Chapter 6. Peraturan Baru

1785 Kata
Resepsi telah usai. Saat ini Arimbi telah berada di room 214 Hotel Adiwangsa. Ia terduduk kelelahan di sudut ranjang indah yang ditaburi dengan serpihan bunga berwarna merah darah di atas tempat tidur. Arimbi memandang sekeliling ruangan dengan takjub. Kamar pengantinnya ini didekorasi dengan sangat apik. Selain serpihan bunga bentuk hati tadi, ada sepasang angsa yang terbuat dari handuk di tengah-tengah ranjang. Kepala kedua angsa tersebut didekorasi saling bertemu dan membentuk gambar hati. Ada beberapa kuntum bunga mawar lagi di samping hiasan kedua angsa yang tengah kasmaran tersebut. Pandangan Arimbi berpindah ke meja rias. Terlihat beberapa lilin aromaterapi dalam wadah-wadah yang klasik dan cantik. Pantulan lilin panjang berulir membuat suasana semakin romantis dengan kilaunya yang keemasan. Dekorasi kamar honeymoonnya ini memang sangat indah. Arimbi mengela napas kasar. Dirinya duduk sendirian di sini, sementara Ganesha masih berada di luar. Arimbi tidak tahu apa yang dilakukan Ganesha di luar sana. Namun seperti kesepakatan sebelumnya, ia pun tidak berusaha mencari tahu. Mereka toh tidak boleh mencampuri urusan satu sama lain. Tadi sebelum Arimbi masuk ke dalam kamar, Arimbi sempat melihat bayangan tubuh Ganesha yang berjalan bersama beberapa relasi-relasinya ke arah lift. Arimbi juga sempat mendengar sekilas, kalau mereka membicarakan soal proyek raksasa yang sedang mereka garap. Baru satu hari menjadi istri Ganesha, Arimbi sudah mendapatkan satu clue. Bahwa Ganesha ini workoholic. Bayangkan Ganesha masih sempat-sempatnya membicarakan masalah bisnis pada malam pertamanya. Walaupun Arimbi tahu bahwa malam pertama atau malam ke seratus mereka berdua tidak akan ada bedanya. Tetapi tetap saja, tingkah Ganesha ini terlalu berlebihan. Kesan yang timbul, Ganesha seperti tidak menganggap istimewa pernikahannya. Arimbi berdecak. Sudahlah. Memang bagi Ganesha pernikahan ini tidak istimewa bukan? Jadi untuk apa ia mengharap sebaliknya? Kalau ia mau jujur, sebenarnya kekecewaannya ini bukan untuk dirinya sendiri. Ia juga sama tidak pedulinya dengan Ganesha. Yang ia jaga adalah kesan dan pandangan dari orang lain. Yaitu tamu-tamu dan keluarga besarnya. Lebih tepatnya lagi mata Seno dan Nina. Ia tidak mau kalau kedua penghianat itu menertawai kemalangannya. Sudah dinikahi terpaksa, eh tidak dipedulikan calon suami penggantinya pula. Harga dirinya yang sudah dikoyak-koyak, kini malah dijadikan keset juga. Arimbi mengibaskan kepala. Membuang segala hal membuat sedih hatinya. Yang lalu biarlah berlalu. Mulai hari ini ia harus menutup buku mengenai cinta masa lalunya dengan Seno. Sebaiknya ia fokus saja menata masa depan. Perkara jodoh, ia pasrahkan saja pada Tuhan. Ia tidak mau lagi memikirkannya. Toh ia sudah melihat jodoh yang bukan jodoh di depan matanya. Sedang dialaminya pula. Bahwa kalau bukan jodoh, tinggal selangkah menuju ijab pun, bisa gagal kalau takdir berkehendak lain. Lebih baik ia mengikhlaskan saja apa yang sudah menjadi takdirnya. Seperti nasehat ibunya tadi kemarin malam sebelum ijab kabul keesokan paginya. "Rimbi, Ibu ingin mengatakan satu hal padamu agar kamu tidak berkecil hati. Ketahuilah, Rimbi. Bahwa jodoh itu unik, Nak. Sering kali yang kita kejar-kejar menjauh. Yang tidak kita minati malah mendekat. Yang selalu kita diimpikan, tidak berujung pernikahan. Yang tak pernah kita duga, malah bersanding di pelaminan. Benar tidak?" "Benar, Bu. Rimbi sama sekali tidak pernah membayangkan, bawa Rimbi akan menjadi istri Mas Esha." "Nah, itu artinya, jodoh bukan masalah seberapa kamu menginginkan seseorang atau seberapa lama kamu mengenalnya. Tapi seberapa yakin kamu padanya. Seberapa ikhlas juga saat kamu gagal mendapatkannya. Lalu digantikan dengan yang lebih baik menurutNya. Menurut Ibu itulah jodoh." Teringat kembali pada nasehat sang ibu, Arimbi memantapkan hati. Bahwa semua yang terjadi memang sudah takdirnya. Yang penting ia tetap tawakal dan ikhtiar. Selebihnya ia pasrahkan kepada Yang Maha Kuasa. Arimbi menggerakan pinggangnya ke kanan dan ke kiri, dalam posisi masih duduk di sudut ranjang. Ia lelah setelah berdiri sesiangan hingga malam di atas pelaminan. Perlahan Arimbi berdiri. Ia bermaksud menukar gaun pengantinnya dan membersihkan wajah. Gerah sekali rasanya memakai gaun pengantin yang berat dan juga riasan tebal yang membuat wajahnya kaku. Belum lagi kepalanya yang terasa pusing akibat mahkota yang lumayan berat, di atas puncak kepalanya. Arimbi berjalan tersaruk-saruk berjalan ke arah kamar mandi. Ia bermaksud menyalin pakaian di sana. Ia takut melepaskan pakaian di dalam kamar. Ganesha bisa saja masuk sewaktu-waktu. "Aduh!" Arimbi nyaris jatuh terjerembab oleh ujung gaunnya sendiri. Untung saja ia dengan sigap memegang meja rias. Arimbi kemudian melepaskan sepatu. Menyusunnya rapi di samping lemari. Setelahnya ia mengenakan sandal hotel yang nyaman. Barulah ia berjalan ke kamar mandi. Ketika pintu kamar mandi di buka, Arimbi kembali di hadapkan pada pemandangan romantis lain. Di pinggir bath up, bejajar lilin aroma terapi yang harum. Taburan kelopak bunga mawar merah lagi-lagi tersebar indah seperti taman bunga. Di sudut bath up juga ada dua buah teh dalam gelas bergagang yang cantik. Arimbi sampai tidak tega mandi karena takut akan merusak tatanan hamparan bunga-bungaannya. Setelah bersusah payah menanggalkan gaun pengantin, Arimbi membersihkan make upnya terlebih dahulu di wastafel. Yang untungnya lagi, sudah tersedia cleansing oil dan toner di meja wastafel. Setelah riasan wajahnya bersih, barulah Arimbi masuk ke dalam bath up. Air dalam bath masih hangat. Pertanda bahwa room maid baru belum lama mempersiapkan airnya. Baru sekitar lima belas menit berendam, ponselnya berbunyi. Arimbi buru-buru bangkit dari bath tub. Jangan-jangan Ganesha yang meneleponnya. Mengeringkan tubuh seadanya, Arimbi meraih bath rope dari kapstok. Titik-titik air masih menetes dari ujung-ujung rambutnya. Arimbi tidak ingin Ganesha menunggu lama. Merogoh tas tangan tergesa-gesa, Arimbi mengerutkan kening saat melihat hanya sejumlah nomor sebagai pemanggilnya. Pemanggilnya orang yang tidak ia kenal lagi. Karena tidak masuk dalam kontak orang-orang yang ia simpan. Arimbi pun mengabaikannya. Panggilan kedua dan ketiga terus berdering. Dan seperti tadi, Arimbi membiarkannya saja. Dan seperti tadi kau masih pemanggil juga tidak mau menyerah. Ia terus menelepon tiada henti. Terganggu dengan ulah si penelepon misterius, Arimbi bermaksud menonaktifkan ponselnya. Pada saat itu, masuk chat dinotifikasi ponselnya. Arimbi berdecak kesal setelah tahu nomor siapa yang terus menerornya. Seno yang menggunakan nomor lain rupanya. Sepertinya Seno tahu kalau ia tidak akan pernah mengangkat telepon dari Seno lagi, makanya Seno menggunakan nomor lain untuk merusuhinya. Namun karena ia tetap tidak mau mengangkat panggilannya, makanya Seno terpaksa meninggalkan pesan. Ting! Jikalau tadi Seno hanya menulis bahwa dirinya adalah Seno, kali ini ia mengirimkan sebuah gambar. Penasaran Arimbi pun membuka gambar yang dikirimkan Seno. Terlihat Ganesha duduk berhadap-hadapan dengan seorang gadis cantik berambut ikal. Lokasi mereka duduk Sepertinya di lobby. Kepala keduanya berdekatan saat memperhatikan layar laptop. Di kanan kiri keduanya ada beberapa orang laki-laki dan perempuan lagi. Sepertinya mereka semua tengah membahas sebuah project. Perempuan di samping Mas Esha itu adalah Nelly Hartadi. Mantan terindah Mas Esha. Kamu lihat 'kan, Rim? Mereka berdua itu sebenarnya masih saling cinta. Cuma masing-masing masih saling gengsi saja. Arimbi memperhatikan bahasa tubuh keduanya. Memang jika dilihat melalui photo begini, keduanya tampak intim. Tapi Arimbi tidak mau ambil pusing. Mereka toh sudah sepakat untuk tidak mencampuri urusan masing-masing. Mas Esha meninggalkanmu di kamar pengantin sendirian, demi menemui mantan terindahnya ini. Kamu tidak sebodoh itu untuk mengartikan sikap Mas Esha ini bukan? Oh ya, kamu juga boleh menanyakan apapun soal Nelly ini. Mas bersedia menjawabnya untukmu. Arimbi menutup aplikasi percakapan. Ia malas meladeni Seno. Lebih baik mempersiapkan diri untuk tidur saja. Dengan begitu ia bisa menghindari banyak hal. Salah satunya adalah berdua-duaan dengan Ganesha di kamar dalam keadaan sadar. Rasanya pasti sangat canggung sekali. Tindakannya ini membuat Seno makin nekad. Seno kembali meneleponnya. Baru saja Arimbi bermaksud menonaktifkan ponsel, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Ganesha pun masuk ke dalam kamar. Menyadari bahwa dirinya tidak mengenakan apa-apa di balik bath rope, Arimbi refleks menyilangkan kedua lengannya ke d**a. Arimbi takut kalau Ganesha bisa melihat bagian sensitif tubuhnya. "Siapa yang menelepon?" Ganesha bertanya seraya melepas jas hitam, dasi kupu-kupu dan kemejanya. Dalam sekejab Ganesha sudah bertelanjang d**a. Hanya celana hitam yang menggantung indah di pinggangnya. Sementara jas, dasi dan kemejanya Ganesha bertumpuk di atas ranjang yang penuh taburan bunga. Arimbi membelalak. Ganesha ini santai sekali melepas pakaian di depan matanya. Tidak ada rikuhnya sama sekali. Jangan-jangan Ganesha sudah lupa pada janjinya sendiri untuk tidak menyentuhnya. Laki-laki bisa saja berubah pikiran bukan? Istimewa sekarang Ganesha mempunyai hak sebagai suami untuk ia layani. Memikirkan itu semua Arimbi ngeri kian. Istimewa Ganesha kini berjalan menghampirinya. Arimbi pun terus mundur dan mundur dengan tangan masih memegang ponsel yang terus berdering. Seno ini sudah gila rupanya. Tepat ketika kaki Arimbi menyentuh ranjang dan tidak bisa mundur lagi, Arimbi memeluk dirinya kian erat. Matanya dan mata Ganesha saling bertatapan dalam jarak dekat. Napasnya Arimbi tersangkut-sangkut saat wajah Ganesha kian dekat dengannya. Arimbi memejamkan mata. Ia tidak kuasa menatap manik hitam Ganesha. "Kemarikan ponselmu. Yang meneleponmu terus-terusan itu Seno bukan? Heh, saya berbicara padamu. Ngapain kamu merem-merem seperti itu?" Sebuah sentilan mengenai keningnya. Alhamdullilah. Walau bersyukur, Arimbi tengsin. Ia malu sekali karena mengira akan dimacam-macami oleh Ganesha. Kesal, Arimbi menjitak keningnya sendiri. Bikin malu saja. Demi mendinginkan wajahnya yang memanas, Arimbi kembali masuk ke dalam kamar mandi. Sebaiknya ia mencuci muka, agar wajahnya tidak berwarna seperti tomat masak begini. Ia tidak peduli Ganesha akan berbicara apa pada Seno, terkait chat dan photo yang Seno kirimkan. Biar saja. Toh mereka berdua kakak adik. Ia tidak mau ikut campur. Yang penting ia sudah menaati perintah Ganesha. Bahwa setiap kali Seno menelepon, ia harus memberikan ponsel padanya. Samar-samar Arimbi mendengar kalau Ganesha memperingati Seno agar tidak menelepon istrinya lagi. Mendengar kata istri yang ia dengar secara langsung begini, membuat Arimbi terkesima. Cara Ganesha mengucapkannya seolah-olah, keluar dari hatinya yang terdalam. Padahal pernikahan mereka berdua hanya sandiwara belaka. Setelah tidak terdengar suara apapun lagi, Arimbi meraih pakaian dalamnya bekas mengenakan pakaian pengantin tadi. Biarlah ia menggunakan pakaian dalam bekas, daripada ia tidak mengenakannya sama sekali. Nanti ia akan menggantinya setelah membongkar koper dan mandi kembali. Arimbi membuka pintu kamar mandi setelah celingak-celinguk kanan kiri. Karena ia tidak mendapati Ganesha di depan pintu kamar mandi, ia pun keluar dengan damai. "Astaga!" Arimbi kaget karena ternyata Ganesha tengah membuka kancing celananya. Arimbi refleks menutup mata dan kembali masuk ke dalam kamar mandi. Matanya sudah tercemar beberapa kali dalam waktu beberapa menit. Bagaimana jika seminggu? Sebulan? Setahun? Arimbi tidak bisa membayangkannya. "Arimbi, ngapain kamu kembali masuk ke kamar mandi? Kamu sudah selesai membersihkan diri bukan?" "Sudah, Mas." Arimbi menjawab dari dalam kamar mandi. "Kalau sudah, keluar dong. Gantian. Saya juga mau membersihkan diri." "I-Iya, Mas." Gugup Arimbi pun membuka pintu kamar mandi. Di ambang pintu pandangan Arimbi dan Ganesha saling bersirobok. "Ngapain kamu ketakutan seperti itu?" Ganesha mendecakkan lidah. Arimbi ini seperti tidak percaya padanya. "Nggak apa-apa kok, Mas," sahut Arimbi gelisah. Ganesha kembali mendecakkan lidah. Ia paling tersinggung apabila dianggap sebagai orang yang tidak bermoral. "Dengar, Rimbi. Saya memang laki-laki normal. Berdarah, berdaging serta memiliki nafsu. Tapi saya juga memiliki kendali diri dan juga moral yang baik. Jadi jika saya sudah berjanji kalau saya tidak akan menyentuhmu, itu artinya janji saya tidak akan berubah. Kecuali kamu yang menginginkan perubahan. Hal itu bisa kita bicarakan kemudian." Gimana gimana? Dirinya yang menginginkan perubahan? Mimpi saja!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN