Chapter 5. Niat Baik, Insyaalah Hasilnya Akan Baik.

1992 Kata
Suara dering bell, di dalam room 214, membuat Arimbi dan menoleh. "Ada yang datang itu, Tince. Paling juga ibu. Coba buka dulu pintunya." Arimbi meminta, perias pengantinnya yang ganteng-ganteng kemayu membuka pintu kamar. "Oke, Mbak." Tince bergegas membuka pintu. Tebakan Arimbi benar. Kepala ibunya muncul di ambang pintu yang terbuka separuh. "Riasannya sudah siap kan, Tin? Arimbi sudah harus ada di pelaminan. Tamu-tamunya sudah pada datang." Bu Ambar mengecek keadaan putrinya. "Sudah kok, Bu. Eike tadi hanya merapikan gaun Arimbi saja," kata Tince kenes. "Syukurlah. Ballroom sudah mulai ramai. Duh, Rimbi. Kamu cantik sekali, Nak." Bu Ambar yang sedianya hanya mengingatkan Tince, sekarang masuk ke dalam kamar. Ia terharu melihat kecantikan anak gadisnya yang akan segera menjadi istri orang. Rasa haru Bu Ambar lebih disebabkan oleh kacau balaunya pernikahan yang nyaris saja batal ini. Bayangkan calon suami putrinya telah ditukar dalam hitungan hari. Butuh kekuatan dan kebesaran hati yang luar biasa untuk berada dalam posisi putrinya. Dihianati oleh calon suami dan sepupu sendiri menjelang hari H pernikahan, rasanya terlalu kejam untuk gadis sepeka putrinya. "Terima kasih pujiannya, Bu. Eh, tapi sebetulnya Rimbi tidak perlu berterima kasih juga. Kecantikan Rimbi ini adalah titisan dari Ibu. Jadi ceritanya Ibu memuji diri Ibu sendiri bukan?" Arimbi mencoba bercanda. Ia tahu, bahwa ibunya sedih melihat keadaannya saat ini. Mata ibunya yang berair telah menjelaskan semuanya. Nasibnya memang menyedihkan. Namun tidak baik juga apabila ia meratapi keadaan bukan? Toh, semuanya sudah terjadi. "Hehehe. Iya. Kecantikan Ibu memang menurun padamu. Tapi kamu lebih cantik dari Ibu karena kamu menuruni mata tajam ayahmu. Ya sudah, Ibu menyambut tamu-tamu dulu. Nanti kamu menyusul ke ballroom ya? Nak Esha sudah menunggumu di sana." Bu Ambar menutup pintu kamar sebelum air matanya menetes. Pernikahannya Arimbi dengan Ganesha pun masih merupakan teka teki. Namun sebagai orang tua, khususnya perempuan, Bu Ambar mempunyai penilaian sendiri terhadap Ganesha. Kakak Seno ini walau terlihat dingin, namun sesungguhnya adalah laki-laki yang bertanggung jawab. Bu Ambar ingat, betapa Ganesha kerap menyempatkan diri menemani ayahnya check up ke dokter, ataupun mengantar ibunya ke salon. Di waktu lain, Bu Ambar pernah memergoki Ganesha membantu ibunya memilih-milih sayuran di pasar tradisional. Hati Bu Ambar hangat setiap kali melihat keakraban antara ibu dan anak itu. Menurut pengalaman hidup Bu Ambar, laki-laki yang menyayangi ibunya, juga akan menyayangi istrinya. Karena istrinya adalah ibu dari anak-anaknya. Bu Ambar pernah membicarakan hal ini kepada suaminya. Bahwa ia kerapkali menjumpai Ganesha bersama ayah atau ibunya. Sementara Seno tidak sekali pun. Berdasarkan hal ini pulalah, mereka suami istri menyetujui usul Pak Hasto dan Bu Santi, untuk menikahkan Ganesha pada Arimbi. Kalau tanpa pertimbangan yang kuat, mana mungkin mereka sebagai orang tua mau bermain dadu. Menikahkan Arimbi berdasarkan perhitungan ala perjudian. Kalau tidak menang, ya kalah. Orang yang penuh tanggung jawab, namun memiliki cinta kasih seperti Ganesha lah, yang biasanya bisa menjaga cinta. Type orang seperti ini, biasanya terlihat santai namun berkomitmen. Tidak menggebu-gebu diawal, mendingin di tengah perjalanan dan hambar diakhir cerita. Semoga saja apa yang dirinya dan suaminya harapkan, akan menjadi kenyataan. Sementara itu Arimbi yang telah selesai dirias menatap bayangannya sendiri di depan cermin. Mempelai pengantin yang menatapnya balik ini terlihat bimbang. Ada begitu banyak keraguan di kedua matanya, yang hari ini dirias begitu apik. Namun semuanya itu tidak mampu menutupi ketelanjangan benaknya. Jujur sebenarnya ia gentar meneruskan pernikahan ini. Setelah dengan gagah berani menerima lamaran Ganesha, kini nyalinya ciut. Arimbi memang tidak mengenal Ganesha secara pribadi. Karena Ganesha ini sangat tertutup dan misterius. Ia mengenal Ganesha hanya melalui cerita-cerita Seno dan juga Menik. Dari apa yang mereka berdua ceritakan, Arimbi sudah bisa menarik satu kesimpulan. Bahwa Ganesha begitu dominan dan tidak kenal kompromi. Apa yang ia titahkan adalah mutlak. Makanya Seno kerap berselisih paham dengan Ganesha di kantor, karena kakaknya itu terlalu diktator. Ketika pertama sekali bertemu dengan Ganesha tiga tahun lalu saja, Ganesha pernah menyindirnya sebagai oportunis alias tukang cari untung. Sementara Arimbi tidak merasa pernah meminta apapun pada Seno. Kalau hanya sekedar makan-makan atau hadiah- hadiah kecil yang Seno berikan pada moment-moment tertentu ; seperti saat ia berulang tahun atau valentine, wajar bukan? Namanya juga orang berpacaran. Selama hadiahnya bukan barang-barang yang sangat-sangat mewah, rasanya terlalu berlebihan jika ia dicap dengan julukan oportunis. Dan kini, tiba-tiba saja ia akan menjadi istri Ganesha. Entah apalagi kelak, julukan sarkas yang akan Ganesha sematkan padanya. Kamu sudah menerima lamarannya, Rimbi. Ijab kabul pun sudah terjadi pagi tadi. Sekarang kamu sudah sah menjadi nyonya Ganesha Caturangga. Sudah sangat telat jika kamu menyesalinya sekarang. Tangan mencencang, bahu memikul. Hadapi semuanya dengan penuh kesadaran diri. Arimbi menghela napas panjang. Pandangannya kini mengamati keanggunan gaun pengantin pesanan Ganesha. Gaun pengantin yang ia kenakan ini berwarna putih gading dengan bagian d**a berbentuk huruf V model see through alias menerawang. Sementara di bagian pinggang menyempit dan mengembang sampai ke bawah. Gaunnya ini berekor panjang, dengan veil transparan sepanjang lima meter, dilengkapi dengan tiara di kepalanya. Arimbi akui, apa yang dikatakan ibunya tadi benar. Dirinya, cantik. Sangat cantik. Namun kecantikannya ini tidak bisa menutupi kepanikan di kedua matanya. Bukan pernikahan seperti ini yang ia dambakan. Bukan lelaki ini juga yang ia inginkan. Bukan juga Seno, yang telah menghianatinya. Suara bell kembali berbunyi. Sepertinya ibunya sudah tidak sabar menunggunya di ballroom. "Ayo kita segera ke ballroom,Tin. Sepertinya ibu sudah tidak sabar menunggu kehadiran saya." Arimbi mengangkat gaun megar di sisi kanan dan kirinya. Sementara Tince meraih tas tangannya. Namun ternyata perkiraannya salah. Ketika pintu kamar ia buka, yang berdiri di ambang pintu adalah Ganesha. Dengan tuxedo berwarna hitam dan dasi kupu-kupu berwarna senada, Ganesha terlihat gagah dan berwibawa. Dalam keadaan rapi begini, sekilas Arimbi melihat bayangan Seno di wajah Ganesha. Darah memang tidak bisa berbohong. Walau wajah Seno dan Ganesha tidak terlalu mirip, tetapi bahasa tubuhnya sama. Apalagi saat Ganesha mengerutkan dahi dan berpikir keras seperti ini. Seno juga selalu mengeluarkan ekspresi yang sama apabila ia sedang berpikir serius. "Bisa kita berbicara berdua, Rimbi?" tanya Ganesha seraya melirik Tince. Ada tatapan meminta Tince untuk meninggalkan mereka berdua, meski tidak diucapkan secara lisan. "Oke deh. Eike ke ballroom duluan ya, Rimbi? Nanti yey menyusul saja bersama Mas ganteng ini." Tince tersenyum genit seraya mendorong lembut bahu Arimbi hingga masuk kembali ke dalam kamar. Ia kemudian melanjutkan langkah menuju ballroom. Tince mengerti. Ada hal yang ingin Ganesha bicarakan secara pribadi dengan Arimbi. Dirinya juga tahu kalau Ganesha adalah mempelai pengganti. Mengingat pertemuan-pertemuan mereka sebelumnya, Arimbi selalu datang bersama dengan Seno. "Mas ingin bicara apa?" Arimbi melanjutkan langkah dan menghempaskan pinggulnya di tepi ranjang. Ganesha tidak menjawab. Ia menutup pintu kamar terlebih dahulu, barulah ia duduk di samping Arimbi. "Bicara tentang akan di bawa ke mana arah pernikahan kita." Pembicaraan yang sangat riskan. Arimbi ngeri mendengarnya. Namun bibirnya tetap mempersilakan Ganesha berbicara. "Baik. Lantas, Mas inginnya bagaimana?" Arimbi balik bertanya. "Bukan inginnya saya. Tapi inginnya kita, tepatnya." Ganesha menekankan poin-poin yang ingin ia tekankan. "Ya. Mas katakan saja, apa yang ingin Mas katakan. Nanti saya akan memberikan tanggapan." "Sekarang saya tanya, apakah kamu mencintai saya?" Ganesha mengajukan pertanyaan seraya menatap Arimbi dalam-dalam. Ia ingin mendengar jawaban Arimbi bukan hanya melalui mulutnya, tetapi juga melalui matanya. "Maaf, Mas. Tidak." Arimbi menjawab sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Selama kurang lebih tiga tahun berpacaran dengan Seno, ia hanya bertemu dengan Ganesha beberapa kali. Itu pun jikalau ada acara-acara keluarga yang memang mengharuskan mereka semua berkumpul. Ia tidak mengenal dekat Ganesha, baik secara nyata ataupun harafiah. Jadi mana mungkin ujug-ujug ia mencintai Ganesha. "Begitu pun juga saya. Saya juga tidak mencintaimu. Saya menikahimu karena permohonan dari kedua orang tua saya, dan demi nama baik keluarga kita berdua. Tidak ada urusan cinta ataupun perasaan sentimentil lainnya. Oleh karenanya, saya ingin menegaskan satu hal padamu. Yaitu saya juga tidak akan meminta hak saya sebagai suami dalam pernikahan kita ini." "Terima kasih, Mas." Arimbi mengucapkan terima kasih dengan cepat atas kemurahan hati Ganesha. Ia kini sudah bisa tenang. Sebenarnya masalah malam pertamanya ini lah yang paling ia takutkan. Bayangan bahwa ia harus berkasih mesra dengan laki-laki yang seharusnya ia panggil kakak ipar, membuatnya gentar. Jengahnya tiada terkira. Dengan Ganesha membebaskan tugasnya, perasannya sungguh lega. Pundaknya mendadak terasa ringan karena bebannya telah hilang. "Kita terjebak dalam situasi yang rumit. Untuk itu saya ingin memperjelas situasi dan kondisi pernikahan kita." Ganesha berdeham dua kali. Arimbi mendengarkan dengan seksama. "Dengar Arimbi. Status kita sebagai suami istri itu hanya di buku nikah dan dalam tatanan bermasyarakat. Tetapi apabila kita telah berada di dalam kamar, maka kita adalah Ganesha dan Arimbi secara pribadi. Kita tidak mencampuri urusan satu sama lain." "Sampai berapa lama?" tanya Arimbi. "Sampai kamu menemukan orang yang kamu cintai, atau kamu sudah tidak nyaman lagi berada dalam perkawinan ini. Kalau kamu sudah menemukan salah satu dari kedua alasan itu, beritahu saya. Maka saya akan menceraikanmu dalam keadaan utuh." Oleh sebab itulah, Ganesha tidak mau menyentuhnya. "Begitu juga sebaliknya ya, Mas? Jikalau Mas juga jatuh cinta pada wanita lain, atau sudah tidak nyaman dengan pernikahan ini, maka Mas akan meminta cerai. Begitu ya, Mas?" Arimbi menginginkan kepastian. Ganesha menggeleng cepat. "Tidak. Saya tidak lagi tertarik dengan masalah asmara apalagi pernikahan. Masalah kenyamanan, kita sudah berjanji bahwa kita tidak akan mencampuri urusan masing-masing. Berarti kenyamanan saya tidak terganggu," terang Ganesha. "Intinya begini. Saya tidak akan menceraikanmu, kecuali kamu yang memintanya. Sampai di sini, kamu memahami kata-kata saya tidak?" "Paham, Mas. Saya ulangi. Pernikahan kita hanya di atas kertas dan tatanan kemasyarakatan. Dilarang mencampuri urusan pribadi satu sama lain. Kalau saya tidak nyaman atau menemukan laki-laki yang saya cintai, maka kita akan bercerai. Begitu, Mas?" Arimbi kembali memastikan kesimpulan dari kata-kata Ganesha. "Tepat," Ganesha mengacungkan jempolnya. "Bagaimana? Kamu setuju, Rimbi?" "Setuju sekali, Mas," jawab Arimbi tegas. Usul Ganesha ini win win solution. Tentu saja ia setuju. Mereka toh tidak memiliki perasaan satu lain. So, no hurt feeling. "Baik. Kalau begitu sekarang kita ke ballroom. Kita beri senyuman terindah dan wajah sepasang mempelai yang tengah berbahagia. Ingat, setelah keluar dari kamar ini, kita adalah sepasang suami istri. Oh ya, satu hal lagi. Jaga sikapmu di hadapan Seno nanti. Jangan memberi harapan sekecil apapun padanya. Sebrengsek-brengseknya Seno, dia tetap adik kandung saya. Saya menyayanginya dengan cara saya sendiri. Mengerti?" "Mengerti, Mas. Saya tegaskan. Jangankan memberi harapan, saya bahkan tidak akan berbicara pada Mas Seno--" "Seno. Mulai detik ini, panggil dia Seno. Ingat, kamu sekarang adalah kakak iparnya. Justru Seno yang sekarang harus memanggilmu dengan sebutan, Mbak." Ganesha mengoreksi kata-kata Arimbi. "Baik, Mas. Saya berjanji bahwa saya tidak akan berbicara pada Seno, kecuali untuk hal-hal penting." "Bagus. Walau bagaimana pun status pernikahan kita, di tatanan bermasyarakat kita adalah suami istri. Jadi kita harus bersikap selayaknya pasangan yang berbahagia." Ganesha beringsut dari ranjang. Arimbi berniat ikut berdiri. Namun ia kembali terduduk. Gaun megar berikut veil panjangnya membuatnya sulit untuk bergerak leluasa. "Ayo, saya bantu." Ganesha mengulurkan tangan. Walau sedikit bimbang, Arimbi menyambut juga uluran tangan Ganesha. Arimbi menumpukan lengannya pada tangan kekar Ganesha yang menarik lengannya kuat namun lembut. Setelah membuka pintu kamar 214, mereka berdua berjalan beriringan dengan mesra. Di luar kamar kita adalah pasangan yang berbahagia. Teringat pada kata-kata Ganesha, Arimbi pun melingkarkan lengannya pada siku Ganesha. Ganesha menyambut hangat dan berjalan mesra di sepanjang koridor hotel menuju ballroom. Senyum manis tak henti-hentinya tersungging di bibirnya dan juga Ganesha. Seperti itulah pemandangan yang dilihat oleh para tamu undangan, saat Arimbi dan Ganesha tiba di ballroom. Sebagian besar tamu memang penasaran saat mengetahui telah terjadi pertukaran mempelai pria. Makanya mereka terus mencuri pandang pada sepasang mempelai yang baru saja tiba. Namun mereka tidak mendapati kecanggungan di antara kedua mempelai tersebut. Aura bahagia terlihat jelas pada air muka keduanya. Bahasa tubuh, tatapan mata, hingga sentuhan-sentuhan kecil di antara keduanya terlihat sangat alami. Seperti itu jualah Seno dan Nina memandang Arimbi dan Ganesha. Keduanya pamer kemesraan seperti sepasang merpati yang sedang kasmaran. Dua pasang mata menatapnya dengan sorot berbeda. Seno memandang dengan raut wajah nelangsa. Sementara Nina menatap bengis wajah Arimbi yang tengah tertawa, saat Ganesha membisikkan sesuatu di telinganya. Masih bisa tertawa ya? Baik. Tertawalah selagi bisa. Karena aku akan kembali melenyapkan tawa itu dari wajahmu sok lugumu. Tunggu saja tanggal mainnya!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN