Chapte 8. Peraturan Dalam Rumah Tangga.

1906 Kata
"Saya jelaskan sekali lagi. Kita akan memberi kesan kalau kita akan pindah ke rumah baru hari ini. Untuk itu kita akan berpamitan dulu kepada kedua orang tua saya," terang Ganesha. "Padahal?" sela Arimbi tidak sabar. Kata kesannya itu mencurigakan. Saat ini mereka tengah bersiap-siap check out dari hotel. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang kurang dua puluh menit. Dan Ganesha bilang mereka akan berbicara untuk mufakat dulu. Agar jawaban mereka nanti kompak saat diinterogasi oleh kedua orang tuanya. "Padahal cuma kamu yang pindah. Saya akan tetap tinggal di apartemen seperti biasa. Pengaturan ini kita buat sebagai konsekuensi dari perjanjian kita sebelumnya. Yaitu ; kita tidak akan mencampuri urusan pribadi masing-masing. Paham?" Ganesha menerangkan maksudnya sekali lagi. Ia tidak ingin Arimbi nanti salah berbicara di hadapan kedua orang tuanya. Bisa panjang nanti urusannya. Makanya ia membriefing istri pura-puranya ini terlebih dahulu. "Begitu ya? Lantas kalau nanti ketahuan bagaimana?" Arimbi bingung. Dirinya tidak masalah kalau ia harus tinggal sendiri. Jauh lebih enak malahan. Ia juga bebas merdeka melakukan apapun sendirian. Masalahnya ia takut ketahuan. Bisa kacau nanti nasib pernikahannya. Ujung-ujungnya ia akan kembali ditertawai oleh Seno dan Nina. "Tidak akan ketahuan kalau kita merencanakan semuanya dengan teliti." Ganesha menggeleng. "Baik. Sekarang katakan bagaimana cara kita merencanakannya dengan teliti tersebut?" Arimbi mengulangi kata-kata Seno. Bicara memang gampang. Prakteknya ini yang terkadang tidak sesuai dengan SOP. "Makanya dengar dulu kalau orang berbicara. Kamu ini seperti sopir angkot saja. Langsung main potong tanpa aba-aba." Sabar ya, hati? Kita kan baru juga sehari jadi istri. Nanti mudah emosi. Arimbi memanjangkan sabarnya. "Begini, saya akan rutin mengunjungi rumahmu satu atau dua kali dalam seminggu. Demikian juga sebaliknya. Kamu akan mengunjungi apartemen saya sesekali dalam sepekan juga." Lah, jadi seperti orang pacaran dong? Ketemunya sesekali saja? "Nah, selama saya di rumahmu atau kamu ke apartemen saya, kita akan memotret kegiatan kita berdua, dan mengunggahnya ke media sosial kita bersama pula." Wuidih, membuat akun official suami istri lagi. Ganesha tidak mau berakting seperti aktor sinetron. Tapi malah menyusun strategi ala drama Korea begini. Sami mawon podo wae namanya bukan? Tuk! "Aduh!" Arimbi refleks mengelus keningnya ketika Sebuah selentikan singgah di sana. Sialan, Ganesha menyelentik jidatnya. "Kamu ini bukannya mendengarkan rencana saya, malah planga plongo sedari tadi. Fokus, Rimbi. Fokus." "Maaf, Mas. Lanjutkan." Arimbi mengibaskan kepala. Ia juga memperbaiki sikap tubuhnya. Dari yang tadinya duduk santai di sofa, menjadi lebih serius dengan punggung tegak. Fokus, Rimbi. Fokus. "Dengan begitu orang-orang akan tahu bahwa kita mempunyai kegiatan di dua tempat tersebut. Jadi jikalau suatu saat ada orang yang memergoki kita ada di tempat yang berbeda, tidak akan aneh lagi. Karena mereka sudah tahu bahwa kita sering beraktivitas di dua tempat itu. Bahkan mereka juga tidak akan sadar kalau kita berpisah tempat tinggal. Masalah selesai. Gampang bukan?" Ganesha melemparkan tangannya ke udara. "Ngomong sih gampang." Arimbi ngedumel. "Eh maaf, Mas. Saya--" "Tidak usah minta maaf. Karena kita berdua tahu kalau kamu sengaja. Saya ingatkan kamu sekali lagi. Hati-hati dengan pikiranmu. Karena apa yang ada di dalam pikiranmu akan tercetus tanpa kamu sadari." Ketahuan juga. Ya sudahlah. Mau bagaimana lagi? "Saya ingatkan satu hal. Hentikan kebiasaanmu menggerutu. Kalau kamu tidak suka akan sesuatu, katakan. Kamu punya mulut bukan?" Pantas saja Menik minta putus dulu. Punya pacar mirip dengan Jaksa Penuntut Umum seperti ini apa enaknya? Tuk! Sialan, Ganesha menyelentik dahinya lagi. "Ini juga. Hentikan kebiasaan menghibahi orang dalam hati. Tuman." "Iya, Mas. Nanti dikondisikan." Arimbi mengangguk takzim. Kali ini Ganesha benar. Ia harus mengubah kebiasaan jeleknya ini. Ia memang acapkali ngedumel dalam hati, apabila ia tidak puas akan sesuatu tetapi ia tidak berani mengatakannya. "Oke. Jadi sekarang kita siap-siap ke rumah orang tua Mas ya?" Arimbi beranjak dari sofa. Ia akan memeriksa seantero kamar terlebih dahulu. Ia takut kalau ada barang-barang yang tertinggal di dalam hotel. Ia memang kerap mengecek dua kali setiap kali ia akan meninggalkan hotel atau di mana pun tempat ia menginap. Dengan begitu ia baru bisa check out dengan tenang. "Orang tua saya juga orang tua kamu sekarang, Rimbi. Kamu lupa kalau kita sudah menikah?" Ya Allah. Salah lagi... salah lagi. Astaga, ia ngedumel lagi. Padahal tadi ia baru saja berjanji pada diri sendiri, kalau ia akan berubah. "Kita bersiap-siap ke rumah orang tua kita ya, Mas?" Arimbi mengeja kalimatnya pelan-pelan. Ia takut salah omong lagi. "Iya. Kita akan ke sana. Tapi sebelumnya kita akan mendiskusikan beberapa hal dulu." Tadi membicarakan beberapa hal. Dan sekarang mendiskusikan beberapa hal. Berarti yang akan dibicarakan ini lebih serius sifatnya bukan? "Iya, Mas. Bilang saja. Saya akan mendengarkan baik-baik." Arimbi berusaha memfokuskan diri dengan menatap Ganesha lurus-lurus. Kebetulan saat ini Ganesha juga tengah menatapnya dalam-dalam. Akibatnya tatapan mereka berdua bertabrakan di udara. Arimbi yang tidak nyaman ditatapi dengan tajam, mengalihkan pandangannya. Ia jadi merasa seperti anak sekolah lagi, dan tengah menghadapi guru BK yang galak. Ia jiper. Ganesha mendecakkan lidah. Arimbi ini selalu saja tegang apabila berhadapan dengannya, tidak ada cocok-cocoknya menjadi istrinya bukan? "Oke. Sekarang kita blak-blakan saja. Kamu ingin bekerja di bagian apa dan di mana? Yang pasti tidak di kantor pusat, di mana saya berkantor di sana. Walaupun saya adalah pemilik perusahaan, tetapi peraturan tetaplah peraturan. Di mana salah satu bunyinya adalah, suami istri tidak boleh satu kantor." Arimbi melongo. Ini Ganesha ngelindur atau bagaimana? Mengapa pembicaraan pribadi tiba-tiba berubah menjadi urusan kantor? Padahal kantor mereka jelas berbeda. Ganesha adalah pemilik perusahaan otomotif PT Caturangga Sarana Indomobil, dengan anak cabang yang tersebar di beberapa provinsi. Sementara dirinya adalah anak owner waralaba beberapa minimarket yang dikelola oleh ayahnya. Jenis pekerjaan mereka berbeda, dan tentu saja kantor mereka berbeda bukan? Arimbi bingung. "Tapi kamu tidak usah khawatir. Saya dan ayah telah memutuskan akan menempatkanmu di dua kantor cabang. Yaitu cabang Gatot Subroto dan cabang MT Haryono. Karena kami menilai dua daerah itu lokasinya lebih dekat dengan rumah yang akan kamu tinggali nanti. Nah kamu mau ditempatkan di kantor cabang mana?" Arimbi makin bingung. Ganesha membicarakan apa ini? Memintanya memilih kantor dan jabatan? Perasaan sebelumnya mereka tidak pernah membicarakan masalah pindah kantor? Lagi pula, kalau ia pindah kantor, siapa yang akan membantu ayahnya mengurus bisnis waralaba ayahnya yang lumayan banyak. Ayahnya sudah tua. Tidak seteliti dan sesehat dulu lagi. "Tunggu... tunggu... Mas Esha ngomong apa sih? Meminta saya memilih jabatan dan kantor? Memangnya siapa yang pindah kantor, Mas? Saya tetap harus membantu ayah saya di mini market. Saya tidak mungkin meninggalkan ayah saya bekerja sendiri." Arimbi mencoba memberi pengertian kepada Ganesha. "Tunggu... tunggu... sekarang jadi saya yang bingung. Setelah menikah bukannya kamu ingin bekerja pada perusahaan suamimu? Entah itu suamimu Seno atau saya. Koreksi kalau saya salah." Ganesha memutuskan akan mengorek keterangan sedetail mungkin. "Siapa yang bilang begitu? Saya tidak pernah ingin bekerja di perusahaan suami. Entah suami saya itu Seno atau Mas Esha. Berpikir ke arah sana pun saya tidak pernah, Mas." Arimbi mengerutkan keningnya mendengar kata-kara Ganesha. Siapa yang mengesankan hal seperti itu? Perasaan sejak ia berpacaran dengan Seno tiga tahun yang lalu, tidak sekalipun kata-kata seperti itu terucap dari mulutnya. "Benar kamu tidak pernah bilang kalau kamu ingin bekerja di perusahaan Caturranga setelah kamu menikah? Ingin mendapatkan saham sekian persen sebagai seorang Nyonya Caturrangga dan menjadi wania karir? Coba ingat-ingat dulu. Kalau-kalau kamu lupa." Padahal kamu sudah mengucapkannya tiga tahun lalu. Lantas kembali mengucapkannya tidak kurang dari dua minggu yang lalu, batin Ganesha. "Astaga, tidak, Mas. Mana mungkin saya setidaktahu diri itu meminta bagian saham?" cicit Arimbi ngeri. Dari mana Ganesha punya pemikiran seperti itu? "Coba ingat-ingat lagi. Tiga tahun yang lalu, atau dua minggu yang lalu mungkin?" Ganesha mencoba memberi kata kunci. Tiga tahun yang lalu? Sudah lama sekali. Ia tidak ingat tentu saja. Kalau dua minggu yang lalu? Arimbi mencoba mengingat-ingat. Dua minggu lalu, itu artinya ia masih bersama dengan Seno. Perasaan ia tidak mengatakan apapun pada Seno. "Sumpah demi apapun, saya bukan orang yang seperti itu, Mas. Lagi pula untuk apa saya meminta saham, jabatan, ini itu. Bukannya saya sombong. Tapi harta benda kedua orang tua saya sudah lebih dari cukup, Mas. Saya tidak butuh yang lain lagi." Arimbi semakin ngeri. Ganesha mendecakkan lidah. Ternyata ia salah menebak kepribadian Arimbi. Selama tiga tahun menjadi kekasih Seno, ia mengira Arimbi adalah sosok wanita karir yang ambisius seperti Nelly dan Menik. Karena seperti itulah yang Seno katakan sewaktu pertama kali memperkenalkan Arimbi tiga tahun lalu. Makanya dulu ia menyindir Arimbi sebagai perempuan yang manipulatif. "Mas, pacarku ini orangnya ambisius. Bukan seperti yang Nadia atau Catherine yang taunya terima beres saja. Yang penting dana maintenance perawatan diri lancar. Kalau Rimbi ini mirip-mirip dengan Nelly dan Menik. Alias wanita karir sejati. Kata Rimbi kalau ia sudah menikah denganku, ia ingin saham sekian persen dari PT Caturrangga Sarana Indomobil. Rimbi juga mau menjabat di salah satu perusahaan cabang kita." Ganesha menggelengkan kepala. Ia baru mengenal Arimbi secara dekat selama sekitar delapan hari saja. Ia belum tahu kepribadian Arimbi yang sebenarnya. Ia harus objektif. Ia tidak boleh menerima informasi dari salah satu pihak saja. Ia memerlukan waktu untuk melihat kebenarannya. Seno yang berbohong atau Arimbi. "Tidak apa-apa. Kita lupakan saja masalah itu. Baiklah, kita bersiap-siap ke rumah ayah dan ibu sekarang." Ganesha beranjak dari sofa. Ia bermaksud memeriksa koper kecilnya. "Mana bisa begitu, Mas?" Arimbi ikut berdiri. "Mas sudah membuat saya penasaran dan sekarang Mas meminta saya melupakannya begitu saja. Tuntaskan dulu masalah ini, Mas? Siapa yang bilang begitu? Seno?" tebak Arimbi kesal. Setelah beberapa menit berpikir, Arimbi sudah bisa menarik benang merahnya. Siapa lagi yang mengatakannya pada Ganesha kalau bukan Seno? "Saya bilang lupakan, ya lupakan. Saya tidak mau membahasnya lagi. Segera bersiap-siap. Kalau terlambat kamu yang membayar biaya late check out-nya ya?" Ada ya manusia yang pelitnya begini amat? Tuk! "Jangan menggerutu." Astaga, Arimbi lupa. Ia menggerutu lagi tanpa diniatkan. *** "Ayo di makan rendangnya, Rimbi? Hari ini semua makanan Ibu yang masak lho. Karena Ibu senang sekarang Ibu sudah punya menantu." Bu Santi mendekatkan pinggan rendang pada Arimbi. Bu Santi tahu kalau menantunya ini menyukai lauk rendang. "Terima kasih ya, Bu? Ibu sudah repot-repot memasak untuk saya." Arimbi mengucapkan terima kasih dengan tulus. Terlepas Seno yang jahat, Bu Santi dan Pak Hasto adalah orang yang baik. Lihatlah Bu Santi mau bersusah payah memasak lauk kesukaannya. "Tidak usah berterima kasih, Rimbi. Kamu sekarang sudah menjadi bagian dari keluarga." Arimbi mengangguk. Bu Santi ini sangat baik. Tidak sulit baginya untuk mencintai Bu Santi seperti ia mencintai ibunya sendiri. "Oh ya, kamu benar-benar akan pindah ke rumahmu sendiri hari ini, Sha? Mbok ya menunggu sehari dua hari dulu. Kalian berdua 'kan masih capek." Bu Santi menasehati putranya. Bukan apa-apa. Putranya baru saja menikah sehari. Baru pulang dari hotel malahan. Masa akan langsung pindah saja? "Tidak apa-apa, Bu. Kami tidak capek sungguhan kok. Capeknya juga capek enak. Ibu tidak usah khawatir," jawab Ganesha enteng seraya menyendok sepotong rendang. Arimbi membelalak ngeri mendengar kata-kata tidak disensor Ganesha. Apa? Capek enak kata Ganesha? "Mas, apa-apaan sih?" Arimbi tergagap. Arimbi memang mengenal Ganesha sebagai pribadi yang cuek dan apa-adanya. Namun ia tidak menyangka kalau Ganesha berani blak-blakan seperti ini di depan ibunya. "Tidak apa-apa, Rimbi. Ibu juga pernah muda kok. Iya tidak, Bu?" Ganesha menaikkan satu alisnya pada Bu Santi yang menggeleng-gelengkan kepalanya. Bu Santi tidak menyangka kalau Ganesha yang biasanya cuek bisa bercanda juga. Bercandanya nyeleneh lagi. "Mas mau pindah ke rumah yang dulu rencananya akan Mas tempati bersama Nelly ya?" Gerakan Arimbi menyendok nasi ke mulut terhenti. Seno tiba-tiba muncul dari koridor ruang tamu. Sepertinya Seno baru datang, tapi ia sudah mendengar sebagian pembicaraan di meja makan. Jadi rumah tinggalnya nanti adalah rumah yang sedianya akan Ganesha tempati bersama Nelly?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN