Arimbi membuka koper dengan cepat. Ia kemudian menarik pakaian dalamnya sembarang, beserta satu set piyama berbahan satin.
Sementara Ganesha mandi, sebaiknya ia berganti pakaian yang lebih sopan terlebih dahulu. Hanya mengenakan bathrope sepaha seperti ini, sungguh membuatnya tidak nyaman. Setiap kali ia berjalan, bathropenya tersibak sampai ke atas. Ia tidak mau mencari penyakit berduaan dalam kamar dengan seorang laki-laki dengan pakaian seperti ini.
Setelah celingukan sebentar, Arimbi segera mengganti pakaiannya. Gerakannya sangat cepat, mengingat Ganesha bisa saja sewaktu-waktu keluar dari kamar mandi.
Tepat ketika ia mengancingkan piyama, pintu kamar mandi terbuka. Arimbi menarik napas lega. Untung saja, ia sudah selesai berpakaian.
Tapi sepertinya tidak untung juga. Setelah dirinya rapi, malah Ganesha yang kini berpenampilan setengah telanjang. Ganesha tidak menggunakan bathrope. Melainkan hanya melilitkan selembar handuk putih yang menggantung indah di pinggulnya.
Arimbi kian salah tingkah. Ia tidak tahu harus menyembunyikan diri di mana. Kalau ia balik lagi ke kamar mandi, rasanya aneh juga. Ia akan terlihat seperti tengah diare atau anyang-anyangan. Tetapi tetap berdiri di dalam kamar pun, susah juga. Ia jadi seperti memelototi Ganesha yang akan mengganti pakaian.
Bingung, Arimbi tidak sadar kalau ia terus mondar-mandir di kamar. Dirinya yang tidak biasa berbagi kamar dengan orang lain, benar-benar merasa tidak punya tempat untuk bernaung.
"Ngapain kamu mondar-mandir terus? Sedang latihan baris-berbaris?"
Latihan baris-berbaris? Ya tidaklah! Kurang kerjaan amat ia latihan baris-berbaris di dalam kamar malam-malam begini.
"Bukan. Saya hanya bingung harus menempatkan diri di mana saat Mas berganti pakaian." Arimbi jadi kepingin menggigit lidahnya sendiri, setelah kalimat tanpa filternya ia lontarkan.
"Kenapa bingung? Sekarang saya tanya, kamu ingin melihat saya berganti pakaian atau tidak?" Ganesha menjinjitkan alis.
"Hah? Tentu saja tidak!" Arimbi menggoyang-goyangkan kedua tangannya panik. Tuduhan Ganesha membuatnya malu, sehingga ia buru-buru membantah.
"Kalau begitu kamu tinggal memandang ke arah yang lain saja pada saat saya berganti pakaian. Gampang bukan? Mengapa harus dibuat repot?"
Ngomong memang gampang. Prakteknya bagaimana coba?
"Ya, tapi kan saya tidak enak, Mas. Masa Mas grasak-grusuk berpakaian, sementara saya masih ngejogrok di sini. Suara-suara Mas yang timbulkan saat berpakaian, akan membuat saya rikuh," bantah Arimbi.
"Rikuh karena membayangkan penampakan saya berpakaian. Begitu?" Ganesha memperjelas kalimat Arimbi.
"Bukan, Mas!" Arimbi membantah cepat.
Salah lagi. Mungkin inilah yang membuat kaumnya emoh berdekatan dengan Ganesha. Mulut Ganesha ini sungguh berbisa. Selalu tembak langsung tanpa filter.
"Kalau bukan, lalu apa? Hidup itu dibuat simple saja, Rimbi. Kalian kaum perempuan sangat suka membuat asumsi sendiri. Berpikir berlebihan jangan-jangan begini atau kalau-kalau begitu. Kalian kerap overthinking. Padahal semua itu tidak berguna. Kamu hanya menghabiskan waktu tanpa solusi."
Ganesha meraih satu handuk lagi untuk mengeringkan rambutnya. Air masih menetes diujung-ujung rambutnya.
"Jadi harusnya bagaimana Mas Ganesha Teguh? Eh maaf, tidak sengaja." Arimbi meringis. Inilah penyakitnya yang sulit ia hilangkan. Ia acapkali menyuarakan apa yang ada di kepalanya. Kalau menurut istilah ibunya, mulutnya lebih dahulu bersuara sebelum otaknya memerintahkan sebaliknya.
Kalimat sarkasnya dihadiahi lirikan dingin Ganesha melalui sudut matanya.
"Kamu tidak perlu minta maaf, karena kamu memang sengaja. Artinya kamu memang menggaungkan kata-kata itu dalam benakmu. Makanya kalimat itu keluar secara natural begitu saja."
Seratus buatmu, Mas!
"Menjawab pertanyaanmu tadi, saya akan memberikan satu trik berpikir cerdas."
Merasa rambutnya sudah cukup kering, Ganesha menggantungkan handuk ke kapstok. Ia kemudian menyugar rambut lembabnya dengan kelima jemarinya.
"Begini, Rimbi. Setiap ada masalah yang muncul, biasakan fokus pada solusi. Bukan pada masalah. Kebanyakan perempuan menempatkannya terbalik. Mereka sibuk memikirkan masalah alih-alih mencari solusi."
Sembari berbicara, Ganesha membuka koper kecilnya. Ia mengeluarkan pakaian dalam, kaos oblong dan juga celana pendek.
Selebar wajah Arimbi yang sudah merah, kian menjadi-jadi saat melihat Ganesha mengeluarkan dalamannya yang berwarna coklat muda. Sumpah, Arimbi rikuh berat. Ganesha mengeluarkan perabotannya dengan santai.
"Dalam kasusmu tadi. Kamu rikuh karena malu melihat saya berpakaian bukan? Kalau begitu fokuslah pada solusinya. Berpalinglah ke sisi lain agar kamu tidak perlu melihatnya. Jangan malah membatin, nanti kamu melihat penampakan inilah, itulah yang malah semakin membuatmu senewen. Benar tidak?"
"Seratus buatmu, Mas."
Mampus, ia membunyikan gerutuannya lagi.
"Hati-hati dengan pikiranmu. Karena pikiranmu akan menjadi ucapanmu. Biasakan jangan suka ngedumel."
Ganesha menguap. Ia memang lelah sekali. Dalam lima hari ini ia hanya tidur beberapa jam. Ia harus mengurus masalah kantor dan juga t***k bengek pernikahan. Hari ini setelah semua urusannya usai, ia akan membalas dendam. Ia ingin tidur nyenyak dan bangun lebih siang esok pagi. Kebetulan besok adalah hari Minggu. Jadi ia tidak perlu masuk kantor.
Sebenarnya kedua orang tuanya menyarankannya untuk mengajak Arimbi honeymoon. Namun ia menolak usul itu. Untuk apa ia berhoneymoon ria, padahal pernikahannya hanya terjadi di atas kertas? Selain menyia-nyiakan waktu, ia juga tengah menggarap proyek besar bersama Nelly. Mereka bekerjasama untuk memenangkan tender pembangunan hotel dan condominum dengan perusahaan Jepang. Perusahaan Nelly yang bekerjasama dengan perusahaan besar tersebut menawarkan project besar yang sudah lama ia incar.
Saat Ganesha akan menanggalkan handuk di pinggulnya, Arimbi buru-buru memalingkan wajah dan melompat ke tempat tidur. Demi Tuhan, Arimbi sama sekali tidak menyangka kalau Ganesha benar-benar akan berbugil ria di hadapannya.
Daripada ia kian senewen dan bertingkah yang memalukan, Arimbi segera menyelinap ke dalam bedcover. Taburan kelopak bunga di atas bedcover ia kibaskan begitu saja hingga berjatuhan di lantai. Terkadang Arimbi tidak mengerti dengan konsep interior kamar honeymoon yang ini. Kalau interiornya adalah lampu-lampu romantis atau taburan kelopak bunga di bathup, itu masih bisa dimengerti. Karena setelah berendam, bunga-bunga tersebut tinggal dibuang saja. Tapi kalau di ranjang seperti ini, pasti repot bukan? Kotor juga.
Arimbi mengibaskan kepala. Otaknya ini memang membagongkan. Lihatlah, di saat-saat kritis seperti ini ia malah memikirkan masalah sampah, alih-alih nasibnya.
Fokus Arimbi, fokus. Tarik napas, buang napas. Tenang.
Sejurus kemudian Arimbi merasa tempat tidurnya bergoyang. Ada beban di sampingnya, yang membuat ranjang sedikit melesak.
Heh, apa-apaan ini? Jangan... jangan...
"Lho, kok Mas Esha tidur di ranjang?" Arimbi membalikkan tubuh. Dugaannya benar. Ganesha sudah terlentang dengan gaya bebas. Kedua kakinya sedikit terbuka dan kedua tangan diletakkan di bawah kepala. Gayanya santai seperti sedang berjemur di pantai. Apa-apaan ini?
"Kenapa? Sudah benar bukan kalau saya tidur di ranjang? Masa saya tidur di kolam renang?" jawab Ganesha malas dengan mata terpejam. Demi Tuhan, ia lelah sekali. Tidak bisakah Arimbi membiarkannya beristirahat sebentar?
"Memang benar, kalau tidur itu di ranjang. Tapi harus melihat-lihat sikon dong, Mas. Pernikahan kita 'kan hanya di atas kertas. Masa kita tidur seranjang sih. Bahaya dong, Mas!" Arimbi bangkit dari posisi tidurnya. Ia kini duduk tegak di atas ranjang. Ia tidak terima Ganesha tidur seranjang dengannya.
"Bahaya? Di mana bahayanya? Apa kalau kita tidur seranjang akan menyebabkan bencana alam? Banjir bandang, topan badai atau gempa bumi? Tidak bukan? Kita ini cuma tidur bersama di atas ranjang yang sama. Tidak ada bahaya-bahayanya sama sekali. Yang bahaya itu kalau kita tidak tidur, tetapi melakukan kegiatan yang bisa menyebabkan gempa bumi di atas ranjang. Paham kamu?"
Ganesha mementahkan semua keberatan Arimbi dengan logika dasar. Perempuan memang cenderung over thinking. Padahal tadi baru saja dibahas. Dan sekarang Arimbi sudah lupa lagi.
"Yang Mas bilang memang benar. Tapi saya tidak nyaman karena Mas tidur di sini."
"Lantas kamu ingin saya tidur di mana? Di sofa, di ubin. Sorry ya, saya tidak sudi melakukan scene-scene yang menyusahkan diri sendiri seperti di sinetron-sinetron lebay, tentang pernikahan di atas kertas. Ini realita, Rimbi. Kamu jangan berharap saya akan bersikap bodoh dengan mengikuti akting para pemain sinetron itu. Lagi pula itu semua cuma akting. Kalau sungguh-sungguh terjadi, kamu pikir mereka benar-benar mau bertingkah begitu? Mikir, Rimbi. Mikir!"
Kali ini Ganesha tidak lagi memejamkan mata. Ia memelototi Arimbi yang terus saja memprotesnya. Lelah, mengantuk dan harus menjelaskan hal-hal konyol membuat Ganesha gusar.
"Mengerti, Mas. Tapi dengan tidur berduaan begini akan membuat iblis leluasa untuk menggoda--"
"Nah ini. Satu lagi pemikiran tidak logis yang harus diluruskan."
Kali ini Ganesha ikut duduk di atas ranjang. Sepertinya ia harus meluruskan cara berpikir Arimbi yang masih mengikuti zaman feodal. Beginilah kalau seseorang dibesarkan dengan selalu menyalahkan orang atau barang yang tidak bersalah, padahal yang tidak berhati-hati adalah orangnya. Mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang ngelesan karena tidak terbiasa menerima kesalahan.
"Dengar baik-baik, Arimbi. Jangan membawa-bawa iblis yang tidak tahu apa-apa menjadi kambing hitam hanya karena manusia itu gagal mengawal hasratnya sendiri. Dalam masalah ini, kamu jangan membuat asumsi apalagi sampai menuduh si iblis yang bahkan kehadirannya pun belum bisa dibuktikan secara signifikan, sebagai objek yang harus disalahkan. Memangnya kamu sudah pernah melihat wujud iblis?" Ganesha terus mencecar Arimbi. Ia ingin agar Arimbi lebih logis dalam menyikapi masalah.
Arimbi menggeleng cepat.
"Nah, wujudnya saja belum pernah kamu lihat, tapi kamu sudah main fitnah saja. Arimbi, seperti yang saya katakan tadi ; fokuslah mencari solusi daripada terus berasumsi. Coba pikir, kita berdua ini sudah mengantuk dan kelelahan selama beberapa hari ini. Yang kita butuhkan saat ini adalah istirahat yang lebih berkualitas. Solusinya apa? Tidur yang cukup. Setuju, Rimbi?" Ganesha menatap Arimbi dalam-dalam. Ia ingin agar Arimbi mengerti kalau dirinya benar-benar membutuhkan waktu untuk beristirahat.
"Mengerti, Mas," cicit Arimbi pelan. Alasan yang Ganesha terangkan begitu runut dan logis. Bagian mana dari penjelasannya itu yang bisa ia bantah bukan.
"Bagus. Kalau begitu sekarang kita tidur. Besok pagi banyak hal yang harus kita urus. Termasuk kepindahan kita ke rumah yang sudah saya persiapkan sejak lama."
Ganesha menguap lebar seraya kembali membaringkan tubuh. Nikmatnya berbaring membuat tubuhnya rileks. Sungguh, matanya sudah tinggal lima watt kurang. Ia benar-benar mengantuk.
Di samping Ganesha, Arimbi ikut membaringkan tubuh. Namun berbeda dengan gestur Ganesha yang rileks dan santai, sikap tubuhnya sangat tegang. Seumur hidupnya ia tidak pernah seranjang dengan orang lain. Dan kini tiba-tiba saja ia harus seranjang dengan seorang laki-laki. Tentu saja hal ini ia membuatnya tegang.
"Ngomong sih gampang. Tapi saya tegang." Arimbi segera membekap mulutnya sendiri. Mampus, ia keceplosan lagi.
Takut-takut Arimbi melirik ke samping. Ia takut kembali diceramahi oleh Ganesha karena celetukan tidak sadarnya. Untunglah tidak ada suara mencela yang keluar dari sosok laki-laki yang berbaring di sampingnya. Sepertinya Ganesha sudah tertidur. Alhamdullilah.
"Keteganganmu adalah urusanmu. Bukan masalah saya. Atasi sendiri."
Eh, ini orang dalam tidur pun masih bisa menyahut juga. Astaganaga.