asyik ya? Nyindir melulu. Apa Mas nggak capek ngegas terus?" Seno mengambil sepotong rendang. Ia kemudian memotong daging rendang yang lembut dengan sendok, dan menyuapkannya ke mulut setelah dicampur dengan sesuap nasi. Seno memang sengaja memancing emosi Ganesha dengan kalimat-kalimat yang provokatif. Ia ingin Arimbi mengetahui sifat-sifat buruk Ganesha sedikit demi sedikit. "Lebih capek kamu kayaknya. Nyinyir terus. Tingkahmu lebih mirip dengan ibu-ibu kompleks yang tidak punya pekerjaan daripada seorang pengusaha muda. Memalukan." Mendengar celetukan Ganesha, Seno meletakkan sendoknya kasar. Ia tidak jadi makan. Ganesha sudah keterlaluan. Menghinanya terang-terangan di depan Arimbi. Harga dirinya terjun bebas dipermalukan seperti ini. "Maksud Mas apa menyindirku seperti itu?" Seno bangkit dari kursi. Kedua gerahamnya gemeletuk dengan kedua tangan terkepal. Kendali dirinya berada di titik nadir. "Aku menyindir?" Ganesha menunjuk dadanya sendiri dengan sendok masih di tangan. Bahasa tubuhnya tetap cuek dan santuy. "Kamu itu tuli atau bagaimana? Kalimatku bagian mana yang menyindirmu? Aku mengatakan kebenaran di depan matamu. Aku bukan type orang yang suka menyindir-nyindir seperti perempuan. Lagipula kamu ini aneh. Kamu sendiri yang mengoceh-ngoceh. Giliran diberi tanggapan, malah kamu yang ngamuk-ngamuk. Kamu waras kan?" Berbeda dengan Seno yang mengamuk. Ganesha santai saja membalikkan kata-kata yang sebelumnya ditanyakan oleh Seno. Yang bertanya siapa, yang emosi siapa juga? Aneh. "Sudah Seno, jangan membuat keributan. Selesaikan makanmu dan segera kembali ke kantor. Kamu makan siang di sini karena ingin makan rendang buatan Ibu bukan?" Bu Santi dengan sigap menengahi pertikaian di antara kedua putranya. Seno dan Ganesha memang seperti ini adanya sedari keduanya remaja. Seperti anjing dan kucing. Tidak pernah akur satu sama lain. Seno kerap membuat masalah, dan Ganesha lah yang menyelesaikannya. "Ibu selalu begini. Membela Mas Esha terus." Seno makin sewot. Istimewa Arimbi meliriknya dengan sorot mata mengecam. Pasti Arimbi makin tidak respek padanya, karena terus dimarahi seperti seorang anak kecil. Abang dan ibunya memang keterlaluan. Memperlakukan orang sedewasa dirinya seperti anak-anak saja. "Oh, jadi kamu berharap dibela oleh Ibu? Minta perlindungan begitu?" Ganesha yang telah menyelesaikan makannya, menyilangkan sendok dan garpu di piring. Setelahnya ia bersedekap. Menatap Seno dengan kening berkerut. "Bukan begitu, Mas. Kalian berdua selalu memperlakukanku seperti anak kecil. Padahal usiaku hanya tiga tahun di bawah Mas. Jangan memperlakukanku seperti bocah lagi!" Seno kian panas. Apalagi Arimbi tampak seperti menahan tawa. Sialan, Arimbi mentertawakannya. Tiga tahun menjadi pacar Arimbi, membuat Seno khatam dengan perubahan air muka mantan pacarnya itu. "Kalau kamu tidak mau dianggap seperti anak kecil, ubah sikapmu. Jangan bertingkah seperti anak kecil yang selalu mencari alasan alih-alih menerima kesalahan. Bertanggung jawab dan bersikaplah seperti orang dewasa. Sikap dan perilakumu yang menunjukan siapamu. Mengerti kamu, Seno?" Setelah menasehati Seno, Ganesha meneguk segelas air hingga tandas. Bersabar menghadapi tingkah lebay Seno ternyata membuatnya dehidrasi. Arimbi yang melihat gelas Ganesha kosong, buru-buru berdiri. Ia meraih gelas kosong tersebut dan berjalan ke arah dispenser. Ia bermaksud mengisi kembali gelas Ganesha. Bu Santi tersenyum haru. Terlepas dari terpaksanya Arimbi menikah dengan Ganesha, Arimbi adalah istri yang baik. Ia tanggap memahami kebutuhan suaminya, tanpa harus diminta. "Lho, kenapa Mbak Rimbi yang sibuk-sibuk? Biar saya saja yang mengambilkan minuman untuk Mas Esha." Bu Ani, ART keluarga Caturrangga buru-buru keluar dari dapur. Bu Ani tidak enak hati melihat tamunya repot-repot mengambil minuman sendiri. Padahal ada dua orang ART lagi, termasuk dirinya. "Tidak apa-apa, Bu. Biar saya saja yang melayani Mas Esha. Sudah kewajiban saya. Lagi pula saya juga sedang menganggur." Arimbi mempertahankan gelas yang ingin direbut oleh Bu Ani. "Ya sudah kalau Mbak Rimbi maunya begitu." Bu Ani mengalah dengan senyum dikulum. Ia mengerti. Sebagai pengantin baru pasti Arimbi ingin melayani suaminya dengan baik. "Kalau begitu, saya kembali ke dapur ya? Kalau Mbak Rimbi membutuhkan apa-apa, susul saja saya ke dapur," pamit Bu Ani. Arimbi menanggapi kata-kata Bu Ani dengan anggukan. "Oh ya, Mas mau minum kopi tidak? Biasanya setelah makan, Mas suka minum segelas kopi hitam." Setelah meletakkan gelas berisi air putih di atas meja, Arimbi menawarkan kopi kepada Ganesha. Ia ingat akan kebiasaan Ganesha yang selalu meneguk segelas kopi hitam setelah ia selesai makan. "Boleh," sahut Ganesha singkat. Ia kaget juga karena ternyata Arimbi memperhatikan kebiasaannya. "Baik. Tunggu sebentar ya, Mas?" Arimbi bergegas menyusul Bu Ani ke dapur. Lebih baik ia menyibukkan diri di dapur bersama Bu Ani daripada ia menyaksikan drama ala Seno yang njelehi. Ada satu hal yang baru saja ia diketahui tentang Seno. Bahwa ternyata Seno itu seperti anak kecil. Selama tiga tahun berpacaran, ia tidak tahu kalau Seno sechildish itu. Semakin ke sini, Arimbi semakin mensyukuri batalnya pernikahannya dengan Seno. Sifat buruk Seno keluar semua, setelah mereka berdua tidak lagi menjadi sepasang kekasih. Arimbi kini malah heran. Mengapa dulu ia bisa jatuh cinta kepada orang seegois Seno. Mungkin karena manisnya cinta mereka berdua telah habis. Sehingga sekarang ia bisa lebih objektif dalam menilai Seno. "Lho, ternyata benar. Mas Seno ada di sini toh. Saya tadi ke kantor mencari Mas. Kata orang Mas pulang makan siang ke sini. Padahal saya sudah menyiapkan makanan kesukaan Mas lho." Arimbi yang tengah menyeduh kopi, mempertajam pendengarannya. Sejurus kemudian ia menghela napas panjang. Ia mengenali suara perempuan manja yang khas itu. Nina menyusul Seno ke sini rupanya. "Di ruang makan sepertinya ada Mbak Nina. Kopi Mas Esha mau saya antar saja atau bagaimana, Mbak?" Teguran Bu Ani di sisi telinganya, membuat Arimbi kaget. Karena melamun ia tidak sadar kalau Bu Ani sudah berdiri di sampingnya. "Maaf ya, Mbak Rimbi. Bukannya saya lancang ingin mengambil alih tugas Mbak Rimbi. Saya hanya bermaksud menjaga kedamaian di ruang makan." Bu Ani mengingatkan dengan senyum maklum. Bua Ani tentu saja tahu tentang keanehan cinta bersegi-segi di antara mereka. Berikan... jangan... berikan jangan... berikan... jangan! "Biar saya saja yang memberikannya, Bu. Kami semua telah menjadi satu keluarga. Jadi semua harus belajar dihadapi agar terbiasa. Karena untuk ke depannya kami pasti akan sering bertemu. Namanya juga telah menjadi satu keluarga besar." Arimbi memutuskan untuk menghadapi Nina. Untuk apa dihindari. Toh ke depannya mereka akan sering bertemu. Terutama jika ada moment-moment kebersamaan keluarga. Mereka semua harus belajar untuk kompromi dengan keadaan. "Baiklah. Saya akan melanjutkan mencuci piring kotor saja kalau begitu." Dengan bijak Bu Ani mengalihkan pembicaraan. Melihat sikap Arimbi yang dewasa dan tenang, ia yakin kalau Arimbi bisa mengatasi Nina. "Oh ada kamu rupanya di sini, Rim. Pantes." Nina yang berdiri di samping Seno mengomentari kehadiran Arimbi dengan suara di hidung. Di tangannya terlihat beberapa kardus styrofoam yang sepertinya berisi makanan seperti yang ia katakan tadi. Kata pantas yang Nina ucapkan terdengar penuh arti. "Bawa kopi saya ke ruang kerja saja, Rimbi. Kuping saya gatal kalau mendengar scene drama-drama murahan." Ganesha beranjak dari kursi. Ia tidak melihat ke arah Nina sama sekali. Ekspresi muak di wajahnya sudah menjawab alasan mengapa ia ingin berpindah tempat. "Baik, Mas." Arimbi tidak jadi meletakkan kopi hitamnya di atas meja. Ia kini mengekori langkah Ganesha menuju ruang kerja. "Oh, ya. Segera ke kembali ke kantor. Karena kalau kinerjamu tidak baik, posisimu akan aku berikan kepada yang lebih berhak," pungkas Ganesha tegas. "Mas, tidak berhak--" "Aku berhak. Karena akulah pemegang saham terbesar di semua perusahaan-perusahaan kita. Kalau kamu tidak suka dengan peraturan yang aku buat, kamu boleh angkat kaki dari perusahaan." Ganesha mengarahkan jemari telunjuknya ke wajah Seno. Ia memang keras dalam masalah perusahaan. Karena untuk membangun perusahaan sampai sebesar ini, tidak mudah. Banyak hal yang sudah ia korbankan. Dana, waktu, pemikiran, keringat dan loyalitas semua termaktub dalam perusahaan. Keberhasilannya adalah perusahaan-perusahaan yang berdiri kokoh sampai hari ini. Untuk itu ia tidak pernah main-main dalam menjalankan perusahaan. "Ayo, Rimbi. Kita ke ruang kerja saja mengobrolnya. Setelah kopi saya habis, baru kita pulang." Ganesha menyentuh bahu Arumbi ringan namun intim. Kepemilikan mutlak terlihat dari gerakan tangan kekarnya. Nina, yang sebenarnya datang karena berniat ingin memanas-manasi Rimbi, menjadi panas sendiri. Keberuntungan entah mengapa selalu berpihak kepada sepupunya ini. Dulu ia berpikir, dengan menjebak Seno, maka Arimbi pasti akan hancur. Bayangkan ditinggal menikah seminggu sebelum hari H, memalukannya sampai ke tulang sumsum. Yang tidak ia duga adalah ternyata Ganesha, sang CEO PT Caturangga Sarana Indomobil, dan beberapa perusahaan kontruksi lainnya, malah bersedia menggantikan posisi Seno. Betapa beruntungnya nasib Arimbi bukan? Tapi tidak mengapa. Selama matahari masih terbit dari timur dan tenggelam di barat, berarti bumi masih berputar dan waktu masih panjang. Untuk itu, pasti masih ada kesempatan untuk kembali merampas semuanya dari Arimbi. Yang ia butuhkan Hanya dua hal. Yaitu waktu dan kesabaran. Pemenang itu adalah orang yang tertawanya belakangan bukan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN