Sera meninggalkan ruang dokter dengan pikiran kosong. Harapan untuk melenyapkan janinnya musnah sudah. Haruskah dia terus hidup dengan membawa janin ini? Sungguh Sera tidak sudi!
Ke mana Sera harus mencari dokter yang bersedia membantunya menggugurkan kandungan? Apakah dia harus berkeliling dari satu dokter ke dokter lain dan mengulangi kejadian yang sama? Melihat janin itu bertumbuh dalam perutnya, lalu memohon kepada dokter untuk melenyapkannya.
Pikiran Sera sangat buntu. Dia merasa dunianya kini benar-benar sudah hancur. Abram telah berhasil menyeretnya ke dalam jurang penuh kehinaan. Bagaimana lagi caranya Sera bisa bangkit?
Kaki Sera terus melangkah tanpa tujuan. Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu kaca yang menuju ke arah balkon. Entah apa yang terjadi, tetapi pikiran itu langsung merasuki kepala Sera. Hidup yang sudah rusak, tidak ada gunanya lagi dilanjutkan. Lebih baik diakhiri saja daripada menjadi beban bagi orang lain.
Sera membuka pintu itu, lalu berjalan menuju balkon. Dia berdiri tepat di sisi pagar pembatas dan melihat jauh ke depan. Tiba-tiba saja ada sebuah dorongan kuat yang membuat Sera memutuskan untuk melangkahi pagar itu.
Suasana demikian mendukung karena tidak ada siapa pun yang kebetulan melihat Sera. Kaki Sera sudah berada di sisi luar pagar, sementara tangannya masih berpegangan pada besi pembatas. Dia menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata, kemudian melepaskan tangan seraya mencondongkan tubuh ke depan.
Tidak akan sakit. Jangan takut. Andai memang sakit, hanya sesaat saja dan semua akan selesai. Itulah pikiran yang terus terngiang dalam benak Sera seiring tubuhnya melayang turun menyentuh kehampaan yang dingin.
Sera merasakan benda dingin dan keras berbenturan dengan tubuhnya. Benda itu kalah! Terdengar suara pecahannya yang rapuh dan berdenting nyaring. Sekujur tubuhnya terasa perih seolah tersayat duri-duri tajam.
Sakit yang sesaat ini tidak sebanding dengan sakit yang akan bertahan selamanya. Tidak masalah, hanya sebentar saja.
Tubuh Sera terus melayang hingga akhirnya membentur permukaan keras dan terhenti di sana. Dia mencoba membuka mata, tetapi hanya kegelapan yang menyambut. Gelap yang seolah-olah tidak ada ujungnya dan bau amis yang pekat membuat kepala Sera berdenyut nyeri.
Sera masih ingin membuka mata, merekam semua yang mampu tertangkap jarak pandangnya, tetapi nihil. Semua hanya gelap yang kosong. Akhirnya, Sera menyerah kalah dan memejamkan mata.
Perlahan, seiring matanya terpejam, satu per satu kilasan bahagia dalam hidupnya silih berganti singgah. Bagai cuplikan video yang diputar khusus untuknya. Kilasan terakhir yang Sera lihat adalah kenangan dari hari ulang tahunnya yang ke-22.
“Akhirnya datang juga!” seru Sera heboh ketika melihat kedatangan Keifer. “Kejutan banget, loh!”
Melihat gadis itu dalam kondisi mabuk dan dikelilingi beberapa lelaki yang sudah teler, Keifer langsung menyambar lengan Sera. “Ayo, aku antar kamu pulang!”
“Enggak mau!" Sera menarik lepas tangannya dari cekalan Keifer, lalu membantah dengan keras kepala. "Aku masih mau di sini.”
Keifer menunduk, mendekatkan bibirnya ke telinga Sera, kemudian berbisik tegas, “Pulang, Sera! Kamu sudah mabuk.”
Entah apa yang Sera pikirkan, Keifer benar-benar tidak mengerti. Gadis itu tiba-tiba mengiriminya sebuah foto. Dalam gambar itu, terlihat Sera tengah berpesta dengan banyak temannya di sebuah kelab malam. Sontak saja Keifer dilanda kecemasan.
“Enggak asyik!" Sera langsung protes dengan bibir mengerucut sebal. "Baru juga jam berapa?”
“Sera,” desis Keifer dengan nada memperingatkan.
“Oke, tapi bawa aku ke apartemen kamu," ujar Sera menantang. "Aku enggak mau pulang ke rumah.”
“Jangan aneh-aneh, Sera!”
“Di apartemen kamu atau tetap di sini. Cuma itu pilihannya,” ancam Sera.
“Oke!” Akhirnya Keifer kalah. Entah apa yang terjadi nanti, yang terpenting adalah membawa Sera pergi terlebih dahulu dari tempat ini.
Keifer langsung membantu Sera berdiri dan memapah gadis itu menuju mobil. Berkali-kali Sera hampir terjatuh karena dirinya memang sudah mabuk parah.
“Kenapa kamu harus mabuk-mabukan begini, Sera?” keluh Keifer ketika untuk kesekian kalinya dia harus menahan pinggang Sera saat nyaris terjatuh.
Langkah Sera terhenti. Dia bergeser ke samping untuk bersandar pada dinding. Ditatapnya mata Keifer dengan perasaan yang campur aduk. “Kamu enggak tahu alasannya?”
Melihat mata Sera yang tampak berbeda, Keifer merasakan sesuatu dalam hatinya.
“Hari ini aku ulang tahun, Keif," ujar Sera gundah. “Kamu tahu berapa umur aku sekarang?”
Tanpa ragu Keifer langsung bisa menjawab, “Usia kamu sekarang 22 tahun.”
“Tahu apa artinya?”
“Maksud kamu?”
"Artinya aku itu sudah sembilan kali menyatakan cinta sama kamu, tapi sampai semalam masih juga kamu tolak. Sampai berapa lama lagi aku harus tunggu kamu, Keif?” tanya Sera frustrasi.
Ucapan Sera membuat Keifer tersentak. Keputusasaan di mata Sera membuatnya sedih dan merasa bersalah. Keifer sungguh tidak menyangka bahwa perasaan Sera kepadanya akan sedemikian kuat. Waktu demi waktu berlalu dan Keifer terus berharap kalau perasaan Sera akan berubah. Namun, sampai gadis ini tumbuh dewasa, nyatanya hati Sera masih tetap sama.
Alih-alih perasaan Sera yang berubah, sesungguhnya justru Keifer yang mulai goyah. Siapa mampu menampik pesona Sera yang memang demikian memikat?
Menyadari Keifer coba menghindari bertatapan dengannya, Sera mendekat dengan berani, lalu menangkup kedua sisi wajah pria itu. “Coba lihat aku, Keif!”
“Hm?” gumam Keifer yang sedang berusaha menahan diri setengah mati.
“Apa kamu enggak bisa menyadari perubahan yang terjadi sama aku selama sembilan tahun terakhir? Apa kamu enggak bisa lihat kalau aku sudah jadi gadis dewasa? Atau di mata kamu selamanya aku ini tetap anak kecil?” tanya Sera putus asa.
Air mata yang membayang di pelupuk Sera membuat Keifer terenyuh. Jika gadis ceria ini sampai menangis, itu artinya Sera benar-benar sedang sedih, bahkan mungkin menjelang putus asa.
Keifer tidak tahan melihatnya. Perlahan tangannya terangkat untuk membelai wajah gadis itu. “Aku menyadari perubahan kamu Sera. Sudah sejak lama. Kamu bukan lagi anak kecil yang dulu aku gendong dan temani bermain.”
“Kalau kamu sadar, terus kenapa kamu tetap mengabaikan aku? Kenapa kamu menjauh terus dari aku?” Setengah mati Sera menahan dirinya agar tidak sampai terisak.
“Aku harus melakukannya untuk menjaga kewarasan aku, Sera. Kalau aku lengah dan membiarkan kamu mendekat, aku takut akan kehilangan kendali.” Entah apa yang membuat Keifer mengakui hal ini kepada Sera setelah berjuang menutupinya selama bertahun-tahun.
Meski dalam keadaan mabuk, Sera menyadari maksud lain dalam ucapan Keifer. “Maksud kamu?”
“Seperti ini ….” Tiba-tiba saja Keifer memajukan kepala dan melumat bibir Sera. Dalam dan penuh damba.
Terkejutkah Sera? Jelas! Namun, dia menikmatinya.
“Keif …?” Sera merasa kehilangan saat pagutan mereka berakhir. “Apa artinya ini?”
Seketika kesadaran kembali menguasai Keifer. Setelah ledakan emosinya yang tidak tertahan, kini yang tersisa sesal.
“Bukan apa-apa.” Keifer menunduk, lalu melangkah mundur.
Namun, Sera tidak berniat melepaskan Keifer semudah itu. Disambarnya lengan Keifer untuk menahan pria itu. “Apa kamu juga punya perasaan yang sama kayak aku? Kamu mau terima perasaan aku?”
“Maaf … tolong lupakan yang baru saja aku lakukan,” ujar Keifer menyesal.
“Aku enggak mau!" tolak Sera keras kepala. "Sampai kapan pun aku enggak akan lupa.”
Teriakan penuh keterkejutan dari orang-orang di sekitar yang melihatnya terjatuh menarik Sera kembali ke masa kini. Perasaan sakit juga remuk di sekujur tubuhnya membuat bayangan akan masa indah itu memudar dan Sera kembali terempas pada masa yang nyata.
Ah! Ingin rasanya Sera kembali ke masa itu lagi. Waktu ketika hari-harinya hanya diisi kebahagiaan dan tanpa beban. Masalah terbesarnya saat itu hanya mengejar Keifer setiap waktu.
Tangan Sera sudah sangat lemah dan nyaris kebas, tetapi dia berusaha merasakan secarik kertas yang sejak tadi digenggamnya. Potongan kertas kecil berisikan gambar wajah Keifer saat menemaninya di hari wisuda kelulusan SMA. Matanya yang sejak tadi sudah tidak mampu melihat, kini berusaha sekuat tenaga untuk bisa berfungsi kembali. Setidaknya untuk beberapa detik saja.
Perlahan, bayangan wajah Keifer dalam genggaman tangan Sera kembali terlihat meski samar.
“Aku ingin mengenang wajah kamu sebagai hal terakhir yang aku lihat di dunia ini,” bisik Sera nyaris tidak terdengar.
Pandangannya yang sudah lemah tidak mampu bertahan lama. Semua yang Sera lihat kembali memudar, berpadu dengan linangan air mata yang mulai mengalir deras.
Dengan sisa tenaga yang masih dia miliki, Sera berbisik untuk terakhir kali sambil mengembuskan napas, “Keif, sampai hari ini cinta aku untuk kamu enggak pernah berubah. Aku mau kamu tahu kalau hanya kamu satu-satunya laki-laki yang pernah aku cintai. Dan perasaan cinta ini akan aku bawa sampai mati.”